"Eh, Anti mana?"
Anti, perempuan yang kini memendam bakat namun tak tahu kapan ia akan mengeluarkannya. Ia sudah siap dengan pakaian olahraga dan duduk pertama kali di meja makan disusul ayah yang membaca buku tentang bisnis.
"Ti, kamu dengar percakapan Kakak dan Maliq bukan?" tanya Kak Difan kemudian meminum susu coklat hangat. Ia menatap Anti dengan sayang.
Anti menggeleng.
"Padahal aku mendengar!" batin Anti.
Tak lama suara ibu menahan tawa karena tahu karakter melucu Anti seperti apa.
Setelah sarapan, mereka bersiap keluar dengan sepeda dan berkeliling. Anti, ia menyukai pemandangan. Ya... pemandangan apapun. Tak peduli pemandangan berupa seperti surga atau neraka.
Maliq, daritadi memandang sepeda yang ia kemudikan. Rupa yang tadi terpoles bedak bayi sedikit luntur. Kak Difan, ia berusaha mengalihkan pandangan Anti.
"Kak, kenapa kita baru tahu ada taman disana?" tanya Maliq melihat sebuah taman yang sudah dibuka. Baru beberapa orang disana.
Kak Difan langsung mengarahkan Anti dan Maliq untuk memasuki taman dan duduk di kursi panjang. Mereka terdiam.
Maliq, ia yang tadi diam karena memandang sepeda sudah 2 menit menuliskan sesuatu di buku kecilnya. Kak Difan dan Anti masih diam memandang apa yang mereka lihat. Udara sejuk, tentu mendukung keingintahuan mereka.