Pemuda tampan ini menggelitik sesuatu dalam diriku hingga aku tak tahan untuk menggodanya, "Kak Tuna, mari diminum teh chamomile-nya. Aku tak meracuninya."
"Eh, iya," jawab Ujang Tuna. Ia mendekatkan cangkir teh tersebut ke bibirnya. Tapi, pandangannya tetap terpaku pada cangkir tehnya.
"Apa Nak Tuna tak suka aroma teh chamomile? Jika tak suka, tak perlu diminum. Maaf ya, kami tak peka. Pria pasti lebih menyukai kopi dibandingkan teh," ujar Mama sembari tersenyum lembut. Ia menoleh padaku, "Evie, kau buatkan saja secangkir kopi susu panas."
"Jangan! Tak perlu repot-repot. Saya suka minum teh. Hanya..."
"Hanya?" Tanyaku.
Ujang Tuna mendesah. Ekspresi wajahnya yang polos begitu menggemaskan ketika berkata, "Saya takut. Minum air bunga mudah dirasuki roh halus, terutama kunti. Bagaimana jika kunti merasuki diri saya yang pria ini? Nanti Neng Evie tak akan melihat diri saya sebagai pria macho dan perjodohan ini gagal begitu saja. Padahal Umi saya sudah membuat 10 kg opak untuk persiapan melamar Neng Evie."
Mama menggigit bibirnya untuk menahan tawa. Aku pun terpingkal sembari memegang perutku. Oh My God, ini bukan acara perjodohan. Tapi sitting comedy!
***
"Evie, jangan bermalas-malasan terus! Wajahmu sangat pucat. Hiruplah udara segar pegunungan," perintah Mama. Ia menyodorkan sepatu sneaker merah muda kesayanganku.
"Ah, Mama. Selalu ganggu kesenanganku. Mama tak tahu anak Mama ini tergabung dalam klub rebahan eksklusif."
Mama berkacak pinggang. "Klub rebahan macam apa? Tak baik anak perawan hanya mengurung diri dan mendengarkan musik sepanjang hari di ruang tidur. Masa muda itu harus aktif."
"Aku kan sedang cuti kerja akhir tahun. Telingaku juga aktif mendengarkan omelan Mama," gumamku.