"Ima, makan dulu. Ajak teman sekelompok KKN-nya. Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk kalian semua," ujar Bu Zahra sembari tersenyum manis. Untuk sejenak, wajah berbentuk oval tersebut tampak jauh lebih muda dari usianya yang sudah menginjak 60 tahun.
Ima mengusap keringat yang bercucuran di pelipisnya. Mentari murka hari ini. Padahal baru jam 9 pagi, tapi rasanya seperti tengah hari. Memang cacing-cacing di perutnya pun sudah meronta kelaparan. Ia pun memberi isyarat pada anggota kelompok KKN-nya untuk istirahat walaupun pekerjaan mereka masih jauh dari kata selesai. Aktivitas KKN hari ini ialah memperbaiki pekarangan rumah Bu Zahra yang merupakan janda. Mereka sudah membuat galur-galur untuk ditanami bibit sayuran sehingga Bu Zahra bisa mencukupi kebutuhan sayur dari bercocok tanam sendiri. Sebenarnya, Bu Zahra senang berkebun. Walaupun demikian, hasil panennya kurang memuaskan sehingga kelompok KKN ingin menerapkan konsep permaculture yang ramah lingkungan dan tanaman akan tumbuh jauh lebih subur.
Dengan bangga, Bu Zahra menunjukkan makanan yang sudah tertata rapi di atas tikar pada teras rumahnya. Tak hanya ketimus singkong, enye-enye singkong, dan bakwan goreng, tapi juga tersedia teh manis panas yang uapnya masih mengepul. "Tehnya lebih harum. Daun tehnya hasil dari perkebunan teh dekat sini."
"Kok repot-repot, Bu. Nanti Ibu makan apa jika persediaan makanan Ibu dihidangkan untuk kami? Bukankah biasanya Ibu berjualan makanan ini? Hidangannya banyak sekali. Sebaiknya, kami membayar saja seluruh makanan ini," ujar Fero, ketua kelompok KKN Universitas Halimun. Bahkan, ia sudah mengeluarkan dompetnya.
Bu Zahra mengibaskan tangan kanannya. "Ah, tenang saja. Kalian tak perlu membayar. Kalian kan sudah membantu Ibu. Makanan itu soal kecil. Ibu bisa memperoleh makanan dari alam."
"Maksudnya? Ibu memancing ikan?" Tanya Tia sembari mengangkat kedua alis ulat bulunya. Karena alisnya itu, ia sering sewot karena dikatai mirip Shin-chan.
Bu Zahra menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum misterius bagaikan Monalisa. "Ayo, cepat disantap. Nanti keburu dingin."
"Ibu membuat sendiri enye-enye? Ini enak banget. Rasa keju," ujar Ima.
"Ada UKM-nya di dekat Warung Bu Mimin. Selain rasa keju, ada rasa lain seperti cabai, jengkol, wijen, dan original."
"Berarti enye-enye merupakan kearifan lokal di sini. Nanti kami akan kunjungi juga UKM itu. Siapa tahu ada yang bisa kami perbuat untuk pengembangan produk enye-enye," kata Fero antusias. Ia mengunyah cemilan singkong itu dengan riang. Program KKN juga harus menyertakan kearifan lokal agar masyarakat semakin sejahtera.
***
Karena halaman rumah Bu Zahra sempit, saat tengah hari aktivitas KKN pun telah selesai. Dengan puas mereka menatap hasil kerja mereka. Konsep permaculture akan membuat halaman rumah tampak asri dengan adanya berbagai jenis tanaman.
"ADUH! TOLONG TANGKAP SI MERAH!" Jerit Bu Zahra.
Fero dan Ima berusaha menghadang dari arah depan dan belakang si ayam nakal. Tapi, gagal karena ayam cerdik itu malah lari melalui kedua kaki Fero yang terbuka. Jadi, siapa yang berkata bahwa ayam tak berotak saking kecilnya otak ayam? Buktinya, ayam merah ini memiliki IQ yang lebih tinggi dari Fero dan Ima. Ups!
Untung saja Sandy berhasil mengembalikan harga diri Homo sapiens. Dengan cekatan, Sandy menangkap ayam betina kurus yang bulunya gundul di berbagai tempat karena usia tua. "Ayamnya hendak disembelih?"
"Ah, masa disembelih? Ayam merah satu-satunya ini kesayangan Ibu."
"Oh, mau dimasukkan ke kandang, ya? Tapi di mana kandangnya?" Tanya Sandy sembari celingukan. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat menyemprot perutnya. "Aduh! Celaka!"
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan konsep permaculture yang telah kita terapkan pada kebun Bu Zahra?" Tanya Ima dengan waswas.
Ekspresi wajah Sandy sangat mengibakan hati. Dengan nada sedih, ia berbisik, "Bukan permaculture, tapi ayamnya pup. T-shirt putih-ku kotor semua. Padahal t-shirt ini legendaris, hadiah dari Cynthia, mantan kekasihku."
Tentu saja kelompok KKN langsung tertawa histeris. Tanpa menghiraukan penderitaan Sandy, mereka malah mengolok-oloknya dengan keji.
"Ayamnya mungkin tahu t-shirt dari mantan itu harus disingkirkan? Kau harus move on. Masa kau akan terus hidup dengan kenangan dari mantan? Berterimakasihlah pada sang ayam jenius," ujar Fero.
"Ayam betina ini jatuh cinta padamu sehingga menandai dirimu sebagai hak miliknya?" Tanya Ima dengan raut wajah tak berdosa.
Tak kalah sadis, Rio yang biasanya pendiam, berkomentar, "Ayam cantik sudah kebelet pup, dan kau tampak cocok jadi pispot?"
Sandy memandang Tia penuh rasa terima kasih karena Tia diam saja. Tak mengolok-oloknya. Tapi harapan tinggal harapan. Sudut bibir kiri Tia agak berkedut. Kemudian, Tia mendongakkan kepalanya ke belakang dan tertawa sekeras mungkin. "Rasakan kau, cowok PHP (Pengharapan Palsu)! Kau tolak cintaku karena masih teringat mantanmu yang menor itu. Aku suka gayamu, Ayam Manis! Mungkin ayam jenius ini reinkarnasi dari pelukis abstrak." Bahkan Tia mengedipkan mata kirinya pada ayam betina yang sudah diamankan oleh Bu Zahra dari tangan gemetar Sandy. Sepertinya, Bu Zahra khawatir akan terjadi pembunuhan berencana pada ayam petelur kesayangannya itu. Kejahatan terjadi jika ada niat dan kesempatan. Waspadalah!
"Fero, sekarang jam berapa, ya?" Tanya Bu Zahra.
"Jam setengah satu siang," jawab Fero sembari melirik jam tangan kulit di pergelangan tangan kirinya.
"Ah, sudah waktunya," ujar Bu Zahra sembari mengelus kepala ayam petelur tak tahu diri itu. Ia pun menatap kedua mata ayamnya tanpa kedip. Ekspresi wajah Bu Zahra sangat menyeramkan ala film horor.
Melihat kelakuan Bu Zahra yang ganjil itu, tak urung perasaan takut menyelimuti hati Ima. Apakah Bu Zahra kurang waras karena terlampau lama hidup melarat tanpa suami? Sudah 15 menit Bu Zahra menghipnotis si ayam. Mereka ingin pamit pulang. Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Bu Zahra?
Tia pun menyodok pinggang kiri Rio dan berbisik, "Apa Bu Zahra baik-baik saja? Jangan-jangan ia kerasukan jin musang yang suka makan ayam."
Rio, si mahasiswa yang diam-diam menghanyutkan itu, tak kalah sablengnya dalam berkomentar, "Beliau baik-baik saja. Ia hanya sedang adu kekuatan mata dengan si ayam petelur. Tuh, kau lihat saja! Ayamnya kalah dan berpaling."
Tia pun menatap tak percaya. Si ayam benar-benar berpaling. Ia enggan menatap balik sang majikan. Setelah berkotek dengan resah, sang ayam pun menutup mata dan mengejan.
PLOP!
Dengan tertawa penuh kemenangan, Bu Zahra mengangkat tangan kanannya yang berhasil menangkap telur ayam tepat pada waktunya. Ekspresi wajahnya persis penjaga gawang yang berhasil menangkap bola lawan. "Alhamdulillah, Allah Swt memberi nikmat telur melalui ayam merah ini. Begitu baiknya ayam merah ini."
Kelompok KKN pun bernapas lega. Ternyata Bu Zahra menunggu ayamnya bertelur. Jadi, untuk apa cucuran keringat dingin mereka ini? Adrenalin mereka sempat melonjak dan sekarang turun lagi ke titik nol.
"Tadi Ibu sempat khawatir. Bagaimana jika ayam merah ini tak mau bertelur? Sudah 3 hari ia enggan bertelur. Padahal Ibu ingin sekali makan dadar telur bertaburkan cabai rawit."
Ima pun merangkul janda bergamis merah muda ini dengan penuh kasih sayang. "Ibu tinggal bilang ke kami saja jika mau telur. Ibu sudah menjamu kami sarapan yang enak."
Bu Zahra menggelengkan kepala. "Ibu tak mau berhutang. Kalian kan sudah membantu Ibu. Dan Ibu sudah membayarnya dengan sarapan. Jika Ibu meminta telur pada kalian, berarti Ibu berutang. Lagipula Ibu sudah cukup mendapat telur dari ayam Ibu."
"Memangnya ayam Ibu yang hebat itu berapa kali bertelurnya dalam sehari?" Sindir Sandy yang memiliki dendam kesumat pribadi pada si ayam merah. Seolah-olah mengetahui aura pembunuhan yang mengintai dirinya, si ayam merah berkotek gaduh dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan ganas. Kemudian, ia melepaskan diri dari pelukan Bu Zahra dan kabur secepat kilat ke dalam rumah.
Bu Zahra berpaling pada Sandy yang tampak memilukan. "Sandy mandi di rumah Ibu, ya? Ibu ada t-shirt bersih yang baru Ibu jahit. Sebagai tanda maaf, t-shirt baru itu untuk Sandy saja."
"Baiklah, Bu," seru Sandy antusias. Ia memang sudah merasa tak nyaman dengan dirinya yang bau pup ayam. Ia pun menoleh pada teman-teman kelompok KKN-nya. "Kalian tunggu aku sebentar, ya?"
Lima belas menit kemudian, Sandy sudah harum dan rapi kembali. Dengan bangga, ia memamerkan t-shirt barunya yang bermotif tabrak warna. "Wah, Bu Zahra. Selera Ibu boleh juga. Keren tshirt-nya. Benar Ibu menjahit sendiri t-shirt ini?"
Bu Zahra tertawa kecil. "Alhamdulillah, Sandy suka t-shirt buatan Ibu."
"Aku bayar saja ya t-shirt ini. Seharusnya, Ibu menjual t-shirt ini."
"Tak perlu. Ibu memperoleh bahan t-shirt ini gratis."
"Gratis?"
"Seminggu yang lalu tetangga Ibu ada yang tiba-tiba meninggal dunia. Jadi, Ibu diberi sekarung baju bekas Almarhum. Karena modelnya sudah ketinggalan zaman, Ibu permak saja. Cukup bagus kan hasilnya?" Jelas Bu Zahra bangga.
"HAH! Ja...jadi, t-shirt yang kupakai ini tadinya milik Almarhum?"
"Iya. Tapi Sandy tenang saja. Almarhum sakit jantung. Jadi, Sandy tak akan tertular penyakit apa pun melalui t-shirt ini. Ibu juga sudah mencuci dan menyetrika t-shirt itu. Anti kuman."
"Ta...tapi...Bagaimana jika aku dihantui, Bu?"
"Sandy rajin shalat, kan? Tak akan mungkin hantu mendekat. Pokoknya, Ibu senang sekali jika Sandy memakai t-shirt ini selama KKN. Nanti pemuda-pemuda lain di sini juga akan membeli t-shirt buatan Ibu jika melihat betapa kerennya Sandy, si pemuda kota."
Sandy gelagapan. Ia tak bisa mendebat Bu Zahra yang penuh percaya diri. Dengan pandangan memelas, ia pun melirik teman-teman kelompok KKN-nya. Ekspresi mereka ganjil karena menahan tawa. Sepertinya, KKN bersama Bu Zahra tak akan pernah monoton.
"Recycle t-shirt, San. Kau pelopor konsumen produk cinta lingkungan hidup," ujar Tia sembari cekikikan. Ia tahu Sandy itu sangat takut dengan segala hal yang berbau mistis dan hantu. Mau buang air kecil saat tengah malam saja pasti Sandy minta ditunggui Fero di luar kamar mandi. Apalagi memakai t-shirt orang yang baru saja meninggal dunia.
***
"PETOK! PETOK! Mengapa kau membunuhku, Zahra? Dulu setiap hari aku bertelur untukmu. Begitu aku tua dan jarang bertelur, kau langsung memerintahkan saudaramu untuk menyembelihku. Kau kejam, Zahra. Kau sungguh kejam. Dasar manusia tak tahu budi! Habis manis sepah dibuang!"
Setelah berceloteh panjang lebar, si ayam merah terbatuk-batuk. Dari paruhnya keluar darah segar yang terus mengalir hingga menganak sungai. Walaupun Bu Zahra menjerit histeris, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
Semakin lama si ayam merah semakin dekat. Tubuh si ayam merah pun semakin besar hingga melebihi besarnya tubuh Bu Zahra. Ia menghampiri Bu Zahra dan membuka paruhnya selebar mungkin. Karena kakinya lemas, Bu Zahra tak kuat untuk melarikan diri. Ia hanya bisa pasrah menanti ajalnya ketika paruh raksasa itu terbuka semakin lebar. Dan hanya kegelapan yang menyelimuti diri Bu Zahra.
Saat tengah malam, Bu Zahra terbangun dan menangis ketakutan. "Jangan! Jangan makan aku, ayam merah! Aku kurus. Sudah tua. Dagingku tak enak dan alot. Mengapa kau tak makan saja tetanggaku yang masih muda dan segar, Imas si renternir?"
***
"Wah, ada acara apa hingga Ibu mengundang kami semua? Kebun Ibu masih harus diperbaiki?" Tanya Fero heran. Kelompok KKN mereka baru saja selesai melakukan kunjungan ke UKM produk enye-enye singkong. Mereka menyarankan pada sang pemilik UKM untuk mempercantik kemasan produk dan mengembangkan pemasaran. Saat mereka berjalan pulang, tiba-tiba Bu Zahra mencegat mereka semua.
Bu Zahra menggelengkan kepala. "Bukan, Fero. Ibu ingin kalian menyantap masakan Ibu yang enak ini. Anak Ibu tak jadi datang dari Jakarta karena lembur. Jika dibiarkan, masakan ayam ini mubazir."
"Ibu kan bisa menyantapnya sendiri dan menghangatkan sisa makanannya. Bukankah Ibu sering mengeluh harga bahan makanan di sini mahal?" Tanya Ima.
Bu Zahra menggelengkan kepala. "Ibu tak ingin makan ayam. Kalian saja yang makan. Mari duduk dulu di teras rumah."
Sandy yang sudah berpengalaman dengan karakteristik Bu Zahra yang ajaib, menjadi curiga. Ia pun berbisik pada Fero, "Pasti ada apa-apanya dengan ayam itu. Seingatku, Bu Zahra pernah berkata bahwa ia sangat menyukai hidangan ayam goreng."
Fero pun mendeham. Ia berpikir, bisa berbahaya jika kelompok KKN keracunan makanan. "Bu, benar tak ada apa-apa dengan masakan ayam ini?"
Dengan raut wajah lugu, Bu Zahra mengangguk. Tapi posisi duduknya yang begitu kaku hingga kedua tangannya yang terlipat rapi di atas pangkuannya, sungguh ganjil. Tampak benar Bu Zahra menyembunyikan keresahannya.
Sandy tiba-tiba teringat sesuatu. "Bu, ke mana si ayam merah yang nakal itu?"
"Ayam merah sudah jadi ayam goreng dan sup."
"Itu kan ayam kesayangan Ibu?"
Bu Zahra mendesah. "Ibu tak punya uang untuk membeli daging ayam. Jadi, sembelih ayam yang ada saja. Ia sudah tak bertelur lagi."
"Lalu mengapa Ibu tak menyantapnya? Apa ayam itu mati karena sakit?" Desak Sandy yang penasaran.
Dengan gugup, Bu Zahra memilin pita gaunnya yang berwarna biru tua. Ia tak berani menatap Sandy. Dengan suara pecah, ia berkata, "Ayam merah sehat sebelum disembelih. Ta...tapi...I...ibu ta...takut. Ayam merah datang ke mimpi Ibu dan memarahi Ibu. Bahkan, Ibu pun dilahapnya." Air mata frustasi bergulir di pipi Bu Zahra yang masih cukup kencang. "Ibu sungguh menyesal. Seharusnya, Ibu tak menyuruh saudara Ibu untuk menyembelih si ayam merah. Sejak ayam merah itu mati, bulu kuduk Ibu merinding terus jika berada di halaman rumah atau dapur, tempat ia biasa bermain. Wajah si ayam merah selalu terbayang di pelupuk mata. Pasti roh ayam merah itu penasaran. Ia sangat membenci Ibu, majikannya sendiri."
Sandy menyeringai. Ia sudah menduga pasti ada kejadian unik di balik masakan ayam. Memang Bu Zahra ini lain daripada yang lain.
Tiba-tiba Bu Zahra menatap kelompok KKN dengan penuh harap. "Tapi Ibu yakin. Jika kalian yang menyantap daging si ayam merah, pasti kalian tak akan dihantui karena bukan kalian yang menyebabkan tewasnya dia. Kalian mau ya menyantapnya? Ibu takut setiap melihat masakan ayam ini. Semakin cepat masakan ayam ini habis semakin baik. Lagipula dosa besar jika kita menyia-nyiakan makanan enak ini."
Kelompok KKN pun tertegun dan saling berpandangan. Aduh, bagaimana ini? Berani tidak ya menyantap ayam merah itu? Memang tak logis menyia-nyiakan makanan.
Tia memecahkan keheningan dengan celetukannya. "Biar Sandy saja yang menyantapnya, Bu."
"Hey, Tia! Aku tak mau. Perutku sudah kenyang," ujar Sandy penuh rasa panik. Mana berani ia menyantap ayam merah yang misterius itu.
Tanpa menghiraukan protes Sandy yang malang, Tia melanjutkan provokasinya, "Baru tadi kau mengeluh kelaparan. Karena si ayam merah sudah berbuat dosa pada Sandy, ia harus menebus kesalahannya. Kita semua rela jika Sandy yang menyantap habis daging ayam merah agar tak ada dendam kesumat di antara mereka berdua."
Bu Zahra bertepuk tangan dengan riang. "Ah benar. Kau jenius, Tia. Biar Sandy saja yang menyantap masakan ayam ini."
"Dibungkus saja, Bu," saran Fero yang tak tega melihat Sandy yang merana. Nanti masakan ayam itu bisa diberikan pada orang yang lebih membutuhkan.
"Tak bisa. Ibu ingin Sandy mencoba masakan Ibu di depan Ibu dan menilai apakah masakan ayam ini enak tidak."
Sandy mengerang. Ia tak tahu harus ngeri pada siapa? Pada Tia yang menaruh dendam kesumat? Pada ayam merah yang ia merasakan dendam kesumat? Atau, pada Bu Zahra yang ramah, lugu, dan sabar, tapi tak pernah gagal membuat dirinya pusing 1 juta kali keliling. "Bu, tak mungkin aku menghabiskan semua masakan ayam ini seorang diri."
"Kau makan saja dulu. Nanti sisanya dibungkus. Sekarang Ibu mau ambil cabai rawit dulu di tebing sungai. Masa Sandy makan masakan ayam tanpa sambal cabai rawit. Tak nikmat," tegas Bu Zahra.
"Aduh, Bu. Jangan menantang bahaya! Bagaimana jika Ibu jatuh ke sungai hanya gara-gara cabai rawit?" Ujar Ima.
"Ibu ini lahir di sini. Sudah terbiasa menuruni tebing sungai. Memang Ibu menanam segala tanaman di sana. Tak hanya tanaman cabai rawit, tapi juga pohon pisang dan pepaya. Tanahnya lebih subur."
Rio menggelengkan kepala sembari menatap punggung Bu Zahra yang menjauh. "Luar biasa. Inilah perempuan perkasa yang cocok menjadi pendamping hidup kita yang menekuni bidang pertanian. Andai saja ia 40 tahun lebih muda."
Ah, sungguh hebat semangat juang Bu Zahra. Ia bergelantungan di akar-akar pohon Ki Bolong dan menuruni tebing secekatan kambing gunung. Sembari tertawa riang, ia melambaikan tangan kanannya ke Kelompok KKN. Sementara itu, tangan kirinya penuh dengan cabai rawit. Kearifan lokal tak hanya mengenai produk UKM, tapi juga mengenai filsafah hidup.
Kelompok KKN pun bersorak sorai, "HIDUP BU ZAHRA! HIDUP PEREMPUAN PERKASA. HIDUP ARIMBI KITA!"
Untuk sekejap Sandy melupakan masalah ayam merah. Ia ikut larut dalam euforia teman-temannya. Kemudian, ia kembali membisu.
Sandy memang tak tegas dan sulit menolak permohonan orang lain. Sungguh tak adil semua ini. Tapi apa ada keadilan di dunia yang keji ini? Ia memejamkan kedua matanya. Ayam merah, oh, ayam merah. Jika kusantap kau, ini demi Bu Zahra. Jadi, jangan datangi aku, ya? Memang sudah nasib kau untuk disantap. Setidaknya, kau memiliki hidup yang bermanfaat. Walaupun dunia tak adil padamu...walaupun dunia tak adil pada kita berdua...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H