"Dibungkus saja, Bu," saran Fero yang tak tega melihat Sandy yang merana. Nanti masakan ayam itu bisa diberikan pada orang yang lebih membutuhkan.
"Tak bisa. Ibu ingin Sandy mencoba masakan Ibu di depan Ibu dan menilai apakah masakan ayam ini enak tidak."
Sandy mengerang. Ia tak tahu harus ngeri pada siapa? Pada Tia yang menaruh dendam kesumat? Pada ayam merah yang ia merasakan dendam kesumat? Atau, pada Bu Zahra yang ramah, lugu, dan sabar, tapi tak pernah gagal membuat dirinya pusing 1 juta kali keliling. "Bu, tak mungkin aku menghabiskan semua masakan ayam ini seorang diri."
"Kau makan saja dulu. Nanti sisanya dibungkus. Sekarang Ibu mau ambil cabai rawit dulu di tebing sungai. Masa Sandy makan masakan ayam tanpa sambal cabai rawit. Tak nikmat," tegas Bu Zahra.
"Aduh, Bu. Jangan menantang bahaya! Bagaimana jika Ibu jatuh ke sungai hanya gara-gara cabai rawit?" Ujar Ima.
"Ibu ini lahir di sini. Sudah terbiasa menuruni tebing sungai. Memang Ibu menanam segala tanaman di sana. Tak hanya tanaman cabai rawit, tapi juga pohon pisang dan pepaya. Tanahnya lebih subur."
Rio menggelengkan kepala sembari menatap punggung Bu Zahra yang menjauh. "Luar biasa. Inilah perempuan perkasa yang cocok menjadi pendamping hidup kita yang menekuni bidang pertanian. Andai saja ia 40 tahun lebih muda."
Ah, sungguh hebat semangat juang Bu Zahra. Ia bergelantungan di akar-akar pohon Ki Bolong dan menuruni tebing secekatan kambing gunung. Sembari tertawa riang, ia melambaikan tangan kanannya ke Kelompok KKN. Sementara itu, tangan kirinya penuh dengan cabai rawit. Kearifan lokal tak hanya mengenai produk UKM, tapi juga mengenai filsafah hidup.
Kelompok KKN pun bersorak sorai, "HIDUP BU ZAHRA! HIDUP PEREMPUAN PERKASA. HIDUP ARIMBI KITA!"
Untuk sekejap Sandy melupakan masalah ayam merah. Ia ikut larut dalam euforia teman-temannya. Kemudian, ia kembali membisu.
Sandy memang tak tegas dan sulit menolak permohonan orang lain. Sungguh tak adil semua ini. Tapi apa ada keadilan di dunia yang keji ini? Ia memejamkan kedua matanya. Ayam merah, oh, ayam merah. Jika kusantap kau, ini demi Bu Zahra. Jadi, jangan datangi aku, ya? Memang sudah nasib kau untuk disantap. Setidaknya, kau memiliki hidup yang bermanfaat. Walaupun dunia tak adil padamu...walaupun dunia tak adil pada kita berdua...