Oleh Alm. K.H. Zainuddin MZ*
Sesungguhnya gaya hidup seseorang sangat ditentukan oleh cara bagaimana dia memandang hidup ini. Dengan kata lain bagaimana seseorang memandang hidup, begitulah dia akan hidup.
Oleh sebab itu, untuk dapat mengubah keadaan seseorang, terlebih dulu harus diawali dengan mengubah caranya memandang kehidupan ini.
Itulah sebabnya, di dalam surah Ar-Ra'ad ayat 11, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjelaskan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib dan keadaan satu kaum, sampai kaum itu berusaha mengubah apa yang ada di dalam diri mereka sendiri.
Yang ada di dalam diri itu tentu tidak lain adalah rule of thinking, State of Mind atau cara berpikir. Jadi, cara pandang terhadap kehidupan yang akan sangat mewarnai cara orang menjalani kehidupan itu sendiri.
Oleh karena itu, dasar, landasan, dan tujuan hidup dari seorang muslim di dalam kehidupan ini perlu mendapat perhatian lebih jauh dalam tulisan ini.
Prinsip Dasar dalam Hidup
Pertama, tentang dasar hidup seorang Muslim yang mendasarkan kehidupannya dengan Islam.
Di dalam mendasari kehidupan dengan Islam ini, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menuntut orang-orang yang beriman. masuklah kamu ke dalam Islam itu secara total. Bukan separuh separuh dan bukan sepotong-sepotong.
Mendasari hidup dengan Islam artinya menjadikan Islam sebagai way of life, rule of thinking, atau State of Mind manakala kita memecahkan problematika-problematika kehidupan. Dengan begitu, tidak satu persoalan pun dalam hidup yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai ajaran agama Islam ini.
Kemudian, di dalam mendasarkan hidup kita dengan Islam, kita mempunyai satu keyakinan: pertama, Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah dari manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala pencipta manusia, Dia yang menurunkan agama Islam. Oleh sebab itu, tentu saja seluruh konsepsi Islam ini sudah diukur sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh manusia.
Secara logika, misalnya, saat seseorang membeli mobil baru, dia pasti akan menerima sepaket dengan buku petunjuk penggunaan untuk mengukur batas kecepatan maksimal, daya angkutnya, dan lain-lain.
Kalau ada kerusakan pada mobil itu, di dalam buku petunjuk itu sudah dituliskan cara-cara memperbaikinya, dan apa onderdil yang diperlukan.
Karena pabriknya yang membuat mobil, lalu pabriknya juga yang mengeluarkan buku petunjuk, tentu buku itu sudah sesuai dan tepat untuk mobil yang bersangkutan.
Dan, logika mengatakan bahwa kita tidak bisa mempunyai mobil Mercedes-Benz yang rusak misalnya, lalu kita perbaiki dengan menggunakan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh pabrik mobil Honda. Karena yang terjadi saja mobil semakin rusak, acak-acakan, dan tidak karu-karuan.
Itu artinya, jikalau manusia ingin baik, kalau manusia ingin mencapai sesuatu yang bernama bahagia, dia harus mengikuti petunjuk yang dikeluarkan oleh yang menciptakan manusia. Dan, petunjuk-petunjuk itu telah turun dalam satu konsepsi yang bernama Islam yang sesuai dengan fitrah manusia.
Kedua, oleh karena keyakinannya bahwa Islam sesuai dengan fitrah manusia, kita pun berkeyakinan bahwa Islam adalah agama untuk seluruh manusia universal. Meskipun Islam diturunkan di tanah Arab, tetapi ia bukanlah agama semata-mata untuk orang Arab.
Bahwa sebagian besar orang Arab memang beragama Islam, tetapi jelas Islam bukan hanya milik orang-orang Arab. Harus kita akui bahwa kita bisa menjadi muslim yang baik tanpa perlu menjadi orang Arab. Dengan kata lain, kita bisa menjadi muslim yang baik dengan tetap menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab karena memang ia turun di tanah Arab. Buktinya, walaupun Al-Qur'an berbahasa Arab, tidak satu pun ayat di dalamnya yang ditujukan kepada orang Arab semata-mata.Â
Justru, panggilan-panggilan di dalam Al-Qur'an ditujukan kepada manusia-manusia dari ras, suku bangsa, warna kulit, bahasa, maupun bangsa mana pun di muka bumi ini. Maka, dalam mendasari hidup dengan Islam, kita berkeyakinan bahwa Islam adalah agama untuk seluruh manusia.
Ketiga, di dalam mendasari hidup dengan Islam, kita berkeyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir. Tidak ada Rasul dan Nabi sesudah Nabi Muhammad dan tidak ada agama lagi sesudah Islam.
Dasar-dasar keyakinan ini perlu melembaga di dalam diri kita, serta membentuk satu keyakinan yang mendasari kehidupan ini.
Maka, tidak satu pun problema yang dalam kehidupan yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai Islam, sejak kita tidur sampai kita bangun tidur.
Bahkan, tidur dan seluruh kegiatan kehidupan yang kita laksanakan dalam 24 jam, tidak satu pun yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai Islam. Inilah pandangan hidup dan jawaban seorang Muslim terhadap segala problematika kehidupan yang dihadapinya. Ia Islam oriented, berorientasi kepada nilai-nilai Islam.
Landasan Hidup Seorang Muslim
Di dalam mendasari kehidupan dengan Islam, seorang Muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Bahasa kerennya Islam is the single, one religion behind the God. Keyakinan ini terlihat subjektif, tetapi memang inilah pokok dari kehidupan beragama.
Jika Islam adalah dasar dari kehidupan kita sebagai Muslim, maka yang menjadi landasan hidup kita tidak lain adalah Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Rasul Shallallahu' Alaihi Wa sallam.
Sebagaimana kita tahu bahwa dunia penuh dengan orang-orang besar, dan setiap orang-orang besar itu mempunyai ajaran-ajaran yang pernah berjaya, pernah dikumandangkan, dielu-elukan, dan didengung-dengungkan naik ke panggung sejarah untuk kemudian tenggelam.
Satu ajaran hanya akan langgeng dan tahan lama apabila ia turun dari sumber yang serba maha. Jika ia turun dari manusia, maka sifatnya hanya musiman.
Yang namanya musiman tidak bisa dicegah kemunculuannya, tetapi kalau suatu musim sudah selesai, akan habis dengan sendirinya.
Seperti halnya musim rambutan, kalau datang musim rambutan, siapa pun tidak bisa dicegah, dia akan tumbuh terus. Namun, manakala musimnya habis, selesai.
Begitulah nasib dari ajaran yang nisbi, relatif, dan temporer, selama dia bersumber dari manusia. Maka, satu ajaran hanya akan langgeng dan tahan lama apabila dia turun dari sumber yang serba maha, dan sumber itu bernama Al-Qur'anul Karim.
Sementara Sunnah merupakan penjelasan dari apa yang oleh Al-Qur'an tidak jelaskan dalam bentuk yang detail, dengan kata lain bertujuan untuk melengkapi apa yang oleh Al-Qur'an hanya disebutkan dalam bentuk garis besarnya.
Jadi, baik Qur'an maupun Sunnah kita sebut sebagai landasan yang primer, sedangkan untuk memahami Qur'an dan Sunnah kita memerlukan pendapat-pendapat orang yang ahli di bidang itu, dalam hal ini kita sebut dengan ulama, dan ini merupakan sumber yang sekunder dari landasan hidup kita sebagai seorang Muslim.
Dua rel ini, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, merupakan landasan di mana kereta api Islam ini berjalan. Maka dari itu, marilah kita menjadikan Qur'an dan Sunnah ini sebagai Imam di dalam kehidupan, sedangkan diri kita adalah makmum.
Sebagaimana di dalam salat, makmum wajib mengikuti Imam. Seorang Imam takbir, makmum takbir, Imam rukuk, makmum rukuk, dan seterusnya.
Konsekuensinya, ketika Al-Qur'an memberi komando untuk ke Barat, kita ikuti. Ketika ke Timur kata Qur'an, kita menuju ke timur. Jikalau Qur'an mengatakan sesuatu hal yang halal dan haram, kita patuhi.Â
Jadi, dengan demikian, dasar hidup kita sebagai Muslim adalah Islam dan landasan hidup kita tidak lain adalah Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. Inilah landasan tempat kita bertolak dan yang mewarnai gaya kehidupan kita.
Kedua, tentang tujuan hidup. Bila sudah menemukan landasan tempat kita bertolak, lalu ke mana kita akan berakhir?
Apakah hidup ini hanya untuk berleha-leha atau untuk menjalani kegiatan rutin sejak bangun tidur sampai tidur lagi dan menunggu datangnya ajal? Ataukah ada satu tujuan yang akan kita capai di dalam kehidupan ini?
Apabila kita teliti, Al-Qur'an menerangkan bahwa tujuan hidup setiap muslim pada dasarnya ada dua: pertama adalah tujuan jangka pendek.
Tujuan jangka pendek hanya menyasar dunia saat ini dengan bentuknya yang horizontal. Targetnya agar setiap pribadi Muslim menjadi rahmat bagi lingkungannya.
Inilah yang dinamakan hablum minannas, yang isinya adalah ilmu dan peradaban. Jadi, dunia dan segala isinya merupakan tujuan jangka pendek saja.
Untuk mencapai tujuan jangka pendek; dunia dan seluruh isinya, unsur yang menjadi penunjangnya adalah pendidikan, pengalaman, dan nasib.
Semakin tinggi pendidikan, semakin mudah menjangkau hidup. Semakin luas pengalaman, semakin mudah menguasai dunia. Karena faktor nasib, pendidikan seseorang menjadi terbatas. Mungkin pengalaman seseorang masih relatif dangkal, tetapi karena nasibnya bagus, dia dapat mempunyai power.
Terkait unsur yang pertama, apabila kita ingin mudah mencapai dunia, yang pertama harus kita lakukan adalah bagaimana membina atau mendidik diri sendiri.
Drop Out atau putus sekolah akibat kesulitan ekonomi keluarga bukan suatu halangan bagi tumbuhnya cita-cita yang mulia. Ada begitu banyak orang-orang besar yang bukan merupakan produk dari perguruan tinggi tertentu, tetapi dengan kemauan belajar yang tinggi, banyak membaca, banyak bergaul, membuatnya mampu mengatasi segala rintangan di depannya.
Itu memang baik, tapi kalau memang perlu dan memungkinkan, menempuh pendidikan formal sembari bekerja di bidang apa pun selagi hala lebih baikl. Karena tanpa pendidikan yang baik, rasanya kita akan sulit untuk menjangkau dunia. Kita bisa tersisih di pojok-pojok kehidupan.
Unsur yang kedua adalah pengalaman. Pengalaman adalah guru yang paling bijaksana. Dengan pengalaman, kita menjadi semakin dewasa. Taatkala kita menemui semacama kegagalan, kita tahu jika itu akan mengantarkan kita kepada pola hidup yang lebih dewasa lebih tegar dan lebih sanggup menghadapi setiap kesulitan.
Untuk faktor yang ketiga tidak bisa dijadikan sandaran, dalam arti bahwa kita lalu menggantungkan hidup pada nasib.
Walaupun kehidupan memang tidak bisa dipastikan, paling tidak kita bisa merancang, merencanakan, membuat target, serta membuat analisa atas kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Karena sebagai manusia yang terikat oleh kausalitas atau hukum sebab akibat, sewajarnya kita memperhitungkan berbagai kemungkinan atas kehidupan ini.
Jadi, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita dituntut menjadi rahmatan lil alamin bagi lingkungan di mana kita tinggal dan mewarnainya, bukan cuma diwarnai oleh lingkungan itu sendiri.
Itu tadi adalah tujuan jangka pendek sebagai tujuan kita yang pertama, sedangkan yang kedua adalah tujuan jangka panjang.
Tujuan jangka panjang ini sasarannya adalah akhirat, targetnya adalah rida Allah, dan ini yang oleh agama dinamakan dengan hablum minallah, tali vertikal yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhannya.
Untuk mencapai tujuan jangka panjang akhirat ini unsur penunjangnya adalah prestasi ibadah. Kalau untuk tujuan jangka pendek, yaitu dunia dan seluruh isinya, pendidikan, pengalaman, dan nasib memegang peranan yang sangat penting, maka ketiganya itu tidak punya pengaruh banyak.
Bagaimanapun tinggi pendidikan dan betapa pun banyak pengalaman tanpa prestasi ibadah, nilai kita adalah 0 besar dalam pandangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Itulah sebabnya seorang muslim yang menunaikan salat, puasa, haji, dan zakat, meski termuat target dunia, itu efek saja, sekedar satu efek sampingan, karena target utamanya adalah tetap tujuan jangka panjang, yaitu akhirat dan rida Allah.
Misalnya, karena tekun ibadah, rezeki seseorang menjadi lancar, itu baru "tanda jadi" dan bukan nikmat yang sejati.
Maka dari itu, seorang Muslim adalah orang yang berpandangan luas dan berjiwa lapang. Kedua tujuan ini harus diraih agar setiap muslim mencapai kebaikan di dunia kebaikan di akhirat.
Seorang Muslim yang berpandangan luas dan berjiwa besar seandainya dia gagal mencapai tujuan jangka pendeknya (di dunia), dia masih punya tujuan jangka panjang, yaitu akhirat dan rida Allah.
Orang yang tidak punya pandangan hidup semacam ini, surga bagi dirinya adalah segala sesuatu yang telah tertumpuk di dunia. Bila ajalnya datang, surganya hanya cukup sampai di situ, dan dia tidak punya pengharapan lain di belakangnya.
Selain itu, orang yang punya tujuan jangka panjang segalanya diberikan bingkai pertanyaan ridakah Allah kepadanya? Apakah segala gerak-gerik dan prestasi ibadahnya di dunia Allah terima?
Singkatnya, hanya dengan prestasi ibadahlah kita bisa mencapai tujuan jangka panjang (akhirat dan rida Allah).
Cara Seorang Muslim Menggapai ImpianÂ
Bagaimana Islam mengajarkan kita untuk meraih dua tujuan ini sekaligus? Pada prinsipnya, Islam mengajarkan sistem keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam bentuk yang lebih nyata, kita dianjurkan bekerja untuk dunia seolah akan hidup selamanya, dan bekerja untuk akhirat seolah kita akan mati besok.
Manifestasinya dalam kehidupan, misalnya orang kaya diperintah membantu yang miskin, tapi orang miskin dianjurkan berusaha untuk tidak mengandalkan hidup kepada yang kaya.
Saat kita bekerja di sawah, di ladang, di pasar, atau di kantor, anggap kita akan hidup selamanya agar timbul gairah kerja. Namun, ketika sudah saatnya salat, anggap kita akan mati besok supaya timbul rasa khusyuk.
Meski begitu, kita tetap harus memperhatikan yang menjadi titik tekannya. Islam memang mengajarkan sistem keseimbangan, tetapi Al-Qur'an tetap menggarisbawahi bahwa akhirat itu lebih utama daripada dunia.
Analoginya seperti saat kita menanam padi, rumput pasti tumbuh. Namun, jika kita menanam rumput, sampai kapan pun tidak akan tumbuh padi.
Sama halnya seperti satu perbuatan yang kita niatkan karena Allah, dunia pasti mengikuti. Akan tetapi, kalau satu perbuatan diniatkan karena dunia semata, akhirat akan hilang. Maka, mari kita biasakan diri dalam berbuat sesuatu, baik untuk tujuan jangka pendek, lebih-lebih untuk tujuan jangka panjang, dengan motif lillahi ta'ala.
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Almarhum Ustadz K.H. Zainuddin MZ.
Sumber: https://youtu.be/j6I7vUrJ7MY?si=QxpMRJVbkSa2ty_l
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H