"Perkenalkan. Nama saya Ujang Tuna," ujar pemuda tampan yang berpakaian udik itu dengan penuh percaya diri.
Aku hampir tak bisa menahan semburan tawa. Bayangkan saja! Tak hanya namanya yang ear-catching (sekali mendengar namanya, tak akan terlupakan hingga akhir hayat), tapi gaya berpakaiannya pun out of the box. Kemeja bergaris hitam putih dipadukan celana panjang putih bermotif cucu ikan tuna berwarna biru muda. Mimpi apa aku semalam hingga harus berkenalan dengan seorang pangeran kerajaan laut?
"Maaf, namanya siapa?" Tanyaku berpura-pura tak mendengar namanya sembari mengepak-ngepakkan kedua mataku yang berbentuk almond. Tak lupa kuberikan bonus senyum semanis stevia. Gula pun kalah jauh manisnya dengan senyumku ini. Buktinya, Ujang Tuna pun silau dengan keimutanku. Aku bukan menyombongkan diri, tapi hanya menyatakan fakta. Aku memang IMUT. Camkan itu! Jadi, jangan kalian menganggap aku yang menjomblo di umur 25 tahun ini tak laku! Aku memang puas menjadi jomlo imut yang banyak diidamkan para pemuda. Tak seperti kedua orang tuaku yang konvensional dan memaksaku untuk ikut perjodohan seperti sekarang ini.
Ujang Tuna berdeham untuk mengembalikan kepercayaan dirinya yang hendak melarikan diri. Memang gadis kota jelita bernama Evie Andini yang berdiri di hadapannya ini, bagaikan racun sianida dosis tinggi. Tak baik untuk kesehatan jantungnya! Buktinya, jantung Ujang Tuna memberontak tanpa henti sejak ia melihat wajah Evie yang secantik Camila Cabello, penyanyi lagu Havana yang sering ia putar lagunya melalui ipad ketika ia bekerja di ladang singkong. Walaupun ia tak mengerti arti lirik lagu tersebut, tapi ia sangat menyukai suara khas sang vokalis dan irama lagu yang unik.
"Na...nama sa...saya U...Ujang Tuuuna," ulang Ujang Tuna dengan tergagap. Ia merasa ada katak besar yang menyangkut di tenggorokannya hingga sulit sekali mengulang perkenalan dirinya.
Aku terkikik. Kemudian berbisik pada Mama yang berdiri di sampingku, "Ujang Tuna dari keluarga Sardinia."
Mama mendelik dan menyodok pinggang kananku hingga aku meringis kesakitan. Ia iba melihat wajah Ujang Tuna yang semerah tomat matang. Pasti pemuda malang tersebut mendengar bisikan putrinya yang usil ini.
"Ah, namanya unik sekali. Mari masuk ke dalam! Kita minum teh chamomile dan makan dimsum. Evie ini pintar sekali menyeduh teh," sahut Mama penuh semangat. Ia menepuk bahu Ujang Tuna yang terkulai lesu tersebut.
"Shakespeare menyatakan apalah artinya sebuah nama," ujarku dengan nada seserius mungkin. Mendengar kalimatku yang menghibur, wajah muram Ujang Tuna kembali bercahaya.
Ujang Tuna menatap cangkir porselen berisikan kuntum bunga kuning dengan pandangan kosong. Apakah ini yang disebut teh chamomile? Dengan penasaran, ia melirik Mama yang menyeruput nikmat teh tersebut. Kemudian, ia kembali menatap cangkir tehnya sendiri dengan pandangan ganjil.
 Pemuda tampan ini menggelitik sesuatu dalam diriku hingga aku tak tahan untuk menggodanya, "Kak Tuna, mari diminum teh chamomile-nya. Aku tak meracuninya."
"Eh, iya," jawab Ujang Tuna. Ia mendekatkan cangkir teh tersebut ke bibirnya. Tapi, pandangannya tetap terpaku pada cangkir tehnya.
"Apa Nak Tuna tak suka aroma teh chamomile? Jika tak suka, tak perlu diminum. Maaf ya, kami tak peka. Pria pasti lebih menyukai kopi dibandingkan teh," ujar Mama sembari tersenyum lembut. Ia menoleh padaku, "Evie, kau buatkan saja secangkir kopi susu panas."
"Jangan! Tak perlu repot-repot. Saya suka minum teh. Hanya..."
"Hanya?" Tanyaku.
Ujang Tuna mendesah. Ekspresi wajahnya yang polos begitu menggemaskan ketika berkata, "Saya takut. Minum air bunga mudah dirasuki roh halus, terutama kunti. Bagaimana jika kunti merasuki diri saya yang pria ini? Nanti Neng Evie tak akan melihat diri saya sebagai pria macho dan perjodohan ini gagal begitu saja. Padahal Umi saya sudah membuat 10 kg opak untuk persiapan melamar Neng Evie."
Mama menggigit bibirnya untuk menahan tawa. Aku pun terpingkal sembari memegang perutku. Oh My God, ini bukan acara perjodohan. Tapi sitting comedy!
***
"Evie, jangan bermalas-malasan terus! Wajahmu sangat pucat. Hiruplah udara segar pegunungan," perintah Mama. Ia menyodorkan sepatu sneaker merah muda kesayanganku.
"Ah, Mama. Selalu ganggu kesenanganku. Mama tak tahu anak Mama ini tergabung dalam klub rebahan eksklusif."
Mama berkacak pinggang. "Klub rebahan macam apa? Tak baik anak perawan hanya mengurung diri dan mendengarkan musik sepanjang hari di ruang tidur. Masa muda itu harus aktif."
"Aku kan sedang cuti kerja akhir tahun. Telingaku juga aktif mendengarkan omelan Mama," gumamku.
Mendengar keluhanku, Mama langsung menjitak dahiku. "Jangan berdebat! Nak Tuna sudah menunggumu sejak tadi di ruang tamu. Kau sendiri yang berjanji untuk jogging dengan dirinya pagi ini."
Diiringi tatapan Mama yang setajam stiletto, aku pun segera mengganti gaun katun Tweety-ku yang agak belel dengan hoodie hitam BTS dan celana panjang training merah muda. Setelah mengoleskan tabir surya ke wajahku, aku pun siap menghadapi sinar matahari pagi yang cukup garang akibat perubahan iklim.
Ujang Tuna duduk termenung di sudut ruang tamu. Ia tampak sedang menghipnotis Ochi, ikan mas kokiku yang super chubby. Mereka saling menatap dengan intens seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.
"Kak Tuna sedang telepati dengan kerabat, ya?" Godaku sembari terkekeh.
"Hush, Evie. Jangan berkata yang tak sopan!" Hardik Mama.
"Tak apa-apa, Ma. Neng Evie memang senang bercanda," ujar Ujang Tuna dengan ramah.
Aku melirik Mama dengan penuh kemenangan.
 "Kak Tuna-nya juga tak tersinggung."
Ujang Tuna tersenyum sabar. Ia tak bisa menyembunyikan binar-binar sayang di kedua bola matanya ketika menatapku hingga aku tersipu malu.
Mama mendengus. "Nak Tuna, jangan terlalu memanjakan Evie! Sekarang saja ia selalu bertingkah semaunya."
"Mama kok lebih sayang Kak Tuna dibandingkan aku? Siapa yang anak kandung Mama?" Tanyaku terkejut. Mendengar reaksiku yang berlebihan, baik Ujang Tuna maupun Mama tertawa.
***
Dengan napas agak tersengal, aku menaiki lereng Gunung Halimun Salak yang terjal. Aku memang jarang berolahraga di alam terbuka.
"Neng Evie, wajahmu semerah stroberi. Kita istirahat dulu di pos ronda yang kosong itu," ajak Ujang Tuna. Ia tampak cemas dengan stamina tubuhku yang lemah.
Aku menggelengkan kepala. "Aku masih kuat." Bahkan, aku menolak uluran tangan Ujang Tuna. Aku tak mau dinilai sebagai gadis kota yang lemah tak berdaya.
Ujang Tuna mendesah. Ia mulai memahami keluhan Mama mengenai kekeraskepalaanku. Tapi aku tak bisa berpura-pura menjadi pribadi yang lain hanya untuk meraih cinta.
Walaupun lelah menaiki lereng, pengorbananku tak sia-sia. Aku membentangkan kedua tanganku untuk menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi. Hamparan ladang jagung begitu indah. Di mana-mana tampak buah jagung dengan untaian rambut jagung yang kecokelatan. Ujang Tuna pun tersenyum simpul melihat tingkahku.
"Neng Evie, kita kan sudah saling mengenal. Bagaimana pendapatmu tentang perjodohan kita?"
Aku menoleh pada Ujang Tuna dengan canggung, "Kita baru bertemu 2 kali."
"Itu sudah cukup untuk memantapkan hatiku. Tidakkah kau merasakan hal yang sama denganku?"
Aku terbelalak. Ke mana Ujang Tuna yang polos? Ia tampak begitu percaya diri ketika mengutarakan perasaan cintanya padaku.
"Neng Evie, aku berjanji akan membahagiakan dirimu. Kau tak akan menyesal memilih diriku," ujar Ujang Tuna sembari menggenggam kedua tanganku.
"A...aku tak tahu harus berkata apa. Hubungan kita terlampau cepat."
Ujang Tuna menatapku dengan pandangan janggal. Ia pun mengajakku menyusuri jalan setapak di antara ladang jagung.
"Neng Evie, aku sadar aku tak bisa dibandingkan dengan pemuda kota yang memiliki karir cemerlang dan harta melimpah. Aku hanya petani singkong. Ini kebun singkong yang kugarap. Walaupun aku bukan orang kaya raya, tapi aku mampu mencukupi kebutuhan hidupmu dari hasil berkebun."
Kalimat Ujang Tuna bagaikan sambaran petir. "Kau petani singkong?" Tanyaku lemah. Aku merasa tunas cintaku kandas seketika.
Ujang Tuna mengangguk antusias. Ia menarik tanganku agar naik ke undakan batu. "Lihatlah bentangan tanaman singkong ini. Dari batas pohon mangga tersebut hingga pagar bambu di sebelah sana merupakan lahan yang kugarap. Aku menanam tanaman singkong mentega yang rasanya sangat enak dan empuk."
Aku sulit sekali mencerna perkataan Ujang Tuna. Napasku terasa sesak. Dengan susah payah aku bertanya, "Mengapa harus singkong? Mengapa Kak Tuna tak menanam pohon kopi yang sesuai untuk ditanam di lereng gunung?"
"Ah, kau cukup tahu tentang pertanian, ya? Tanaman kopi memang bagus untuk mencegah erosi. Tapi aku memang petani singkong. Aku sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Mungkin suatu saat aku akan merambah ke perkebunan kopi yang memerlukan lebih banyak modal. Tapi untuk saat ini, fokusku ialah singkong."
Aku bergeming. Singkong?
Tanpa menyadari wajahku yang semakin lama semakin pucat, Ujang Tuna menjelaskan usaha singkongnya dengan riang. Ia terperanjat ketika aku merunduk dan memuntahkan segala isi perutku.
***
"Ah, Mama. Aku tak ingin dijodohkan dengannya," ujarku dengan mimik sesendu awan kumulonimbus. Aku kembali menggelung diriku ke sudut tempat tidur.
"Mengapa? Ujang Tuna pemuda yang sopan, baik, dan tampan. Walaupun polos, ia cukup terpelajar. Ia lulusan jurusan pertanian. Bahkan, ia membawakan Mama sebungkus besar singkong mentega yang baru saja ia panen. Mama lihat kau juga menyukai Ujang Tuna."
Aku merengut. "Aku tak suka singkong."
Mama berkacak pinggang. "Lalu?"
"Ujang Tuna petani singkong. Sedangkan aku tak tahan berada dekat singkong."
"Bertingkahlah dewasa! Masa kau menolak calon suami yang potensial hanya karena fobia singkong? Bagaimana jika kau berkonsultasi dengan psikolog?"
"Pokoknya, aku benci singkong. Aku tak mau menikah dengan petani singkong. TITIK," tegasku sembari membalikkan tubuhku sehingga menghadap dinding ruang tidur. Aku tak ingin Mama melihat linangan air mata di pipiku.
***
"Maaf ya, Nak Tuna. Evie belum bisa ditemui. Ia masih demam," kata Mama pada Ujang Tuna yang datang ke rumahnya untuk ketujuh kalinya. Sebenarnya, Mama segan berbohong terus-menerus pada Ujang Tuna. Tapi ia tak tega menyatakan kebenaran bahwa putrinya sangat fobia singkong, termasuk petani singkong seperti Ujang Tuna.
"Bolehkah saya menjenguknya?" Tanya Ujang Tuna. Ia menyerahkan berbagai kuliner berbahan dasar singkong. Mama tercengang menatap brownies singkong, keripik singkong pedas, opak singkong, enye-enye singkong, getuk, dan comro.
Mama menganggukkan kepala. "Nak, banyak sekali kau membawa buah tangan. Tak perlu merepotkan diri seperti ini."
Ujang Tuna memamerkan lesung pipitnya. "Mama menyukainya, tidak? Maaf ya Ma. Saya hanya bisa memberikan makanan sederhana seperti ini. Tapi, seluruh kuliner ini saya olah sendiri. Mama dan Evie tentu terbiasa menyantap makanan ala caf yang mahal dan enak."
"Tentu saja Mama menyukainya. Mama sangat menyukai makanan berbahan dasar singkong. Apalagi ini buatanmu. Semoga kau banyak rezeki, Nak," ujar Mama penuh haru. Ia memeluk bungkusan kuliner singkong itu seolah-olah harta karun.
***
Aku merengut. Orang yang paling ingin aku hindari, sekarang berada di ruang tidurku. Ujang Tuna menarik kursi ke sisi tempat tidurku dan duduk manis. Mama pun melirikku dengan ancaman maut. Aku mengerti peringatan dalam mata Mama. 'Awas saja jika kau tak sopan!' Ujang Tuna telah berhasil memikat hati Mama 100%. Aku salah telah menyepelekan kemampuan pemuda yang tampak polos itu.
"Mama akan membiarkan pintu ruang tidur ini terbuka. Kalian berbincanglah!" Seru Mama sembari meninggalkan kami berdua.
"Jadi?" Tanyaku tak bersemangat.
"Jadi apa?" Ujang Tuna malah balas bertanya.
"Apa yang kau inginkan?"
Ujang Tuna tersenyum simpul. "Sudah jelas kan maksud kedatanganku."
"Kau hanya berpura-pura polos. Sebenarnya, kau tak sepolos yang kukira. Kau memanfaatkan pesonamu pada Mama," tuduhku agak gusar.
"Aku memang tak polos. Tapi, siapa yang berbohong saat ini? Sebenarnya, kau tak sakit, kan?" Tanya Ujang Tuna dengan senyum jail. Ia mengelus anak-anak rambutku dengan lembut.
Aku tergagap. Dengan wajah jengah, aku bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena cinta."
Aku mencibir. "Kita kan tak terlalu saling mengenal."
Ujang Tuna menggelengkan kepala. "Hatiku sakit jika kau terus menekankan kita tak saling mengenal dengan baik. Aku sangat mengenal dan memahami dirimu. Untuk mengenal orang yang kita cintai, bukan masalah durasi, tapi perasaan."
Karena aku bergeming, Ujang Tuna melanjutkan perkataannya, "Aku selalu memperhatikan ekspresi wajahmu. Apa yang kau suka. Apa yang kau tak suka. Aku tahu kau keberatan dengan profesiku sebagai petani yang berpendapatan tak stabil. Tapi tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan diriku layak bagimu. Aku bertekad untuk lebih memajukan usaha kebun singkong. Selain itu, aku akan menjadi pengusaha kuliner berbahan dasar singkong. Ini semua kulakukan hanya untukmu, Evie. Aku sangat mencintaimu sejak pertama kali melihatmu."
Aku tercengang. Sungguhkah pemuda ini Ujang Tuna? Ia tak tampak udik lagi, tapi bercahaya seperti aktor KDrama.
"Aku bukan membenci kau sebagai petani. Tapi, aku benci singkong," kataku perlahan.
Ujang Tuna mengerutkan kening. "Jadi, perasaan cintaku kalah dengan singkong. Aku tak percaya ini."
"Kakek terkena serangan jantung saat ia makan singkong. Aku tak bisa melupakan ekspresi wajahnya yang kesakitan. Ia memohon pertolonganku, tapi aku tak berdaya. Sejak saat itu aku takut dengan singkong."
"Kau berusia berapa saat itu?"
"Lima tahun," sahutku sembari berlinang air mata.
Ujang Tuna memelukku dengan erat. "Aku sangat menyesal kau harus mengalami tragedi tersebut. Tenanglah! Aku akan berusaha membantumu secara perlahan. Kita pasti bisa mengatasi traumamu dengan singkong. Kau percaya padaku, kan?"
Aku menganggukkan kepala. Ternyata perasaanku begitu lega ketika mencurahkan rahasiaku pada Ujang Tuna. Mungkin suatu saat aku bisa menyantap comro singkong isi ikan tuna pedas. Siapa tahu?
Ketika Ujang Tuna mengedipkan mata kanannya pada Mama yang mengintip, aku tercekat. Mereka pasti berkonspirasi untuk melancarkan perjodohan ini! Aku sudah menduganya! Tapi apa dayaku? Aku sudah jatuh hati pada Ujang Tuna, si petani singkong yang tak sepolos penampilannya.