"Apa yang kau inginkan?"
Ujang Tuna tersenyum simpul. "Sudah jelas kan maksud kedatanganku."
"Kau hanya berpura-pura polos. Sebenarnya, kau tak sepolos yang kukira. Kau memanfaatkan pesonamu pada Mama," tuduhku agak gusar.
"Aku memang tak polos. Tapi, siapa yang berbohong saat ini? Sebenarnya, kau tak sakit, kan?" Tanya Ujang Tuna dengan senyum jail. Ia mengelus anak-anak rambutku dengan lembut.
Aku tergagap. Dengan wajah jengah, aku bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena cinta."
Aku mencibir. "Kita kan tak terlalu saling mengenal."
Ujang Tuna menggelengkan kepala. "Hatiku sakit jika kau terus menekankan kita tak saling mengenal dengan baik. Aku sangat mengenal dan memahami dirimu. Untuk mengenal orang yang kita cintai, bukan masalah durasi, tapi perasaan."
Karena aku bergeming, Ujang Tuna melanjutkan perkataannya, "Aku selalu memperhatikan ekspresi wajahmu. Apa yang kau suka. Apa yang kau tak suka. Aku tahu kau keberatan dengan profesiku sebagai petani yang berpendapatan tak stabil. Tapi tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan diriku layak bagimu. Aku bertekad untuk lebih memajukan usaha kebun singkong. Selain itu, aku akan menjadi pengusaha kuliner berbahan dasar singkong. Ini semua kulakukan hanya untukmu, Evie. Aku sangat mencintaimu sejak pertama kali melihatmu."
Aku tercengang. Sungguhkah pemuda ini Ujang Tuna? Ia tak tampak udik lagi, tapi bercahaya seperti aktor KDrama.
"Aku bukan membenci kau sebagai petani. Tapi, aku benci singkong," kataku perlahan.
Ujang Tuna mengerutkan kening. "Jadi, perasaan cintaku kalah dengan singkong. Aku tak percaya ini."