"Waingapu. Tempat kami bulan madu di awal tahun delapan puluh. Ah, aku rindu sekali ke sana."
"Kau masih mencintai suamimu?"
"Tentu."
"Suamimu seperti apa?"
"Dia bekerja di pemerintahan selama lebih dari empat puluh tahun. Dia baik, berdedikasi, dan bertanggung jawab."
"Kedengarannya seperti pria yang luar biasa."
"Bagaimana dengan isterimu? Seperti apa dia?"
"Sarah. Dia lima tahun lebih tua dariku. Dia wanita menawan, cerdas, dan selalu menjadi penyemangatku. Kami memiliki cara sendiri untuk bahagia. Tapi, pada tahun-tahun terakhir, Sarah menderita Parkinson. Kondisi itu perlahan menggerogotinya. Yang bisa kulakukan hanyalah membuatnya merasa nyaman. Pernah beberapa malam, aku harus bangun dua puluh hingga tiga puluh kali untuk membawanya ke toilet dan kembali ke tempat tidur. Tidak apa-apa, aku senang melakukannya dan berusaha membuat proses itu lebih mudah untuknya. Sayangnya, penyakit Sarah tidak bisa disembuhkan. Tubuhnya melemah dan akhirnya dia lebih dulu menghadap Tuhan. Aku tahu, tidak ada tombol pengulangan waktu, tapi aku mencintainya dan akan terus mencintainya."
Kulihat air mukamu berubah di balik keriput wajah. Adakah yang salah?
Awan yang sebelumnya mengancam hujan kini mereda. Kita kembali ke ruangan panti dengan sesuatu yang tak terucap, seakan-akan menggantung di udara.
"Terima kasih, Mateo. Hari ini sudah cukup."