Kepemimpinan musyawarah kemungkinan merupakan gaya kepemimpinan yang cocok bagi para kepala daerah. Sebagaimana dikutip Kaloh  dari Bernard dan Yuki (1989), gaya kepemimpinan ini dicirikan dengan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan dan mengutamakan efektifitas pengambilan keputusan melalui pendelegasian wewenang kepada bawahan. Penjelasannya yaitu sebagai berikut: :
Chester I Bernard mengatakan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin harus hati-hati yaitu:
- "In not deciding prematurely', yaitu jangan mengambil keputusan terlalu cepat, kalau masih ada kesempatan untuk mengedepankan masalah-masalah yang akan diputuskan.
- "In not deciding that are not now pertinent", yaitu jangan mengambil keputusan mengenai masalah-masalah yang saat itu belum memerlukan keputusan, dengan maksud untuk mencari saat (waktu) yang tepat (proper timing). Mengingat situasi dan kondisi dapat saja berubah dalam perjalanan waktu, keputusan yang diambil (sebelum waktunya) mengenai tidak cocok sama sekali, sehingga perlu diambil keputusan baru.
- "In not making decisions that can not be made effective", yaitu jangan mengambil keputusan yang tidak dapat dilaksanakan. Hal ini untuk mencegah keragu-raguan di kalangan bawahannya yang dapat menghilangkan kepercayaan dan wibawa kepala daerah.
- "In not making decisions that other should make", yaitu jangan mengambil keputusan yang seharusnya dibuat oleh orang lain.
Pernyataan yang disampaikan oleh Bernard menunjukan bahwa "proses pengambilan keputusan" hendaknya dilakukan dengan cermat, akurat dan penuh dengan kehati-hatian, karena dampak dari proses pengambilan keputusan yang terlalu cepat bisa berdampak kemungkinan salah atau tidak tepat sasaran. Kemudian jika pengambilan keputusan dilakukan yang sebetulnya belum diperlukan, bisa berdampak kepada keadaan yang justru bisa menimbulkan masalah baru. Selanjutnya, jika pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan, maka karena sebuah keputusan itu dibuat untuk menyelesaikan masalah, sudah barang tentu akan menimbulkan masalah baru jika "suatu keputusan" tidak dapat dilaksanakan dan bahkan dapat dikatakan pemborosan atau suatu tindakan yang cenderung inefisiensi, karena sebuah proses pengambilan keputusan memerlukan energi dan pembiayaan yang tidak sedikit. Sedangkan pengambilan keputusan yang sebetulnya urusan orang lain atau instansi lain juga merupakan tindakan yang sia-sia dan kemungkinan dapat dikatakan menyerobot tugas dan fungsi yang seharusnya dikerjakan instansi lain. Dengan penjelasan tersebut menambah pendalaman dalam melakukan kajian mengenai peran kepemimpinan dalam pengambilan keputusan, artinya bahwa "tugas pokok" pemimpin adalah "mengambil keputusan". Oleh sebab itu seorang pemimpin yang berkualitas adalah seorang pemimpin yang dalam tindakannya selalu efektif.
Selanjutnya, menurut pendapat Yuki (1989) efektivitas kepemimpinan memberikan contoh dalam "pengambilan keputusan" salah satunya yaitu melalui pendelegasian wewenang kepada bawahan dengan ilustrasi atau gambaran sebagai berikut:
- Mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengamati isyarat-isyarat non verbal dari staf agar dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan, perasaan, interaksi, serta konflik dari staf. Dengan melakukan hal-hal kelompok sebagai kumpulan individu.
- Memberi pelayanan sebagai seorang konsultan penasehat guru dan fasilitator dari pada sebagai seorang direktur atau manajer dari kalangan tersebut.
- Memodelkan perilaku kepemimpinan yang sesuai dan mendorong para anggota untuk belajar melaksanakan perilaku-perilaku itu sendiri dengan meniru.
- Menetapkan sebuah suasana penyetujuan untuk mengekspresikan perencanaan maupun gagasan.
- Mendorong anggota untuk menangani kebutuhan-kebutuhan akan pemeliharaan apa saja dari memproses masalah-masalah yang muncul dari pertemuan anggota yang terbentuk.
- Melepaskan kontrol kepada stafnya dan memungkinkan mereka untuk membuat pilihan terakhir pada semua jenis keputusan yang sesuai.
Pendapat kedua pakar di atas menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan dalam pengambilan keputusan terdapat dua sikap yang menarik yaitu sikap hati-hati, cermat dan penuh perhitungan yang matang dan sikap yang lebih manusiawi dan terbuka kepada bawahan. Apabila kedua hal tersebut dipadukan menjadi pola perilaku kepemimpinan Kepala Daerah niscaya keputusan yang dihasilkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah akan merniliki kualitas yang balk. Karena kebijakanyang dibuat sudah melalui proses yang cukup komprehensif dan terpadu baik dari aspek pendekatan formal kelembagaan dan pendekatan human relation.
Transparansi atau keterbukaan bagi masyarakat Indonesia yang masih feodalistik dan paternalistik memang menjadi barang yang mahal dan sulit dicari. Selama ini pemimpin atau Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan sering tidak transparan. Oleh karena itu di era reformasi ini maka sejak pemerintah orde baru melemah justru keterbukaan yang ada didalamnya masyarakat sering tidak terkendali.
Oleh karena itu peran kepemimpinan Kepala Daerah saat ini melakukan konsolidasi agar kontrol masyarakat dapat tertata secara melembaga. Hal tersebut harus didukung berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah terlebih dahulu harus dilakukan secara terbuka melalui fungsi komunikasi dengan masyarakat dan sosialisasi terhadap masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan yang setiap saat mengalami perubahan. Dengan demikian Kepala Daerah sangat berperan dalam meletakkan dasar bagi pembentukan masyarakat yang lebih terbuka.
Dewasa ini masyarakat sangat mendambakan adanya penyelenggaraan pemerintah lebih baik, dalam arti kebutuhan pokok masyarakat dapat dengan mudah dilayani oleh pemerintah.
Dengan demikian menurut Kaloh sebagai Pimpinan, Kepala Daerah harus mampu melayani masyarakat secara baik dengan berpegang pada prinsip-prinsip. Good Governance, sebab secara teoritis Good Governance mengandung makna bahwa pengelolaan perluasan didasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku, pengambilan kebijaksanaan secara transparan serta pertanggungjawaban kepada masyarakat, kekuasaan juga didasarkan pada aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu.
Untuk menciptakan pemerintahan yang dapat mengelola pemerintahan secara baik (Good governance), seorang Kepala Daerah perlu memperhatikan kesejahteraan pegawai. Hal ini sangat penting dipertimbangkan secara filosofis bahwa suatu organisasi pemerintahan yang baik hanya akan terbentuk jika dijalankan oleh orang-orang baik dan orang yang baik tersebut hanya dapat dikeluarkan melalui sistem penggajian yang terbaik.
Dengan demikian merupakan keniscayaan bahwa kepimpinan di segala lini kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang memiliki nilai dan posisi penting dan strategis. Bahkan ditegaskan oleh David Osborne dan Ted Jabler tidak ada yang lebih penting davi pada kepemimpinan. Demikian pula Ryas Rasyid dan Kwik Klan Gie yang menyoroti kepemimpinan pemerintah di Indonesia, mengatakan bahwa terdapat kecendrungan kepemimpinan dewasa ini di segala lini baik di pemerintahan, partai politik, ormas-ormas dan organisasi lain-lain semakin berperilaku buruk dan tidak memberikan cermin keteladanan bagi masyarakat. Fenomena perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi bahkan semakin meningkat yang melibatkan berbagai level pemimpin dan menteri, gubernur, bupati/walikota dan anggota DPR/DPRD terlibat dalam masalah hukum. Ketika pemimpin sudah tidak memiliki pengaruh dan juga tidak mendapat kepercayaan (trust) dari masyarakat maka tinggal menunggu kehancurannya. Oleh karena itu upaya pemerintah dan masyarakat dalam melakukan perbaikan di era reformasi, sesungguhnya merupakan momentum yang terbaik. Praktek penyelenggaraan demokrasi langsung dalam memilih para pemimpinnya, yaitu Pemilihan Presiden dan wakil Presiden dan juga Gubernur serta Bupati/Walikota dilakukan melalui pemilu. Dengan pemilihan langsung rakyat dapat menggunakan hak politik dengan bebas. Sehingga pemimpin yang terpilih akan memiliki legistimasi yang kuat, ketika legistimasi kepemimpinan kuat, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan akan stabil.