Bandul jam bergerak harmonik, serupa pendulum takdir, bolak-balik mengukur jarak di antara ingatan dan lupa. Jam itu hidup untuk mengatur perputaran waktu, sementara aku sudah menjalin romansa dengannya. Walau banyak penyangkalan bahwa waktu tidak bisa terulang, kini ia terulang. Faktanya pula, ia telah bersikap baik dengan cara yang teramat fantastis. Ia telah mempertemukanku lagi denganmu di sini, di tempat kelompok manusia yang terlupakan oleh usia.
Tidak ada momentum dalam hidupku sejauh ini, selama tujuh puluh tujuh tahun, di mana aku berkata, "Oh, hidupku tidak bahagia." Kebahagiaan adalah keadaan alamiah yang selalu kuperjuangkan dan aku tidak membutuhkan lebih dari itu. Jika mendambakan lebih, kemudian merasa bahagia, penjelasannya sederhana: Aku serakah.
Awalnya, Edy, sejawatku, menepuk pundakku ketika aku mematung dan terciduk olehnya sedang mengamati seorang wanita, yang kuyakini itu kamu, duduk sendirian menikmati sarapan.
"Lihatlah bidadari itu!" ujarku. Tanpa sadar, aku melontarkan kata, "Cantik."
Kemunculanmu---aku benar-benar yakin bahwa itu kamu---bagai hadiah dari malaikat Rafael. Aku tidak ingin berkedip, seolah-olah dunia terhenti di hadapanmu. Sesuatu lantas membuat jantungku berirama tak biasa dari yang biasanya, persis saat masih muda dulu.
"Ed, kamu percaya cinta pada pandangan pertama?"
"Tentu saja. Mengapa tidak?"
"Aku baru selesai memanahnya."
Saat itu juga, kamu, wanita yang terpanah itu, tiba-tiba mengalihkan pandangan ke arahku. Aku kikuk.
"Apa yang harus kulakukan?" bisikku pada Edy.