Mohon tunggu...
Sabrina Yudhistira Jumiranto
Sabrina Yudhistira Jumiranto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

43223110015 - S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB2-Kebatinan Mangkunegaran IV pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

16 November 2024   22:10 Diperbarui: 16 November 2024   22:48 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasihat ini mengajarkan pentingnya sikap rendah hati, toleransi dan kebijaksanaan dalam berinteraksi. Pemimpin yang baik harus mampu menghormati perbedaan, menjaga harmoni dan menanggapi masalah dengan cara yang penuh kebijaksanaan dan empati, tanpa merendahkan orang lain.

5.Menghindari Kesombongan dan Merendahkan Orang Lain (Hindari Sifat Sombong dan Meremehkan Orang Lain)

Dalam Serat Wedhatama, Mangkunegara IV menasihati agar seseorang tidak meniru perilaku orang yang bodoh, di mana sering berbicara berlebihan tanpa dasar yang jelas (ngandhar-andhar angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang seperti ini cenderung sombong (anggung gumrunggung) dan selalu menginginkan pujian setiap saat (ugungan sedina-dina).

Orang dengan pengetahuan yang terbatas tetapi memiliki kesombongan yang tinggi sering menunjukkan sifat aslinya melalui ucapan dan sikapnya. Mereka tidak mau kalah dalam perdebatan (lumuh asor kudu unggul) dan kerap merendahkan orang lain (sumengah sesongaran).

Pesan ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati, introspeksi dan pengendalian diri. Seorang pemimpin atau individu yang bijaksana tidak akan membanggakan diri secara berlebihan atau mencari pengakuan tanpa kontribusi nyata. Sebaliknya, ia akan fokus pada tindakan yang bermanfaat dan menjaga sikap yang menghormati orang lain.

Serat Rama (Soetomo, Sujata, Astusi, 1993) adalah karya sastra yang menggambarkan wejangan Rama kepada Wibisana mengenai cara memimpin kerajaan Ngalengka. Karya ini merupakan adaptasi dari Ramayana Kakawin yang ditulis dalam bahasa Jawa modern oleh Yasadipura I (1729-1803 M), seorang pujangga dari Kasunanan Surakarta (Ricklefs, 1991).

Asta Brata berasal dari bahasa Sansekerta, menggabungkan kata Asta (delapan) dan Brata (perilaku atau tindakan pengendalian diri). Konsep ini melambangkan kepemimpinan ideal yang mencerminkan delapan unsur alam: bumi, air, angin, bulan, matahari, samudra, gunung dan api.

Ilmu Asta Brata diperkenalkan melalui lakon pewayangan Wahyu Makutharama. Pemimpin yang menguasai ilmu Asta Brata diharapkan mampu menginternalisasi delapan sifat agung yang melambangkan kebijaksanaan dan kebesaran Sang Pencipta. 

Dalam tulisan Yasadipura I (1729-1803 M), seorang pujangga keraton Surakarta, Asta Brata dijabarkan sebagai delapan prinsip kepemimpinan yang meniru filosofi dan sifat alam, yaitu:

1.Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)

Dalam Asta Brata, bumi diartikan sebagai ibu pertiwi yang memiliki peran dalam memelihara, mengasuh dan melindungi semua makhluk hidup. Seorang pemimpin yang mengadopsi sifat bumi harus dapat mengayomi dan melindungi anak buahnya, serta memberikan perhatian pada kesejahteraan masyarakat, terutama kaum lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun