Bandul jam bergerak harmonik, serupa pendulum takdir, bolak-balik mengukur jarak di antara ingatan dan lupa. Jam itu hidup untuk mengatur perputaran waktu, sementara aku sudah menjalin romansa dengannya. Walau banyak penyangkalan bahwa waktu tidak bisa terulang, kini ia terulang. Faktanya pula, ia telah bersikap baik dengan cara yang teramat fantastis. Ia telah mempertemukanku lagi denganmu di sini, di tempat kelompok manusia yang terlupakan oleh usia.
Tidak ada momentum dalam hidupku sejauh ini, selama tujuh puluh tujuh tahun, di mana aku berkata, "Oh, hidupku tidak bahagia." Kebahagiaan adalah keadaan alamiah yang selalu kuperjuangkan dan aku tidak membutuhkan lebih dari itu. Jika mendambakan lebih, kemudian merasa bahagia, penjelasannya sederhana: Aku serakah.
Awalnya, Edy, sejawatku, menepuk pundakku ketika aku mematung dan terciduk olehnya sedang mengamati seorang wanita, yang kuyakini itu kamu, duduk sendirian menikmati sarapan.
"Lihatlah bidadari itu!" ujarku. Tanpa sadar, aku melontarkan kata, "Cantik."
Kemunculanmu---aku benar-benar yakin bahwa itu kamu---bagai hadiah dari malaikat Rafael. Aku tidak ingin berkedip, seolah-olah dunia terhenti di hadapanmu. Sesuatu lantas membuat jantungku berirama tak biasa dari yang biasanya, persis saat masih muda dulu.
"Ed, kamu percaya cinta pada pandangan pertama?"
"Tentu saja. Mengapa tidak?"
"Aku baru selesai memanahnya."
Saat itu juga, kamu, wanita yang terpanah itu, tiba-tiba mengalihkan pandangan ke arahku. Aku kikuk.
"Apa yang harus kulakukan?" bisikku pada Edy.
Tahukah, Edy malah tertawa ringan, menggeleng-geleng, lalu menjawab dengan berbisik balik, "Jaga kelakuanmu, Mat!"
Peringatan Edy terdengar menggelikan, tetapi aku tak bisa menahan diri lagi untuk tidak segera menghampirimu. Jadi, aku mendekatimu dan melemparkan senyum terbaikku. Dalam sesaat, pandangan kita bersinggungan.
"Mateo," ujarku sambil menyalamimu. Kamu mengernyitkan dahi, seolah-olah tidak percaya.
"Mariyana," balasmu. Nah, ternyata aku tidak salah.
Aku menarik kursi untuk duduk di depanmu. Kamu tidak melarang, tidak pula mempersilakan, tetapi itu bukan persoalan.
Perbincangan kita pun diawali dengan gelagat canggung. Lama-kelamaan, semua mengalir alami. Kamu berbagi cerita perihal suami yang sudah lama meninggal serta alasanmu memutuskan tinggal di panti ini---kesepian, puteri tunggalmu lebih memilih menetap di luar negeri. Aku pun mengutarakan hal serupa, selanjutnya berusaha menghidupkan kembali kenangan manis dari masa muda kita dulu.
Sengaja kusentuh nostalgia itu dengan mengajakmu berjalan-jalan menyusuri taman saat senja sudah mulai bermain mata. Kita melangkah pelan, persis sepasang siput kasmaran.
Di atas hamparan rumput, kita berbaring mengamati pola awan yang berubah-ubah bentuk; tiba-tiba menjadi bunga, burung, pesawat, balon udara, lalu menjadi lambang cinta raksasa. Bentuk terakhir dari awan putih itu perlahan-lahan membaur, berubah abu-abu, sebentar menuju hitam.
Rintik mulai turun. Lucunya, kita bersusah payah bangkit, lalu berlari dalam gerakan lambat, layaknya berjalan, lalu mencari pohon untuk berteduh.
"Suasana ini mengingatkanku pada musim hujan bersamanya," katamu.
"Di mana?"
"Waingapu. Tempat kami bulan madu di awal tahun delapan puluh. Ah, aku rindu sekali ke sana."
"Kau masih mencintai suamimu?"
"Tentu."
"Suamimu seperti apa?"
"Dia bekerja di pemerintahan selama lebih dari empat puluh tahun. Dia baik, berdedikasi, dan bertanggung jawab."
"Kedengarannya seperti pria yang luar biasa."
"Bagaimana dengan isterimu? Seperti apa dia?"
"Sarah. Dia lima tahun lebih tua dariku. Dia wanita menawan, cerdas, dan selalu menjadi penyemangatku. Kami memiliki cara sendiri untuk bahagia. Tapi, pada tahun-tahun terakhir, Sarah menderita Parkinson. Kondisi itu perlahan menggerogotinya. Yang bisa kulakukan hanyalah membuatnya merasa nyaman. Pernah beberapa malam, aku harus bangun dua puluh hingga tiga puluh kali untuk membawanya ke toilet dan kembali ke tempat tidur. Tidak apa-apa, aku senang melakukannya dan berusaha membuat proses itu lebih mudah untuknya. Sayangnya, penyakit Sarah tidak bisa disembuhkan. Tubuhnya melemah dan akhirnya dia lebih dulu menghadap Tuhan. Aku tahu, tidak ada tombol pengulangan waktu, tapi aku mencintainya dan akan terus mencintainya."
Kulihat air mukamu berubah di balik keriput wajah. Adakah yang salah?
Awan yang sebelumnya mengancam hujan kini mereda. Kita kembali ke ruangan panti dengan sesuatu yang tak terucap, seakan-akan menggantung di udara.
"Terima kasih, Mateo. Hari ini sudah cukup."
Aku mengikutimu hingga ke pintu kamar. Sebuah perasaan berat ingin kuluahkan kepadamu terkait cerita lalu yang belum usai.
"Ada yang ingin kamu katakan?"
"Kamu marah tentang kita dulu?"
"Dengar, Mateo. Dulu, kamu menghilang tanpa berita. Aku bahkan tidak tahu apakah kamu selamat dari huru-hara itu atau tidak. Aku mencarimu!"
Matamu menyala saat mengatakan itu.
"Maafkan aku."
"Kamu tidak pernah menghubungiku lagi. Sampai, aku mendengar kabar kamu telah bersama perempuan lain. Akhirnya aku berhenti mencarimu."
Gelombang emosimu nyaris pecah. Hatiku pun perih, seperti sayatan luka yang tergores lagi.
"Tolong, Mariyana, mengertilah. Saat itu aku hanya ingin menyelamatkanmu. Ayahmu seorang pembesar dan aku tidak ingin menyusahkanmu. Kamu tahu itu, kan? Sekarang, kita baru saja bertemu lagi, tapi---"
"Tapi apa? Kamu sudah sepantasnya memiliki Sarah."
Aku berlutut dan menatapmu.
"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh atau tidak masuk akal. Mariyana, maukah kamu menikah denganku? Percayalah, aku sudah ingin melakukannya dulu sejak pertama kali melihatmu, tapi jalan kita selalu terjal, tidak pernah mudah."
"Tidak ada gunanya lagi, Mateo. Kita sudah terlalu tua. Aku bahkan tidak mengenalimu lagi sekarang. Aku juga tidak akan menghianati suamiku."
Deg!
Seperti dentuman keras, kamu menegakkan batasan yang tampaknya tidak bisa dilanggar. Jantungku seperti tertampar oleh aroma kematian yang kian dekat. Ruang napasku menyempit dan seluruh tubuhku terjepit dalam keadaan seperti ini. Apakah ini sebuah karma karena aku telah mengingkari janji suci sehidup sematiku terhadap Sarah?
Tidak ada satu alasan pun untukku menyalahkan bandul waktu yang terus bergerak, karena pada kenyataannya, beberapa cinta, meskipun kuat, harus tetap menjadi kenangan yang tak dapat kembali. Semua ini terasa seperti kurva berliku. Aku terpaksa menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup. Banyak kesalahan yang telah kubuat, tetapi tiap-tiap langkah di masa lalu telah mengajariku arti berdamai, terutama kepada diriku sendiri.
Aku mengingat-ingat perihal filosofi cinta dari lagu pertunjukan operetku dulu. Liriknya masih kuingat:
"Bahagia adalah siapa yang bisa melupakan dan apa yang tidak bisa diubahnya. Kamu harus menerima yang diberikan kehidupan kepadamu. Yang bisa kamu ubah, ubahlah. Yang tidak bisa kamu ubah, jangan lakukan. Dalam cinta, kamu sebagai pemberi, bukan penerima. Itu akan memberimu kesenangan teramat sangat. Hadiah untuk si pemberi adalah memberi, tanpa mengharapkan kembali. Jika mencintai seseorang, kamu sangat senang untuk bisa memberi. Itulah cinta sejati."
Cinta hanyalah cara tak berujung yang telah siap untuk diberikan. Hidup memang untuk mencintai, kehilangan, mencintai lagi, kehilangan lagi, dan seterusnya, berulang-ulang, begitulah siklusnya.
Dan, aku tidak pernah berpikir akan mungkin untuk jatuh cinta lagi. Nyatanya, cinta bisa datang lagi. Cinta mengenaiku seperti aku belum pernah terkena sebelumnya dan itu terjadi lagi.
Bandul jam di dalam ruangan masih terus bergerak, berayun, dan tidak pernah berhenti. Jam baru saja berdentang untuk menyampaikan pesan bahwa sampai hari berakhir, aku semestinya berpegang teguh pada cinta sejati.
Namun, satu hal yang kutahu dengan pasti: Cinta sejati bukanlah tentang siapa yang aku cintai pertama kali, melainkan siapa yang tetap ada di hatiku hingga akhir. Terhadap waktu dan cinta, aku tidak bisa melawan.
Terhadap Sarah, maaf, tidak pernah ada cerita tentangmu sekali pun sepanjang bersamanya. Jika kukatakan, Sarah pasti akan cemburu. Aku tidak ingin ketenangan yang telah kami bangun dengan suka hati dan kedamaian di dunia yang telah kami ciptakan bersama-sama menjadi terganggu.
Namun, Mariyana, semata-mata baik Sarah maupun dirimu, kalian sama-sama cinta yang kuat dan kalian tidak dapat saling menggantikan. Sarah adalah cintaku yang abadi; cinta dalam embusan napas setiap hari. Kamu, Mariyana, kamu cintaku yang tak pernah mati; cinta pertama yang hadir tanpa pernah menyepi.
Pagi, kamu kemudian menunjukkan album kenanganmu. Kita duduk berdampingan di satu sofa, membuka halaman demi halaman. Setiap lembar bertutur tentang kisah bahagia dan cintamu bersama suami. Kisah itu begitu detail, rapi dan harmonis. Sesungguhnya, aku cemburu.
Namun, pada lembar paling belakang, kenangan itu berbeda. Kamu menaruh potongan artikel lawas tentang aksi protes para aktivis terhadap pemerintahan terkait isu korupsi dan kebijakan ekonomi dalam sebuah pertunjukan teater kampus pada tahun-tahun rawan. Terpampang juga foto seorang mahasiswa dengan kain merah terikat di kepala, satu tangannya mengepal ke atas.
Aku lantas memperhatikan foto itu dengan saksama. Begitu terlihat jelas, aku terkesiap dan terharu, sangat terharu, Mariyana. Ya, aku mengenalnya. Itu adalah aku.
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H