Tak kalah sadis, Rio yang biasanya pendiam, berkomentar, "Ayam cantik sudah kebelet pup, dan kau tampak cocok jadi pispot?"
Sandy memandang Tia penuh rasa terima kasih karena Tia diam saja. Tak mengolok-oloknya. Tapi harapan tinggal harapan. Sudut bibir kiri Tia agak berkedut. Kemudian, Tia mendongakkan kepalanya ke belakang dan tertawa sekeras mungkin. "Rasakan kau, cowok PHP (Pengharapan Palsu)! Kau tolak cintaku karena masih teringat mantanmu yang menor itu. Aku suka gayamu, Ayam Manis! Mungkin ayam jenius ini reinkarnasi dari pelukis abstrak." Bahkan Tia mengedipkan mata kirinya pada ayam betina yang sudah diamankan oleh Bu Zahra dari tangan gemetar Sandy. Sepertinya, Bu Zahra khawatir akan terjadi pembunuhan berencana pada ayam petelur kesayangannya itu. Kejahatan terjadi jika ada niat dan kesempatan. Waspadalah!
"Fero, sekarang jam berapa, ya?" Tanya Bu Zahra.
"Jam setengah satu siang," jawab Fero sembari melirik jam tangan kulit di pergelangan tangan kirinya.
"Ah, sudah waktunya," ujar Bu Zahra sembari mengelus kepala ayam petelur tak tahu diri itu. Ia pun menatap kedua mata ayamnya tanpa kedip. Ekspresi wajah Bu Zahra sangat menyeramkan ala film horor.
Melihat kelakuan Bu Zahra yang ganjil itu, tak urung perasaan takut menyelimuti hati Ima. Apakah Bu Zahra kurang waras karena terlampau lama hidup melarat tanpa suami? Sudah 15 menit Bu Zahra menghipnotis si ayam. Mereka ingin pamit pulang. Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Bu Zahra?
Tia pun menyodok pinggang kiri Rio dan berbisik, "Apa Bu Zahra baik-baik saja? Jangan-jangan ia kerasukan jin musang yang suka makan ayam."
Rio, si mahasiswa yang diam-diam menghanyutkan itu, tak kalah sablengnya dalam berkomentar, "Beliau baik-baik saja. Ia hanya sedang adu kekuatan mata dengan si ayam petelur. Tuh, kau lihat saja! Ayamnya kalah dan berpaling."
Tia pun menatap tak percaya. Si ayam benar-benar berpaling. Ia enggan menatap balik sang majikan. Setelah berkotek dengan resah, sang ayam pun menutup mata dan mengejan.
PLOP!