"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh atau tidak masuk akal. Mariyana, maukah kamu menikah denganku? Percayalah, aku sudah ingin melakukannya dulu sejak pertama kali melihatmu, tapi jalan kita selalu terjal, tidak pernah mudah."
"Tidak ada gunanya lagi, Mateo. Kita sudah terlalu tua. Aku bahkan tidak mengenalimu lagi sekarang. Aku juga tidak akan menghianati suamiku."
Deg!
Seperti dentuman keras, kamu menegakkan batasan yang tampaknya tidak bisa dilanggar. Jantungku seperti tertampar oleh aroma kematian yang kian dekat. Ruang napasku menyempit dan seluruh tubuhku terjepit dalam keadaan seperti ini. Apakah ini sebuah karma karena aku telah mengingkari janji suci sehidup sematiku terhadap Sarah?
Tidak ada satu alasan pun untukku menyalahkan bandul waktu yang terus bergerak, karena pada kenyataannya, beberapa cinta, meskipun kuat, harus tetap menjadi kenangan yang tak dapat kembali. Semua ini terasa seperti kurva berliku. Aku terpaksa menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup. Banyak kesalahan yang telah kubuat, tetapi tiap-tiap langkah di masa lalu telah mengajariku arti berdamai, terutama kepada diriku sendiri.
Aku mengingat-ingat perihal filosofi cinta dari lagu pertunjukan operetku dulu. Liriknya masih kuingat:
"Bahagia adalah siapa yang bisa melupakan dan apa yang tidak bisa diubahnya. Kamu harus menerima yang diberikan kehidupan kepadamu. Yang bisa kamu ubah, ubahlah. Yang tidak bisa kamu ubah, jangan lakukan. Dalam cinta, kamu sebagai pemberi, bukan penerima. Itu akan memberimu kesenangan teramat sangat. Hadiah untuk si pemberi adalah memberi, tanpa mengharapkan kembali. Jika mencintai seseorang, kamu sangat senang untuk bisa memberi. Itulah cinta sejati."
Cinta hanyalah cara tak berujung yang telah siap untuk diberikan. Hidup memang untuk mencintai, kehilangan, mencintai lagi, kehilangan lagi, dan seterusnya, berulang-ulang, begitulah siklusnya.
Dan, aku tidak pernah berpikir akan mungkin untuk jatuh cinta lagi. Nyatanya, cinta bisa datang lagi. Cinta mengenaiku seperti aku belum pernah terkena sebelumnya dan itu terjadi lagi.
Bandul jam di dalam ruangan masih terus bergerak, berayun, dan tidak pernah berhenti. Jam baru saja berdentang untuk menyampaikan pesan bahwa sampai hari berakhir, aku semestinya berpegang teguh pada cinta sejati.
Namun, satu hal yang kutahu dengan pasti: Cinta sejati bukanlah tentang siapa yang aku cintai pertama kali, melainkan siapa yang tetap ada di hatiku hingga akhir. Terhadap waktu dan cinta, aku tidak bisa melawan.