"Neng Evie, wajahmu semerah stroberi. Kita istirahat dulu di pos ronda yang kosong itu," ajak Ujang Tuna. Ia tampak cemas dengan stamina tubuhku yang lemah.
Aku menggelengkan kepala. "Aku masih kuat." Bahkan, aku menolak uluran tangan Ujang Tuna. Aku tak mau dinilai sebagai gadis kota yang lemah tak berdaya.
Ujang Tuna mendesah. Ia mulai memahami keluhan Mama mengenai kekeraskepalaanku. Tapi aku tak bisa berpura-pura menjadi pribadi yang lain hanya untuk meraih cinta.
Walaupun lelah menaiki lereng, pengorbananku tak sia-sia. Aku membentangkan kedua tanganku untuk menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi. Hamparan ladang jagung begitu indah. Di mana-mana tampak buah jagung dengan untaian rambut jagung yang kecokelatan. Ujang Tuna pun tersenyum simpul melihat tingkahku.
"Neng Evie, kita kan sudah saling mengenal. Bagaimana pendapatmu tentang perjodohan kita?"
Aku menoleh pada Ujang Tuna dengan canggung, "Kita baru bertemu 2 kali."
"Itu sudah cukup untuk memantapkan hatiku. Tidakkah kau merasakan hal yang sama denganku?"
Aku terbelalak. Ke mana Ujang Tuna yang polos? Ia tampak begitu percaya diri ketika mengutarakan perasaan cintanya padaku.
"Neng Evie, aku berjanji akan membahagiakan dirimu. Kau tak akan menyesal memilih diriku," ujar Ujang Tuna sembari menggenggam kedua tanganku.
"A...aku tak tahu harus berkata apa. Hubungan kita terlampau cepat."
Ujang Tuna menatapku dengan pandangan janggal. Ia pun mengajakku menyusuri jalan setapak di antara ladang jagung.