"Itu kan ayam kesayangan Ibu?"
Bu Zahra mendesah. "Ibu tak punya uang untuk membeli daging ayam. Jadi, sembelih ayam yang ada saja. Ia sudah tak bertelur lagi."
"Lalu mengapa Ibu tak menyantapnya? Apa ayam itu mati karena sakit?" Desak Sandy yang penasaran.
Dengan gugup, Bu Zahra memilin pita gaunnya yang berwarna biru tua. Ia tak berani menatap Sandy. Dengan suara pecah, ia berkata, "Ayam merah sehat sebelum disembelih. Ta...tapi...I...ibu ta...takut. Ayam merah datang ke mimpi Ibu dan memarahi Ibu. Bahkan, Ibu pun dilahapnya." Air mata frustasi bergulir di pipi Bu Zahra yang masih cukup kencang. "Ibu sungguh menyesal. Seharusnya, Ibu tak menyuruh saudara Ibu untuk menyembelih si ayam merah. Sejak ayam merah itu mati, bulu kuduk Ibu merinding terus jika berada di halaman rumah atau dapur, tempat ia biasa bermain. Wajah si ayam merah selalu terbayang di pelupuk mata. Pasti roh ayam merah itu penasaran. Ia sangat membenci Ibu, majikannya sendiri."
Sandy menyeringai. Ia sudah menduga pasti ada kejadian unik di balik masakan ayam. Memang Bu Zahra ini lain daripada yang lain.
Tiba-tiba Bu Zahra menatap kelompok KKN dengan penuh harap. "Tapi Ibu yakin. Jika kalian yang menyantap daging si ayam merah, pasti kalian tak akan dihantui karena bukan kalian yang menyebabkan tewasnya dia. Kalian mau ya menyantapnya? Ibu takut setiap melihat masakan ayam ini. Semakin cepat masakan ayam ini habis semakin baik. Lagipula dosa besar jika kita menyia-nyiakan makanan enak ini."
Kelompok KKN pun tertegun dan saling berpandangan. Aduh, bagaimana ini? Berani tidak ya menyantap ayam merah itu? Memang tak logis menyia-nyiakan makanan.
Tia memecahkan keheningan dengan celetukannya. "Biar Sandy saja yang menyantapnya, Bu."
"Hey, Tia! Aku tak mau. Perutku sudah kenyang," ujar Sandy penuh rasa panik. Mana berani ia menyantap ayam merah yang misterius itu.
Tanpa menghiraukan protes Sandy yang malang, Tia melanjutkan provokasinya, "Baru tadi kau mengeluh kelaparan. Karena si ayam merah sudah berbuat dosa pada Sandy, ia harus menebus kesalahannya. Kita semua rela jika Sandy yang menyantap habis daging ayam merah agar tak ada dendam kesumat di antara mereka berdua."
Bu Zahra bertepuk tangan dengan riang. "Ah benar. Kau jenius, Tia. Biar Sandy saja yang menyantap masakan ayam ini."