Dibawanya pulang si putih, badannya sangatlah panas. Nafasnya begitu tipis dan ia masih terpingsan. Sedangkan mahkluk-mahkluk sesat itu menggerogoti tubuh yang sangat lemah itu dari dalam, kelompok yang terbuang mencoba menghabisi nyawanya dengan jutaan sihir-sihir mereka. Tak berapa lama kemudian tersadarlah SiPutih, dilihatnya ia sudah dikamarnya bersama keluarganya dan ada juga sahabat-sahabatnya.
"Mama," seru anak yang manis itu kepada putih.
"Nak, mama baik-baik saja" kata SiPutih memeluk anak kandungnya itu.
"Sayang, maafkan aku. Aku mencintaimu" kata siputih kepada suaminya, suaminya memeganggnya dan meninggal dunialah si putih.
 Saat itu terjadi sebuah gempa disekitar itu, bahkan gempa itu terasa sampai spanyol dan dirasakan oleh kakak laki-laki SiPutih. Ia merasa ada yang tidak beres, gempa itu sangat ajaib. Seakan ghaib namun benar-benar nyata.
 Keheningan terjadi, semuanya berduka atas meninggal dunia nya sosok putih yang sangat dikenal dan begitu Harum perbuatannya disekitarnya. Segalanya berkabung atas meninggalnya seorang puteri cantik kebanggaan itu, namanya pun tersohor sampai ke gunung Kawi dan gunung Arjuna, siapa yang tak mengenalnya. Perbuatan-perbuatannya selalu diingat dan dikenang, ia meninggal dunia diusia nya yang masih muda, anaknya pun masih kecil baru saja berumur 10 tahun. \
Kesedihan itu tak bisa dipungkiri, sosok yang tak pernah mau membagi keluh kesahnya pada siapapun, kecuali sosok yang dinantikannya mengatakan kepadanya untuk jujur padanya, barulah ia menangis dan jujur akan semua yang dipendamnya.
  Ia dimakamkan tak jauh dari tempat tinggalnya, usianya yang baru menginjak 34 tahun, terlihat sangat muda dan sangat cantik. Apalagi siapa yang tak mengenal suaranya yang begitu merdu, melengking melantunkan lagu-lagu dengan nada sinden, alangkah beruntungnya orang yang pernah mendengarnya secara langsung. Dijamin jiwa dan raga begitu segar penuh ketenangan, tidak ada yang akan menyangka kematian SiPutih secepat itu.
 Dimalam-malam selanjutnya setelah kematian SiPutih, teman-teman baiknya meratapi, penuh kehilangan dan kepasrahan. Bulan yang begitu terang bersinar seakan menemani sekawanan orang yang sedang meratap, angin yang dingin menambah sedih nya luka yang dirasa. Mereka mencoba tabah selalu tegar, mereka berpikir mungkin itu jalan dari Tuhan. Sudah tiga hari usia kematian SiPutih, terlihat Lexi begitu murung melihat kearah luar rumah, entah apa yang dipikirkan Lexi saat itu.
 "Lexii, Lex.. Lexiii.." panggil lelaki sawo, memanggil Lexi. Namun Lexi sama sekali tak menghiraukan panggilan tuannya, ia hanya duduk terpaku seakan ada yang ditunggunya.
 "Tak apa papah," kata anak laki-laki manis itu kepada ayahnya membahasa Lexi yang terlihat murung.
 "Baiklah, mari kita istirahat anakku" jawab lelaki sawo itu ke anak yang manis itu, lalu mereka pergi tidur.