Dalam berbagai penelitian, desentralisasi fiskal diproksi dengan rasio pada komponen pendapatan daerah dan pengeluaran daerah pada APBD (Sasana,2009 dan Mursinto, 2008:84-86). Pendapatan daerah pada APBD meliputi PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Pengeluaran daerah meliputi belanja rutin (Aparatur Daerah) dan belanja pembangunan (belanja public). Belanja rutin merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi atau kegiatan yang bersifat rutin terutama untuk kegiatan aparatur daerah yang bersangkutan. Belanja pembangunan merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dalam belanja pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat maka apabila pemerintah daerah ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka pemerintah daerah harus meningkatkan anggaran belanja pembangunan termasuk belanja modal. Untuk meningkatkan anggaran belanja modal maka pemerintah daerah harus mampu meningkatkan pendapatan daerah melalui peningkatan PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan.
Belanja rutin merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi atau kegiatan yang bersifat rutin terutama untuk kegiatan aparatur daerah pada daerah yang bersangkutan, misalnya untuk membayar gaji pegawai negeri dan honorarium sebagai kompensasi bagi pegawai negeri dan honorarium didaerah terhadap aktivitas kegiatan yang dilakukan di daerah yang bersangkutan. Penerimaan gaji pegawai negeri akan menjadi faktor pendapatan yang akan digunakan untuk kegiatan konsumsi membeli barang dan jasa yang dibutuhkan pegawai negeri tersebut. Oleh karena itu, kegiatan membeli barang dan jasa dari pegawai negeri akan menimbulkan permintaan permintaan barang dan jasa yang kemudian akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan konsumen. Berdasarkan kegiatan konsumsi dan produksi akan terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi.
Dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah efisiensi, stabilitas makro ekonomi, dan keadilan (Musgrav 1989:6 dan 16). Aspek efisiensi merupakan raison d’etre (alasan sebuah keberadaan) untuk desentralisasi fiskal. Karena prefensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal disebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan prefensinya dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (Usman,2001:24). Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa pemerintah daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber daya secara lebih efisiensi dibandingkan pemerintah pusat (Hirawan,2007:10; Adi, 2005:16-22; dan Susanto, 2004:4-16).
Belanja modal sebagai komponen belanja pembangunan pada pengeluaran daerah akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan pemerintah daerah ini akan menimbulkan permintaan barang dan jasa yang kemudian akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pemerintah daerah, sehingga akan terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi,
Belanja modal sebagai komponen belanja pembangunan pada pengeluaran daerah akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan pemerintah daerah ini mengakibatkan dibangunnya fasilitas publik seperti fasilitas jalan, jembatan telekomunikasi, listrik, gedung sekolah, gedung rumah sakit, pasar, dan berbagai fasilitas publik lainnya yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa jenis fasilitas tersebut akan memudahkan aksesibilitas masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Disamping itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan untuk aktivitas nonekonomi khususnya dalam melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan diberbagai ruang publik yang tersedia;.
Pertumbuhan ekonomi sebagai nilai relatif dari perubahan PDRB dari waktu ke waktu menunjukkan terjadinya  peningkatan pendapatan masyarakat dari waktu ke waktu pula. Peningkatan pendapat masyarakat akan ditunjukkan dengan peningkatan alokasi pendapatan untuk konsumsi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sehinga masyarakat daerah tersebut menjadi lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan sebagai Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan terjadi pula peningkatan rasio antara banyaknya kejahatan yang dilaporkan dengan putusan oleh Kantor Pengadilan Negeri sebagai Indikator Kriminalitas Daerah (IKD) sebagai Indikator Sosial (Arsyad,2010: 46). IPM dan IKD merupakan indikator kesejahteraan masyarakat.
III. Sisi Positif Otonomi Daerah
Menurut Said (dalam Badrudin, 2012:17), sisi positif dari otonomi daerah ialah:
- Demokratisasi
- Membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan daerah
- Mendorong stabilitas dan kesatuan nasional
- Memajukan pembangunan daerah
IV. Sisi Negatif Otonomi Daerah
 Menurut Penulis, sisi negatif otonomi daerah ialah sebagai berikut:
- Pemerintah pusat menganaktirikan daerah
- Cenderung timbulnya egoisme "Putera Daerah"
- Mudah tumbuhnya proses disintegrasi bahkan kemungkinan gerakan separatis dikarenakan pemerintah pusat tidak adil terhadap daerah untuk masalah bagi hasil kekayaan alam,dan lain-lain
- Disparitas antar Daerah menimbulkan kecemburuan antar Daerah.
- Banyak daerah salah dalam menerapkan strategi pembangunan, daerah terkesan tidak mampu mengelola keuangan dan melakukan manajemen pembangunan dengan baik. terbukti dari banyaknya proyek pembangunan yang mubazir dan tumpang tindih.
- Banyak juga pembangunan yang dilakukan pemda tidak berjalan sinergis dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat.
- Penyalahgunaan anggaran berupa kas bon atau utang proyek kepada pihak ketiga, kelebihan pembayaran pajak, utang kepada pihak ketiga untuk menutup utang lama sebelum pertanggungjawaban anggaran, dan menggunakan dana sisa lebih anggaran untuk deposito
- Semangat politisasi yang berlebihan terhadap aspek demokrasi dan hak poleksosbud telah menghasilkan daerah otonom baru yang tidak kapabel yang menggantungkan pembiayaan APBD dari dana perimbangan
- Rendahnya akuntabilitas Pemerintah Daerah dan DPRD
              Â
V. Otonomi Daerah Dilihat Dalam Berbagai Perspektif
1. Otonomi Daerah dalam Perspektif Politik Lokal
Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan tetaÂpi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah , juga telah melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat .
Dengan demikian proses check and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksanaÂkan secara regular, demikian pula halnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilukada demokratik.
Dalam hubungan ini pula, otonomi daerah telah mendorong demokratisasi tata kelola pemerintahan. Realisasi otonomi daerah juga telah menghasilkan kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungÂsi-fungsi pelayanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada penÂdapatan Negara dan daerah, serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, pajak dan retribusi, juga pinjaman daerah.
Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelenggaÂraan pemerintahan daerah.