Efektivitas kepemimpinan kepala daerah merupakan ukuran keberhasilan pencapaian suatu tujuan atau apa yang dicapai dibandingkan dengan apa yang ingin dicapai kesenjangannya tidak terlalu jauh. Dengan demikian kepemimpinan yang efektif adalah sistem kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dapat menggerakkan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Oleh karena itu pemimpin yang efektif harus memiliki kemampuan yang antara lain menyangkut kompotensi teknis dan profesional, efektivitas kepemimpinan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang merupakan pola perilaku yang relatif tetap yang memberi karakteristik pada seorang pemimpin serta sifat-sifat dan karakteristik personal.
Salah satu kewajiban Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adalah pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian di atas agar Kepala Daerah dalam pengambilan keputusan berkualitas maka kompetensi teknis dan profesionalisme harus dimiliki oleh setiap kepala daerah.
Oleh karena itu efektivitas kepemimpinan seorang kepala daerah mutlak diperlukan karena dengan "kepemimpinan yang efektif" dalam arti memiliki kemampuan melaksanakan fungsi manajemen, motivasi untuk berhasil dalam pekerjaan, intelegensi, k'emampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan, rasa percaya diri dan kemampuan melaksanakan inisiatif, berani dan tegas, merupakan modal dasar seorang pemimpin. Jika modal dasar tersebut dimiliki oleh setiap "pemimpin pemerintahan daerah", niscaya peran "kepemimpinan" yang dijalankan pada gilirannya menuju pada titik optimum yakni dengan kata kunci "efisien", artinya pengelolaan sumberdaya yang terbatas dapat tercapai "hasil guna" yang maksimal, misalnya dalam membangun "infrastruktur " memiliki manfaat dan dampakyang luas bagi pertumbuhan ekonomi dan modal sosial yang memadai. Kepemimpinan akan efektif artinya dalam mengelola sumber sumberdaya yang terbatas tersebut tepat sasaran, misalnya dalam melaksanakan pembangunan sektor perdagangan mampu menggerakan potensi pedagang ekonomi lemah yang seluruhya terkoordinasikan oleh "infrastruktur " pasar tradisionil yang aman, bersih dan nyaman, bukan justru sebaliknya membangun sektor perdagangan dengan membiarkan tumbuhnya Mall-Mall, Supermarket, Mini Market yang bertebaran sampai pelosok desa, tetapi tidak memiliki linkage yang signifikan dengan eksistensi pada pedagang kecil dan ekonomi lemah di hampir semua daerah di Indonesia. Bahkan yang terjadi justru pembangunan sektor perdagangan yang memiliki efek semakin melemahnya atau gulung tikarnya para pedagang kecil secara perlahan tapi pasti. Dengan kata lain sesungguhnya sedang terjadi kontradiksi kebijakan pembangunan yang disadari atau tidak " proses pemiskinan sedang berjalan secara massif baik di pedesaan maupun di perkotaan terutama pendudukyangberada pada wilayah pinggiran dan perkampungan kumuh (slum). Walaupun situasi tersebut sudah diketahui oleh para "policy maker", akan tetapi secara situasional mereka berada pada posisi " ketidak berdayaan dibidang pemikiran" sehingga seolah-olah terjadi proses "pembiaran".
Oleh sebab itu analisis terhadap contoh fenomena yang sedang berkembang saat ini, agar tidak menjadi preseden yang perkembangannya tidak terkendali, pada dasarnya dibutuhkan di setiap daerah seorang "pemimpin pemerintahan" yakni Gubernur dan Bupati/Walikota memiliki "kepemimpinan" yang efesien dan efektif sebagaimana di jelaskan diatas.
Dengan demikian kepemimpinan yang efektif bagi seorang kepala daerah bisa diharapkan problem yang kompleks mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah yang meliputi kepegawaian, keuangan, pelayanan kepada masyarakat serta masalah kelembagaan serta masalah pemerintahan dan pembangunan dan lain-lain, dapat diselesaikan secara lebih sistematis, konsepsional dan terpadu. Serba dengan "kepemimpinan" yang efektif tersebut akan mendorong terhadap "proses pengambilan keputusan" yang cepat dan akurat.
Dalam hal ini pengambilan keputusan yang dimaksud adalah pengambilan keputusan yang maksimum yang dapat dibuat oleh para kepala daerah dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk itu hasil keputusan yang diharapkan adalah keputusan yang memiliki legitimasi kuat, keputusan yang maksimum, akurat dan cermat serta dampak risiko yang rendah.
Hasil keputusan seperti dipaparkan di atas jika bisa dilakukan secara terukur maka memerlukan dukungan yang kuat dan para manajer atau pemimpin, oleh karena itu gambaran teoritis mengenai pola perilaku kepemimpinan seperti yang dikutip Kaloh diatas baik dari Redin (1964) Likert, Yuki (1989) dan lain-lain dapat menjadi acuan atau pedoman bagi para manajer atau pemimpin terutama kepada daerah, sehingga kualitas kepemimpinannya akan lebih baik dan mampu menangani kompleksitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dengan semakin luasnya kewenangan pemerintahan daerah saat ini dan juga kompleksnyai permasalahan penyelenggaraan pemerintahan baik dari aspek kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pelayanan masyarakat dan lain-lain, maka untuk peningkatan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan diperlukan kepemimpinan yang kuat, kredibel dan akseptabel.
Sebab dengan kepemimpinan yang demikian tersebut sosok sebagai kepala daerah akan mampu menjalankan peran kepemimpinannya, jika peran kepemimpinan yang besar tersebut berjalan dengan baik maka permasalahan yang ada di daerah-daerah seperti kecenderungan munculnya permasalahan: di bidang kepegawaian seperti tentang kualitas SDM, standar kompetensi jabatan, pengurangan jumlah jabatan. Di bidang kelembagaan seperti misalnya adanya rencana restrukturisasi organisasi pemerintah daerah, di bidang keuangan mengenai pembagian keuangan pusat dan daerah yang sampai saat ini belum tertata dengan baik dan juga mengenai persoalan standar pelayanan minimum (SPM) yang belum ada.
Dari berbagai permasalahan tersebut, apabila para kepala daerah memiliki kepemimpinan yang bisa menjalankan peran dan fungsi kepemimpinannya antara lain kecermatan, kecepatan keakurasian dalam pengambilan keputusan, maka permasalahan tersebut niscaya akan ada solusinya lebih komprehensif dan terpadu.
Seperti dikatakan di atas bahwa pengambilan keputusan merupakan kunci dari kepemimpinan Gore (1959) dan Siagian (1988) juga mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah inti kepemimpinan. Oleh karena itu betapa pentingnya kaitan antara kepemimpinan dengan pengambilan keputusan, meskipun dalam perilaku kepemimpinan menimbulkan berbagai macam gaya kepemimpinan yang  "one man show', "konsultatif', "pendelegasian" dan "musyawarah" maka di antara gaya kepemimpinan yang dapat kita pilih yaitu gaya kepemimpinan "musyawarah". Sebab gaya kepemimpinan ini berpengaruh terhadap pengambilan putusan yaitu efektif secara teknis, tapi mampu memberikan motivasi yang tinggi kepada para bawahan.