Tahukah, Edy malah tertawa ringan, menggeleng-geleng, lalu menjawab dengan berbisik balik, "Jaga kelakuanmu, Mat!"
Peringatan Edy terdengar menggelikan, tetapi aku tak bisa menahan diri lagi untuk tidak segera menghampirimu. Jadi, aku mendekatimu dan melemparkan senyum terbaikku. Dalam sesaat, pandangan kita bersinggungan.
"Mateo," ujarku sambil menyalamimu. Kamu mengernyitkan dahi, seolah-olah tidak percaya.
"Mariyana," balasmu. Nah, ternyata aku tidak salah.
Aku menarik kursi untuk duduk di depanmu. Kamu tidak melarang, tidak pula mempersilakan, tetapi itu bukan persoalan.
Perbincangan kita pun diawali dengan gelagat canggung. Lama-kelamaan, semua mengalir alami. Kamu berbagi cerita perihal suami yang sudah lama meninggal serta alasanmu memutuskan tinggal di panti ini---kesepian, puteri tunggalmu lebih memilih menetap di luar negeri. Aku pun mengutarakan hal serupa, selanjutnya berusaha menghidupkan kembali kenangan manis dari masa muda kita dulu.
Sengaja kusentuh nostalgia itu dengan mengajakmu berjalan-jalan menyusuri taman saat senja sudah mulai bermain mata. Kita melangkah pelan, persis sepasang siput kasmaran.
Di atas hamparan rumput, kita berbaring mengamati pola awan yang berubah-ubah bentuk; tiba-tiba menjadi bunga, burung, pesawat, balon udara, lalu menjadi lambang cinta raksasa. Bentuk terakhir dari awan putih itu perlahan-lahan membaur, berubah abu-abu, sebentar menuju hitam.
Rintik mulai turun. Lucunya, kita bersusah payah bangkit, lalu berlari dalam gerakan lambat, layaknya berjalan, lalu mencari pohon untuk berteduh.
"Suasana ini mengingatkanku pada musim hujan bersamanya," katamu.
"Di mana?"