Mohon tunggu...
Rucika GalvaniPutri
Rucika GalvaniPutri Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 6 - SMAN 1 PADALARANG

CIK

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

JALAN MENUJU ROMA

8 Februari 2021   15:02 Diperbarui: 8 Februari 2021   16:43 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa depanku sudah ditentukan. Bapak bilang aku tidak usah melanjutkan sekolah karena pada akhirnya  pendidikan yang tinggi akan sia-sia.  Gadis desa sepertiku hanya memiliki masa depan untuk mengurus keluarga kecil tanpa berpikir untuk berkarir sukses di kota. Keinginanku menjadi seorang chef terkenal yang ada di dapur mewah, beralaskan lantai-lantai mengkilap hanya sebagai angan-angan belaka yang nyatanya garis tanganku mengatakan aku harus ada di dapur yang beralaskan tanah saja. Garis tangan gadis desa tidak jauh seperti itu, khususnya aku. Garis yang dibuat oleh orangtuaku sendiri.

Setiap orang di desa mempunyai pemikiran jika pendidikan tinggi itu hanya semata-mata untuk kehidupan yang sementara. Lagi pula pemikiran anak desa tentang pendidikan sangatlah rendah. Mereka hanya mengikuti apa yang dikatakan orang tuanya bahwa setelah lulus SMA hanya perlu bekerja di desa. Hanya aku, seorang gadis yang berani menentang orangtuanya sendiri demi menggapai angan yang sudah diukirkan langit diatas. Aku harus berdiri di atas langit itu meskipun duniaku menolak untuk tidak melakukannya.

***

Setiap pagi, ibu dan bapak pergi untuk beternak di belakang rumah. Jadwal kegiatanku setiap pagi  ketika hari libur pasti menulis harapan di secarik kertas yang nantinya akan ku tempel dibelakang pintu lemari supaya ibu dan bapak tidak tahu tentang harapanku karena aku tahu ibu dan bapak pasti melarang aku berharap yang tidak mungkin akan terjadi. Dikertas kecil itu aku selalu menulis apa yang akan aku lakukan dimasa depan dan aku yakin semua yang aku tulis pasti akan terjadi.  

Saat aku mengukir satu demi satu huruf di secarik kertas sembari duduk di meja dekat jendela kamar, tiba-tiba ibu memanggil “Tari bantu ibu didapur!”. Seketika secarik kertas yang aku tulis terbawa angin karena terkejut mendengar suara ibu. Aku langsung berlari menuju dapur dan bertanya “Iya bu, Tari bantuin apa?”. “Ini Ri, bantuin ibu cuci sayuran terus potong kecil-kecil buat dimasak”, ucap ibu sambil memberi wadah berisi sayuran. Ketika aku sedang mencuci sayuran, terlintas dipikiranku untuk menanyakan aku akan melanjutkan sekolah kemana, karena ujian nasional untuk SMA sudah tinggal menghitung hari.

“Bu, habis lulus SMA aku lanjut sekolah kemana? boleh ke kota kan bu?”, ucap Tari gugup. Lalu ibu menjawab dengan spontan dan nada tinggi “Ke kota? Memang kamu pikir sekolah di kota itu mudah? Dan biayanya juga pasti sangat besar, anak desa itu gaperlu ribet, habis lulus sekolah kamu ikuti aja apa yang dilakukan ibu dan bapak didesa, habis itu kamu nikah dan mengurus keluarga”. Dengan cepat aku membantah perkataan ibu “Tapi bu, masa depan aku itu masih panjang, aku punya cita cita sebagai chef terkenal dan untuk masalah biaya kan bisa mencari beasiswa...”. Belum selesai aku membantah, ibu sudah memotong pembicaraan “Jadi chef saja ribet, kamu tinggal masak di dapur aja, jadi ibu ga usah capek-capek masak”. Tanpa basa basi aku langsung meninggalkan ibu dan pergi ke kamar.

Saat dikamar, meja di dekat jendela itu adalah tempatku untuk menenangkan hati dan pikiranku sambil melihat keadaan desa yang hijau. Disitu aku berpikir Roma yang aku inginkan belum tentu Roma yang Allah takdirkan. Mungkin jalan hidupku hanya sebatas perempuan yang selamanya akan hidup di desa, dan harapan yang ditulis di secarik kertas itu hanya sebuah hiasan tersembunyi di dalam lemari.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku sampai aku tersadar dari lamunan yang membuatku semakin pesimis menggapai cita-cita. “Kamu mikirin apa sih Ri?”, ucap Ita. “Eh kalian dari tadi disini?”, ucapku terkejut. “Tadinya aku sama Nia cuma ngelewat depan rumah kamu aja, tapi kita liat kamu dijendela lagi melamun jadi kita minta izin sama ibu kamu buat masuk ke kamar kamu”, ucap Ita. Karena penasaran. Lalu Nia melanjutkan pertanyaan Ita tadi “Eh Ri emang kamu lagi ngelamunin apa sih? ayo cerita ke kita”, ucap Nia sambil memohon. Kemudian aku ceritakan semua kejadian tadi, ternyata setelah mendengar ceritaku tadi tanggapan Nia dan Ita seakan-akan memihak kepada ibu yang tidak mengizinkan aku untuk pergi ke kota. Tapi aku akan berusaha meyakinkan Nia dan Ita jika masa depan itu penting untuk mengubah kehidupan kita di desa dan ternyata meyakinkan mereka itu tidak sesulit meyakinkan ibu dan bapak, meskipun mereka setelah lulus sekolah nanti pasti akan tetap mengikuti keinginan orang tua mereka.

Perbincangan kami terhenti ketika handphone Nia berbunyi. Saat Nia berbicara di telepon wajahnya terlihat senang dan menjawab telepon itu dengan semangat. Setelah dia menutup telepon itu aku dan Ita segera bertanya kepada Nia tentang apa yang terjadi. “Tadi, Sani teman kecilku di kota bilang kalau nanti akan ada mahasiswa kota yang akan ke desa untuk melakukan penelitian sebagai tugas akhir mereka, salah satu mahasiswanya adalah kakaknya Sani, namanya Kak Citra”, ucap Nia dengan wajah bahagia. “Akhirnya desa kita kedatangan orang yang istimewa hehe, semoga saja dia bisa membangkitkan semangat anak-anak untuk sekolah setinggi-tingginya”, ucapku. “Aku harap juga sih begitu, dengan pola pikir yang berbeda semoga aja nanti  jadi  banyak anak desa yang melanjutkan sekolah ke kota”,ucap Ita dengan penuh harapan.

***

Di pagi hari yang cerah, aku dan kedua temanku sedang berjalan melewati taman Balai Desa, saat itu kita berniat untuk mempersiapkan belajar ujian nasional di rumah Ita. Diperjalanan menuju rumah Ita, kita melihat ada perempuan dengan pakaian modis yang sedang duduk di taman balai desa, kemudian kita mengahampirinya dan bertanya “Permisi kak, kayanya kita baru melihat kakak disini?, ucapku sambil berdiri di depan perempuan itu. “Iya, kakak dari kota yang datang kesini untuk melakukan penelitian”,ucap kakak itu ramah. “Oh kaka namanya Kak Citra ya?”, ucap Nia gugup. “Bukan, kenalkan nama kakak, Putri”,sambil menundukan kepala. Aku kira awalnya itu adalah Kak Citra, kakaknya Sani. Untung saja Kak Putri orangnya ramah jadi kita tidak seperti patung dihadapannya. Tak lama kemudian, ada seorang perempuan tinggi dan putih yang memakai sepeda dari arah seberang menuju ke arah kami. Melihat perempuan itu, Kak Putri langsung memanggilnya teriak dengan sebutan Citra.

Ketika Kak Citra menaruh sepeda yang dinaikinya di parkiran, ia langsung menghampiri Kak Putri, aku, Ita, dan Nia. Dengan senyuman yang hangat Kak Citra langsung melambaikan tangan sebagai tanda awal kita bertemu. Nia langsung menanyakan kepada Kak Citra tentang Sani yang merupakan teman kecilnya dan juga sebagai adik Kak Citra. Kemudian kita di ajak pindah ke halaman rumah balai desa, disana kita berbincang segala hal, termasuk tentang masa lalu dan perjuangan Kak Putri dan Kak Citra bisa kuliah sampai saat ini.

Saat Kak Citra sedang menceritakan perjuangan dia bisa sampai saat ini, Kak Citra mengatakan bahwa dia dulu pernah tinggal di desa ini, tetapi karena kedua orang tuanya mengalami kecelekaan dan membuat keduanya meninggal, Kak Citra dan Sani  pindah ke kota dan tinggal bersama teman bapaknya yang bernama Pak Yanto yang merupakan seorang pembisnis sukses di kota sehingga mereka membiayai sekolah Sani dan Kak Citra sampai sekarang dan kebetulan  Pak Yanto dan istrinya, Bu Via tidak mempunyai anak sampai sekarang jadi mereka menganggap Sani dan Kak Citra sudah seperti anaknya sendiri. Dari situlah aku baru tahu jika Sani dan Kak Citra dulu pernah tinggal di desa ini.

Selama ini Nia, teman dekatku sendiri tidak pernah memberitahuku jika dulu pernah ada orang desa yang berhasil kuliah di kota, mendengar hal itu dari orang lain perasaanku seperti benang yang diacak-acak. Aku sangat kesal kepada Nia, meskipun aku anak pindahan dari desa sebelah dan aku baru kenal Nia saat kelas 8 SMP, tetapi aku dan Nia sudah seperti teman dari kecil karena kita selalu kemana-mana bersama sampai menginap disalah satu rumah secara bergiliran pun kita pernah melakukannya.  

Aku langsung berdiri dan melihat ke arah Nia, jantungku berdebar kencang seakan ingin meluapkan kekesalan dengan berteriak di depan Nia, tetapi aku malah menitikan air mata didepan semuanya. Melihat aku yang bersikap aneh, Kak Citra dan Kak Putri langsung mengikutiku berdiri dan memegang pundaku sambil menanyakan apa yang terjadi. Awalnya aku tidak ingin bilang apa yang aku rasakan, tetapi Kak Putri terus membujukku untuk mengatakan sesuatu. Akhirnya aku luapkan kekesalanku kepada Kak Citra dan Kak Putri sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Mendengar penjelasanku, Kak Citra mencoba menenangkanku dan meyakinkan aku bahwa Nia tidak mengatakan hal itu karena ada alasan yang jelas. Sore yang cerah itu berubah menjadi kelabu karena suasana yang berubah. Meskipun sudah dijelaskan oleh Kak Citra, aku tetap kesal kepada Nia karena dia tidak mengeluarkan pembelaan sedikitpun ketika aku menanyakan alasan dia tidak memberitahuku. Rasa kesalku sudah dipuncak, aku langsung mengambil tas ku dan berlari ke arah luar untuk pulang duluan dan hanya berpamitan dengan ucapan tanpa salaman.

Sesampainya dirumah, aku masuk tanpa mengucapkan salam langsung ke kamar dan berbaring dikasur menatap langit indah yang tertupi atap, aku seperti berada diruangan yang sangat gelap, tanpa sadar air mataku sudah membasahi pipiku dan aku terlelap tidur.

Ibu membangunkan ku saat jarum jam dinding membentuk sudut 90 derajat, ia langsung memarahiku karena tadi aku tidak menutup pintu rumah saat ibu dan bapak tidak ada dirumah. Saat mereka pulang, mereka mengira ada orang lain yang masuk kedalam rumah. Mendengar ibu menasihatiku, aku seperti orang bisu. Untungnya ibu tidak lama berbicara dan langsung menyuruhku mengganti baju dan makan malam.

Setelah aku mengalaskan makanan, aku membawanya ke dalam kamar dan duduk di pojok dekat jendela. Tiba-tiba handphoneku berbunyi berulang-ulang, ketika aku membuka kunci layarnya, ternyata grup whattsApp kelas sedang ramai, mereka membicarakan bahwa besok akan ada mahasiswa kota yang datang ke sekolah untuk melakukan penelitian. Membaca pesan itu, hatiku tetap tertutupi abu karena masih kesal dengan kejadian tadi siang.

***

Pagi hari yang cerah, tetapi cahayanya yang egois, tidak mau berbagi untuk menerangi hatiku, saat aku sedang merapikan kerudung yang sulit terbentuk di wajahku, tiba-tiba ibu membuka pintu kamar dan memberitahu kalau Nia dan Ita sudah ada di depan rumah dan aku menyuruh ibu memberitahu kepada mereka agar mereka berangkat duluan. Ketika aku melihat ke arah pintu depan dari jendela kamar, terlihat Nia dan Ita  yang berjalan meninggalkan rumahku. Entah apa yang ibu katakan kepada mereka karena biasanya mereka selalu menungguku sampai aku selesai bersiap-siap dan kita berangkat bersama, tetapi hari ini mereka dengan mudah meninggalkanku ke sekolah.

Sesampainya aku di sekolah, ternyata lapangan sekolah sudah dipenuhi siswa yang bersiap-siap melakukan upacara, aku langsung lari ke kelas untuk menyimpan tasku dan bergegas lari lagi menuju lapangan sekolah. Biasanya aku berada di posisi kedua diantara Nia dan Ita dalam barisan. Akan tetapi, senin ini aku memilih berdiri di posisi paling belakang karena tidak ingin dekat dengan mereka.

Diakhir upacara, amanat kepala sekolah menyuruh semua siswa langsung masuk kedalam kelas masing-masing dan memberitahu jam pelajaran diganti dengan kegiatan sosial dengan para mahasiswa dari kota dan setiap kelas akan ada dua orang mahasiswa didalamnya.

Bel masuk berbunyi, mau tidak mau aku harus duduk dengan Nia. Awalnya aku membuang mukaku jika bertemu dengan Nia, tetapi sekarang dia ada di sebelahku jadi mana mungkin aku bisa terus membiarkan dia. Nia meminta maaf kepadaku soal kejadian kemarin, dia ingin menjelaskan masalahnya, “Tidak usah menjelaskan apa-apa lagi Nia, aku sudah memaafkanmu”, ucapku dibibir meskipun kenyataannya aku berbicara seperti itu karena aku malas membahas masalah kemarin. “Ya sudah Ri, sekali lagi maafkan aku ya”, ucap nia dengan muka memelas sambil memegang tanganku.

Tiba-tiba datang dua mahasiswa perempuan dari arah pintu menuju kedalam kelas dan ternyata itu adalah Kak Citra dan Kak Putri. Mereka memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian mereka berbagi cerita perjuangan mereka bisa kuliah sampai memberitahu kepada kami mengenai beasiswa apa saja yang biasanya dipakai para mahasiswa. Semua teman-temanku sangat antusias mendengar hal itu, apalagi para mahasiswanya memberi kami tips dan trik belajar untuk ujian nasional nanti.

Kemudian Pak Muh, kepala sekolahku masuk ke kelasku, sepertinya para guru sedang mengontrol kegiatan acaranya, saat di kelasku Pak Muh memberitahu bahwa ini adalah pertama kalinya sekolahku kedatangan mahasiswa dari kota “Kalian beruntung sekali anak-anak, karena angkatan kalian adalah angkatan pertama yang mengadakan acara seperti ini dengan kehadiran para mahasiswa yang sukses dari kota, semoga kalian semua yang ada di kelas ini bisa mengikuti jejak kakak-kakaknya melanjutkan sekolah ke kota dan bisa kembali ke desa ini untuk memajukan pendidikan disini”, ucap Pak Muh menaruh harapan kepada masa depan kita yang terlihat dari bola matanya.

Sekitar tiga jam kita berbincang dengan Kak Citra dan Kak Putri tentang bagaimana kehidupan mahasiswa di kota. Tak terasa acaranya sudah ada di akhir dan Pak Muh mengumumkan waktunya murid-murid pulang. Ketika aku sedang bersiap-siap merapikan mejaku, Nia dan Ita mengajakku untuk menemui Kak Citra dan Kak Putri di luar kelas. Meskipun aku masih merasa kesal dengan Nia, tetapi aku tidak bisa marah terlalu lama kepadanya, akhirnya kita bertiga keluar kelas.

Kak Citra dan Kak Putri mengajak kami untuk berdiskusi lagi tentang masa depan kita bertiga karena kemarin belum sempat membahas terlalu jauh tentang impian kami. Kak Citra mengajak kami ke sebuah tempat makan dekat sekolah. Disana aku merasa sangat senang sekali karena bisa menyampaikan keinginanku yang selalu aku pendam. Dan baru hari ini  ini aku saling tukar nomer telepon dengan Kak Citra dan Kak Putri bahkan aku, Ita, Nia, Kak Putri dan Kak Citra sampai membuat grup whatsApp.

Awalnya aku memberitahu cita citaku ingin menjadi Chef terkenal di kota tetapi ibu dan bapak tidak mengizinkanku kuliah ke kota. Kemudian Nia juga berbicara ingin melanjutkan sekolah ke kota, dia ingin menjadi seorang designer terkenal di kota tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya ke kota, apalagi Nia orangnya penurut kepada orang tua, semua yang dilarang orang tuanya pasti tidak akan Nia lakukan. Nah kalau Ita dia akan tetap di desa karena dia orangnya susah untuk beradaptasi di lingkungan yang baru atau bisa disebut dia udah cinta sekali sama desa hehe.

Tidak terasa matahari sudah menampakkan sinar indahnya di sore hari, obrolan yang tadi kami bahas membuat hari ini menjadi awal terbukanya pintuku untuk menggapai cita-cita karena Kak Citra dan Kak Putri memberi banyak motivasi untukku, meskipun harapan yang diceritakan tadi tidak mungkin mudah untuk dicapai, tetapi aku yakin jika aku berusaha dan bersungguh-sungguh menggapai cita-cita pasti semuanya akan ada jalannya. Kak Citra berpesan kepada kami untuk mencoba meyakinkan orang tua kami tentang kuliah di kota itu mudah jika bersungguh-sungguh belajar dan mencari beasiswa. Saat lantunan ayat suci mulai terdengar, kita semua pamit pulang kepada Kak Citra dan Kak Putri.

***

Hari ini, aku bangun disambut dengan hangatnya mentari yang menusuk jiwaku sampai membuat diriku  dipenuhi rasa semangat meskipun sekolah hari ini libur karena Pak Muh memberi kami waktu untuk belajar ujian nasional di rumah . Keluar dari kamar, aku langsung menghampiri ibu yang sedang memasak. Aku langsung menghampiri ibu ke dapur, “Kamu kenapa Tari? Kesambet apa pagi-pagi sudah senyum-senyum sendiri”, ucap ibu memegang pundakku. “Tidak bu, Tari tidak apa-apa”, sambil melepaskan tangan ibu dari pundakku. “Apa jangan-jangan kamu sudah punya pacar ya di desa ini? Bicaralah pada bapak Tar, biar bapak tau siapa yang akan jadi suamimu nanti”, ucap bapak cengengesan.

Mendengar bapak bicara seperti itu, rasanya aku ingin pergi saja dari rumah, hatiku yang tadinya berbunga-bunga seakan-akan semua bunga akan jatuh berantakan diterpa badai. Padahal aku sedang memikirkan mimpiku semalam yang menjadi chef terkenal di kota, tetapi bapak dan ibu malah mengiraku sudah punya pacar. “Ya sudah bu, Tari mau mandi saja biar belajarnya semangat”, ucapku dengan tatapan mata lelah sambil berjalan seperti tak punya kaki ke kamar mandi.

Selesai mandi, aku masuk kembali ke kamar dan membuka buku belajarku tetapi handphoneku berbunyi ternyata ada pesan dari Kak Citra di grup, dia menanyakan apakah aku, Nia, dan Ita sudah bisa atau belum untuk meyakinkan ibu dan bapak mengenai kuliah di kota. Aku membalas pesan Kak Citra sesuai dengan apa yang tadi pagi terjadi. Akan tetapi, Kak Citra terus menyemangati kami agar tidak putus asa untuk memberi pengertian kepada bapak dan ibu.

Setelah Kak Citra mendengar semua isi hati kami semua, Kak Citra mengetik pesan sangat panjang yang intinya dia mempunyai rencana untuk mencarikan kami beasiswa disana, untuk masalah biaya hidup, Kak Citra akan menanggungnya. Mendengar semua itu, aku yang paling semangat menyetujui rencana Kak Citra, sedangkan Ita dan Nia membalas pesan dengan menyetujuinya tetapi terlihat seperti banyak pertimbangan untuk pergi ke sana karena mereka pasti tidak akan diizinkan oleh orangtua. Sebenarnya aku juga pasti tidak akan diizinkan untuk pergi ke kota, apalagi bapakku yang sangat keras memegang prinsipnya jika perempuan desa sepertiku tidak perlu sekolah yang tinggi.

Setelah aku mengumpulkan butir-butir keberanian untuk bicara kepada bapak dan ibu mengenai rencana Kak Citra tadi, aku langsung keluar kamar dan menemui ibu terlebih dulu “Assalamualaikum bu”, ucapku sambil membuka pintu kamar ibu. “Waalaikumsalam Tar, ada apa kamu ke kamar ibu?”, ucap ibu yang sedang melipat baju. Tanpa berpikir lagi aku langsung memberanikan diri untuk berbicara “Bu, kemarin di sekolah aku bertemu Kak Citra dan Kak Putri, mereka itu mahasiswa kota yang sedang menjalankan penelitian sebagai tugas akhir kuliahnya di desa, terus tadi aku, Nia, dan Ita  sudah tanya-tanya di grup whatsapp tentang sekolah di kota dan..”, ucapku dengan gugup. Pembicaraanku langsung dipotong oleh ibu “Dan apa? Ibu kan sudah bilang kamu itu hanya gadis desa, biaya untuk sehari-hari saja kadang tidak tercukupi dan sekarang kamu ingin sekolah ke kota, apa kamu tidak memikirkan biaya nanti disana?,” ucap ibu dengan tatapan tajam. Aku menjawab dengan gugup “Di kota aku akan mencari beasiswa bu, untuk biaya kehidupanku disana awalnya akan ditanggung kak Citra”,ucapku sambil memegang tangan ibu. “Baru saja kenal dengan perempuan kota itu, kamu sudah menyusahkannya? Lagi pula kamu belum tau maksud dia membantu kamu itu apa, bisa saja nanti dia berbuat jahat kepadamu”,ucap ibu sambil melepaskan genggaman tanganku.

Walaupun ibu terlihat tidak setuju, aku tetap meyakinkan ibu, aku menceritakan asal-usul Kak Citra agar ibu tidak mengira dia orang jahat. Aku sudah menceritakan tentang Kak Citra dan Sani pun ibu tetap tidak percaya, aku sampai bilang kepada ibu, aku akan membawa orang tua Nia untuk menjelaskan tentang Kak Citra karena keluarga Nia dulu sangat dekat dengan keluarga Kak Citra. Akan tetapi ibu malah menyuruhku meminta izin kepada bapak karena semua keputusan ada ditangan bapak.

Setelah aku keluar dari kamar ibu, aku melihat bapak sedang memotong kayu di depan rumah. “Pak, Tari mau bicara sesuatu”, ucapku menunduk. Mendengar aku berbicara begitu saja, bapak sudah terlihat heran dan membuat badanku lemas dengan tatapannya. “Ada apa Tari, ayo cepat duduk”, ucap bapak. Ketika aku duduk, aku langsung bicara kepada bapak tentang pembicaraanku dengan Kak Citra tadi. Setelah mendengar aku bicara, awalnya bapak hanya terdiam sambil melanjutkan pekerjaannya. Aku mengira mungkin bapak sudah bosan melarang dan menasihatiku tentang masalah pendidikan ini karena dari awal aku selalu tidak setuju dengan keputusan bapak. Ketika aku berdiri hendak meninggalkan bapak, “Tari”,ucap bapak. Aku merasa sepertinya bapak akan mengizinkanku, kemudian bapak bicara lagi “Bapak tetap tidak akan mengizinkanmu”,ucap bapak membentak. Mendengar perkataan seperti itu, aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi, dengan cepat aku langsung berlari dan masuk kedalam kamar.

Aku menjatuhkan badanku ke atas kasur dengan keras lalu menangis. Kemudian aku membuka lemariku dan langsung menatap kertas-kertas kecil yang tertempel di belakang pintu lemari itu. Dan untuk kesekian kalinya aku meyakinkan diriku jika cita-cita dan harapanku untuk melanjutkan sekolah ke kota itu hanya sebuah hayalan seperti jerapah yang bisa hidup di air.

Tak terasa lusa akan melakukan ujian, selama seminggu kemarin pikiranku tidak karuan karena memikirkan bapak dan ibu yang tidak mengizinkanku pergi ke kota. Pagi ini aku disuruh ibu ke pasar untuk membeli sayuran, ternyata di pasar aku bertemu dengan Kak Citra, lagi dan lagi dia menanyakan bapak dan ibu. Dia juga memberitahu aku jika minggu depan semua mahasiswa akan pulang ke kota. Pikiranku bagai benang kusut dan hatiku seperti tertusuk duri mendengarnya. Tanpa basa-basi aku menyuruh Kak Citra datang ke rumahku pulang dari pasar untuk membicarakan kepergianku ke kota nanti. Demi aku, gadis yang baru dikenalnya, Kak Citra mau menuruti keinginanku untuk menemui ibu. Dia rela dimarahi ibu dan bapak jika nanti bertemu.

Sesampainya dirumahku, ternyata ibu dan bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi, aku langsung mengajak Kak Citra masuk ke kamarku, entah apa yang aku rasa tetapi aku sangat tenang dan aman ketika Kak Citra ikut membantuku memperjuangkan cita-citaku padahal aku baru mengenalnya seminggu yang lalu.

Di kamar, aku menceritakan apa yang tadi terjadi denganku dan orangtuaku. Setelah mendengar ceritaku, awalnya Kak Citra melarangku untuk pergi tetapi setelah aku meyakinkan Kak Citra tentang cita-citaku yang aku inginkan dari dulu bahkan aku sampai membuka lemariku yang penuh tempelan selembar kertas impian itu, hanya untuk meyakinkan Kak Citra tentang cita-citaku, tetapi akhirnya Ka Citra berubah pikiran, ia akan membantuku meyakinkan ibu dan bapak .

Sekarang kita tinggal memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke kota jika aku tidak izinkan bapak dan ibu, atau mungkin aku akan nekat pergi tanpa izin orang tua. Beberapa menit kemudian rencana terbesit dipikiranku “Kak aku tau bagaimana cara aku pergi ke kota supaya tidak ketahuan ibu dan bapak”, ucapku berbisik. “Tidak ketahuan bapak dan ibu? Bagaimana? jangan bilang kamu akan kabur diam-diam”, ucap Kak Citra sambil menyipitkan mata. “Tapi cuma cara itu yang bisa bawa aku ke kota kak”,ucapku sambil memegang tangan Kak Citra. “Ijin orang tua itu sangat penting Ri, jangan sampai jalan yang kamu ambil ini salah dan nanti akan membuat kamu menyesal”, ucap Kak Citra sambil menatap mataku seperti menyelami mataku sampai ke hati. Aku terdiam sejenak dan berpikir cara apa yang harus aku ambil untuk bisa pergi ke kota, dengan pikiran yang tidak karuan dan niatku yang tetap ingin pergi ke kota, dengan kepala tertunduk aku meneteskan air mata dengan rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan.

Melihat aku nangis tersedu-sedu, Kak Citra langsung memelukku dan berbicara didekat telingaku “Kakak akan bantu kamu untuk pergi ke kota setelah kamu selesai ujian, sambil kakak akan memikirkan cara yang tepat untuk pergi ke kota.”, ucap Kak Citra. Kemudian aku langsung melepaskan pelukan itu dan menatap Kak Citra dengan senyuman. Setelah itu, Kak Citra langsung keluar dari kamar tanpa aku antar ke depan karena mataku masih berkaca-kaca. Saat Kak Citra sudah keluar kamar, tiba-tiba ibu mengetuk pintu dan langsung masuk ke kamarku “Tari, siapa yang tadi baru saja dari rumah kita?”, ucap ibu sambil mengerutkan dahi. “Oh itu (pasti tadi ibu berpapasan dengan Kak Citra di depan, atau aku jujur saja ke ibu, tetapi nanti ibu pasti memarahi aku lagi. Aku nunggu waktu yang tepat saja buat cerita semuanya ke bapak dan ibu) temanku bu”, ucap ku berhenti sejenak karena memikirkan kejadian dalam hati. “Ibu kira itu orang jahat, yasudah kalau begitu ibu mau masak dulu”, ucap ibu sambil menutup pintu kamarku.

Baru saja berpapasan dengan Kak Citra, ibu sudah mengira dia orang jahat, apalagi kalo sampai ibu tau perempuan itu yang akan bawa aku ke kota untuk kuliah, pasti amarah ibu makin meledak-ledak. Ditambah bapak yang akan memarahiku, ah sudahlah rumah ini bisa hancur nanti gara-gara mendengarkan mereka marah-marah sudah seperti bom yang meledak saja.

Besok saatnya Ujian Nasional pertamaku. Ujian Nasional ini dilakukan selama tiga hari dan untuk mendapatkan ijazah kita harus menunggu waktu sekitar satu bulan. Ketika aku berangkat bersama Nia dan Ita, kami bertemu dengan Kak Putri di taman balai desa karena kami berangkat sekolah melewati tempat itu. Kak Putri tiba-tiba menghampiri kami ke seberang jalan dan mengatakan bahwa kami ditunggu Kak Citra di taman ini sepulang sekolah nanti. Nia dan Ita merasa aneh dengan maksud Kak Citra ingin menemui kami sepulang sekolah, tetapi aku sudah tidak merasa aneh lagi karena pasti Kak Citra akan mendiskusikan tentang sekolah ke kota.

***

Ujian Nasional telah selesai dilakukan, aku, Ita dan Nia langsung pergi ke taman balai desa. Selama di perjalanan, Nia dan Ita bertanya-tanya kepadaku tentang maksud Kak Citra ingin bertemu dengan kami. Meskipun aku tahu pasti tujuan Kak Citra untuk apa, tetapi aku pura-pura tidak tahu agar Kak Citra saja nanti yang menceritakan semuanya kepada Nia dan Ita.

Sesampainya di taman balai desa, terlihat Kak Citra sudah duduk di bangku taman. Kami langsung mendekati dia. Kemudian Kak Citra langsung mengajak kami masuk ke rumah sebelah kantor desa, tempat para mahasiswa tinggal, kami duduk di halaman rumahnya. Kak Citra langsung menceritakan yang kemarin terjadi di rumahku kepada Nia dan Ita. Kak Citra pun langsung menanyakan apakah Nia dan Ita juga ingin benar-benar kuliah ke kota atau tidak. “Aku bingung kak, aku tidak bisa menentang orang tuaku, apalagi aku mempunyai dua adik yang sangat dekat denganku, aku pasti sangat sulit meninggalkan mereka kak”, ucap Nia melirih. “Kalau aku sulit untuk beradaptasi kak, apalagi nanti disana aku benar-benar hidup sendiri di tengah orang-orang kota yang tidak aku kenal, meskipun aku tau kalau nanti aku bisa beradaptasi, tetapi pasti itu membutuhkan waktu yang lama, sebenarnya dalam lubuk hatiku yang paling dalam masih ada perasaan tidak lepas atas diriku sendiri kak”, ucap Ita menatap kita semua.

Jadi, diantara aku, Nia dan Ita yang paling ingin pergi ke kota cuma aku saja. Hanya aku yang berani melanggar perintah orang tua untuk menggapai cita-citaku, meskipun aku tahu itu hal yang tidak baik, tetapi aku ingin sekali memperbaiki masa depanku agar lebih cerah. Kak Citra yang mendengarkan penjelasan kita bertiga, melamun sejenak memikirkan langkah apa yang harus kita ambil. Aku bertanya kepada Kak Citra tentang alasan Kak Citra ingin membantuku untuk kuliah karena ini adalah hal yang sulit ditambah lagi orangtuaku yang tidak mengizinkanku.

Tiba-tiba Kak Putri datang dari dalam rumah dengan membawa lima gelas minuman segar. Saat kami sedang menikmati minuman tersebut, Kak Putri memberitahu idenya agar aku bisa pergi ke desa. Dia mengusulkan jika aku pergi diam-diam dari rumah. Usul Kak Putri itu sama seperti usulku kemarin yang tidak disetujui Kak Citra. Nia dan Ita yang mendengar usul Kak Putri pun langsung menyetujuinya, mereka akan membantuku dengan bilang kepada ibu dan bapak jika aku akan menginap dirumah Nia nanti. Dan untuk pengambilan ijazah rencananya Kak Citra akan membantuku untuk mengambilnya, dia  akan meminta Ijazah ku lebih cepat dibuat sekolah karena keperluan yang sangat penting. Semua mahasiswa yang datang ke desa akan pulang besok, tetapi hanya Kak Citra yang akan pulang setelah nanti pembagian ijazahku. Pengorbanan Kak Citra sekarang, tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun.

Setelah tiga hari aku melaksanakan Ujian Nasional aku tinggal menunggu pembagian ijazah dari sekolah selama seminggu, yang harusnya aku menunggu sebulan, tetapi karena Kak Citra berhasil meyakinkan Pak Muh, jadi pengurusan ijazahku bisa dipercepat, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana Kak Citra memberitahu kejadian ini kepada Pak Muh. Dan setelah seminggu, aku dan Kak Citra mengambil ijazahku ke sekolah.

Saat malamnya hari pengambilan ijazahku, sekitar pukul sembilan malam, Nia dan Ita langsung kerumahku untuk menjemputku dengan alasan akan menginap di rumah Nia. Ibu dan bapak sudah tahu kalau kami bertiga suka menginap bersama dirumah Nia jadi bapak tidak curiga aku akan pergi kemana. Namun, ibu yang melihat bawaanku banyak, ia merasa heran “Kamu sampai bawa koper baju sebesar itu memangnya akan menginap berapa hari dirumah Nia?”, ucap ibu mengambil koperku. “Di rumah Nia nanti aku akan foto-foto bu, sekalian mengenang masa-masa SMA jadi aku bawa banyak setelan baju”, ucapku cepat sambil membawa koperku dari tangan ibu. Aku pun langsung pergi dan pamit kepada orangtuaku.

Kami bertiga langsung menemui Kak Citra di pos dekat balai desa. Sesampainya disana, aku dan Kak Citra langsung naik angkot untuk pergi ke terminal. Pelukan hangat yang berkesan sangat terasa dari Nia dan Ita saat itu. Untuk pertama kalinya aku akan pergi jauh dari orangtuaku dan sahabatku. Jika lolos nanti mungkin aku akan tinggal selama tiga tahun di Jakarta. Selama itu aku tidak akan bertemu mereka secara langsung, satu hal yang aku sesali adalah cara berpamitanku kepada bapak dan ibu, aku hanya pamit dengan mencium tangan kedua orangtuaku saja tanpa merasakan pelukan mereka.

***

Di kota Jakarta, aku sampai saat matahari sedang ada di atas kepala, dengan cepat aku dan Kak Citra langsung naik kendaraan umum untuk sampai ke rumah Kak Citra, aku tinggal bersama Kak Citra di rumah Pak Yanto dan Bu Via. Pertama kalinya aku bertemu Sani, teman kecil Nia saat di desa dulu. Ternyata orangnya sangat sopan dan asyik jika diajak berbincang. Aku dan Sani adalah remaja yang seumuran tapi berbeda garis takdir. Sani sudah mendaftarkan diri ke Universitas Swasta di Jakarta, dia hanya tinggal menunggu pengumuman untuk daftar ulang ke sekolah nanti. Berbeda dengan aku yang sampai sekarang belum tau harus melanjutkan kuliah kemana. Meskipun Sani terlihat beruntung karena sudah tenang dan tidak usah susah payah daftar sana-sini ke sekolah, tetapi dia sudah tidak bersama orang tuanya. Beruntungnya Pak Yanto dan Bu Via adalah orang yang baik jadi mereka menjamin masa depan Kak Citra dan Sani.

Ketika bertemu dengan Pak Yanto dan Bu Via, aku berpikir akan masuk ke kandang macan, tetapi mereka menyambutku dengan sopan dan bahagia. Awalnya Kak Citra menceritakan semua kejadian di desa kepada mereka, tetapi mereka menrespons penjelasan Kak Citra dengan baik dan tetap menasihatiku jika itu adalah hal yang tidak baik karena tidak izin kepada orangtua, untung saja aku selamat di jalan, jika tidak, ah sekarang aku tidak ada dirumah besar ini.

Seminggu ke depan Kak Citra akan menjalani sidang skripsinya, jadi dia tidak akan bisa menemaniku mencari informasi sekolah untuk aku kuliah nanti. Akan tetapi, Sani menawarkan diri untuk membantuku mencari sekolah yang menawarkan beasiswa melalui jejaring online. Meskipun online, aku tetap harus ditemani karena aku tidak tahu-menahu tentang apa yang ada di Jakarta. Aku bercerita kepada Sani tentang keinginanku menjadi chef, Sani sangat mendukungku ketika mendengarnya. Akhirnya kami seharian mencari informasi secara online lewat handphone Sani.

Bu Via dan Pak Yanto menawarkan aku untuk kuliah di tempat anak temannya sekolah, mereka akan membiayai aku masuk sekolah, tetapi tidak sampai akhir karena biaya kuliah untuk menjadi chef tidak murah. Jika mau di sana, nanti di pertengahan kuliah, aku disuruh mencari beasiswa, aku juga sadar dan jika aku mau menerima penawaran mereka, aku akan langsung mencari beasiswa. Akan tetapi, aku ingin mencari sekolah dan beasiswa sendiri supaya aku tidak merepotkan banyak orang karena Pak Yanto dan Bu Via sudah meringankan beban aku dengan memberi tempat tinggal dan makan sehari-hari.

 Tidak terasa aku dan Sani sudah mencari informasi online tentang sekolah sampe larut malam, tetapi hasilnya nihil. Dengan segala kegiatan hari ini, aku hanya fokus mencari informasi meskipun diselingi makan, shalat dan membantu Bi Surti membereskan rumah karena Ibu dan bapak selalu mengajarkan aku jika kita ada di rumah orang lain apalagi sampai menginap, kita tidak boleh merasa sebagai raja, harus saling membantu apalagi membereskan rumah.

Aku tidur bersama Sani, sekitar jam 10 malam Kak Citra baru pulang dan langsung menemuiku dan menanyakan kabar tentang sekolahnya. Aku dan Sani menceritakan semuanya kepada Kak Citra. “Ya sudah minggu depan kakak antar kamu ke tempatnya langsung aja, waktu pendaftaran untuk kuliah masih sampe bulan depan kan? Selagi kakak sibuk menyusun skripsi dan sidang, kamu dan Sani tetap mencari informasinya ya. Sekarang waktunya tidur, sudah malam, kakak ke kamar dulu ya”,ucap Kak Citra sambil menutup pintu dan mematikan lampu kamar.

***

Hari ini hari senin, seminggu kemarin Kak Citra sudah sibuk kuliah sampai hari minggu saja dia baru pulang jam 11 malam, tetapi perjuangan Kak Citra tidak sia-sia, dia lulus sidang dan tinggal menunggu informasi selanjutnya tentang wisuda. Hari ini juga Kak Citra akan menemaniku mencari beasiswa Chef. Sekolah pertama yang aku datangi adalah sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumah Pak Yanto dan Bu Via, hanya perlu naik angkot dua kali saja. Nama sekolahnya adalah Jakarta Culinary Center, menurut informasi di internet kemarin, sekolah itu sedang membuka program beasiswa dari pendaftar dua ribu peserta, yang diterima hanya lima orang. Dan Kak Citra berhasil mendaftarkanku untuk mengikuti seleksi lusa besok, hari Rabu. Kami tadi mengantri selama lima jam untuk mengurus formulir pendaftarannya, untung saja aku dapat formulirnya karena aku lihat ada seorang perempuan yang kehabisan formulir pendaftaran jadi dia tidak bisa ikut seleksi. Awalnya aku tidak yakin akan lolos seleksi karena dari sekian banyak peserta hanya lima orang yang bisa mendapatkan beasiswa penuh. Tetapi Kak Citra terus menyemangatiku dan meyakinkanku bahwa aku bisa mendapatkan beasiswa meskipun aku merasa mustahil.

Hari ini aku hanya mendaftarkan diri saja dengan mengisi formulir sesuai ketentuan yang sudah ada. Awalnya, kita akan pergi ke sekolah kedua, tetapi tiba-tiba butiran air yang banyak mengguyur ibu kota. Aku dan Kak Citra terjebak di toko makanan dekat sekolah tadi. Kita terjebak hujan selama tiga jam.

Aku dan Kak Citra memberi kabar kepada Sani dirumah jika kita akan pulang telat karena terjebak hujan. Kemudian Sani memberitahu Pak Yanto dan Bu Via jika aku dan Kak Citra tidak bisa pulang tepat waktu. Tidak disangka, ternyata Pak Yanto dan Bu Via pun belum pulang ke rumah dan mereka pulang melewati jalan yang aku lewati juga. Jadi, setelah kita menunggu sekitar setengah jam, Pak Yanto dan Bu Via menjemput aku dan Kak Citra untuk pulang bersama.

Sesampainya dirumah, setelah semuanya sudah bersih dan siap-siap untuk makan malam, di meja makan aku menceritakan kepada semuanya tentang kejadian tadi. Sani, Pak Yanto, Bu Via, bahkan Bi Surti pun ikut senang mendengarnya dan memberi aku semangat untuk terus maju. “Kamu harus beritahukan kabar baik ini kepada orangtuamu di desa, Tari”, ucap Bu Via sambil memperlihatkan lekukan bibir yang lebar. “Sejak aku sampai di Jakarta, aku sama sekali belum menyalakan handphoneku, bu”, ucapku sambil melihat wajah semuanya. Mendengar kalimat yang aku ucapkan, membuat Pak Yanto menegurku dan memberitahu kalau itu adalah hal yang tidak baik. Akan tetapi, aku meyakinkan semuanya, jika bapak dan ibu di desa tahu kalau aku ada di kota, pasti mereka akan kecewa dengan sikapku. Akhirnya semuanya mengerti dengan apa yang aku jelaskan.

***

Hari Rabu, aku dan Kak Citra datang lagi ke Jakarta Culinary Center untuk tes tulis, seperti biasa Ka Citra sangat setia menemaniku. Setelah selesai tes tulis, tes selanjutnya adalah tes praktek yang dilaksanakan tiga puluh orang dalam setiap ruangan untuk memasak sesuatu yang kita bisa. Makanan yang enak dan menarik perhatian juri akan dianggap lolos ke seleksi berikutnya. Dan akhirnya tes hari ini bisa aku lewati dengan lancar.

Pengumuman untuk tes hari ini akan diumumkan besok pagi, peserta yang lolos hanya lima puluh orang dari dua ribu peserta karena sekolah ini adalah sekolah terbaik di Jakarta sehingga persaingannya sangat ketat. Rasanya aku tidak akan bisa lolos ke seleksi berikutnya karena perbandingan siswa yang daftar dan siswa yang lolos seleksi tahap pertama sangat jauh sekali. Panitia mengumumkan jika ada yang lolos seleksi tahap pertama, minggu depan akan ada seleksi tahap kedua, seleksi ini berupa praktek memasak lagi tetapi nanti bahan-bahan makanannya akan ditentukan mendadak dan jika aku ingin lolos, aku harus bisa mengolah bahan makanan itu dengan waktu dua jam.

***

Keesekokan harinya aku dan Kak Citra datang lagi kesana, dan ternyata namaku tertulis diantara lima puluh orang yang lolos seleksi tahap pertama. Kak Citra langsung memelukku “Kali ini adalah pertempuran yang sebenarnya”, ucap Kak Citra menaruh harapan kepadaku. “Aku yakin aku bisa masuk lima terbesar diantara lima puluh orang yang lolos di tahap pertama, aku percaya ini adalah jalanku menuju Roma yang sesungguhnya”, ucapku optimis.

Sesampainya dirumah, aku selalu memberitahu kejadian yang seharian ini aku alami kepada semua orang yang ada di rumah. Rasanya aku ingin memberitahu ibu dan bapak di desa, tetapi itu tidak mungkin karena Nia dan Ita memberi kabar kepadaku jika bapak dan ibu tidak menanyakanku lagi, mereka sedang sibuk di sawah mengurus hasil panennya. Saat aku dirumahpun aku sering dianggap ada dan tidak ada karena mungkin ibu dan bapak sudah malas mendengarkan mauku tentang sekolah ke kota.

***

Keesokan harinya, aku akan menjalani tes lagi, saat akan mulai tes, panitia menyuruh lima puluh peserta yang ada dalam ruangan untuk membuka handphonenya sampai selesai tes dan masuk kedalam suatu website khusus yang berisi macam-macam bahan yang harus digunakan dan di website itu ada beberapa soal yang harus kerjakan, jadi aku harus fokus memasak dan mengisi soal itu.

Saat itu aku sangat takut, perasaanku tidak karuan karena dari kemarin aku tidak menyalakan handphoneku, aku yakin ibu pasti meneleponku dari kemarin. Dan ketika aku menyalakan handphone, terlihat notifikasi sepuluh kali panggilan tidak terangkat, dan aku yakin pasti ibu akan meneleponku lagi jadi aku harus berusaha untuk  fokus dalam tes ini. Meskipun ibu tidak telalu khawatir karena aku tidak ada rumah sudah dua minggu, tetapi ibu dan bapak pasti merasa cemas juga karena aku pergi selama ini.

Ketika mulai memasak, handphoneku terus berbunyi karena ibu menelepon, jika aku angkat telepon itu aku pasti akan kehilangan waktu untuk memasak. Sampai akhir aku harus menjalankan tes ini ditemani handphoneku yang terus bergetar karena aku silent. Seleksi hari ini sangatlah berat bagiku karena aku mengabaikan telepon dari ibu dan terus memasak dengan pikiran kacau. Semua ini membuatku menjadi pesimis untuk mendapatkan posisi lima besar.

Akhirnya tes praktik terakhir selesai, saat keluar ruangan aku langsung memeluk Kak Citra dengan meneteskan air mata. Lalu aku ceritakan semuanya kepada Kak Citra “Kamu udah berusaha sebisa kamu, untuk hasil serahkan saja pada Allah karena jalan menuju Roma itu sangat banyak Ri, tidak hanya mengikuti tes beasiswa disini saja”,ucap Kak Citra. Kak Citra juga memberitahuku, jika ibu dan bapak sudah tau kepergianku ke kota karena Nia dan Ita sudah kehabisan alasan untuk menutupi kebohongan ini. Perasaanku semakin hancur seperti kaca yang pecah. Kak Citra terus memberikanku semangat sampai akhirnya aku bisa melewati hari ini meskipun terasa berat sekali, apalagi jika tidak ada Kak Citra.

Di akhir acara, panitia beasiswa Jakarta Culinary Center memberitahu jika peserta yang lulus seleksi akan menerima email minggu depan dari ketua pelaksana program beasiswa ini. Tidak lupa saat pulang ke rumah Pak Yanto dan Bu Via, aku selalu menceritakan semua yang terjadi seharian ini. Aku ceritakan semuanya kepada anggota rumah dan semuanya selalu memberikan respons positif sampai tak lupa menyemangati dan mendoakan aku untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Seminggu sudah kulalui, pada malam ini aku memberanikan diri menelepon ibu tetapi, tetapi teleponnya tidak diangkat. Aku sudah mencoba sampai lima kali pun teleponnya masih belum tersambung. Aku pikir mungkin ibu dan bapak sedang sibuk di desa. Akhirnya aku hanya berdoa agar besok adalah hari milikku. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan apakah email yang berisi kata “selamat anda lolos seleksi” akan aku terima atau tidak. Sampai pagi pun aku masih tidak merasa ngantuk, meskipun aku hanya tidur tiga jam. 

***

Saat pagi hari, cahaya mentari masuk ke kamarku disertai dengan hangatnya pancaran itu, suara ayam pun bersautan memanggilku. Aku berharap suasana yang cerah ini akan mengantarkanku ke kebahagiaan yang kunantikan.

Sampai pagi harinya sekitar pukul jam sepuluh aku tidak mendapatkan email dari siapapun. Rasanya usahaku pergi ke kota ini sia-sia. Ketika aku sedang membantu membereskan rumah bersama Sani dan Bi Surti, “Tari cepat kesini”, ucap Sani. Aku langsung menghampiri Sani “Ada apa San? Handphoneku kenapa?”, tanyaku karena Sani sedang melihat handphoneku. “Lihat ini Ri”, ucap Sani sambil memberikan handphoneku. Dan ternyata email yang aku tunggu-tunggu akhirnya aku dapatkan. Rasanya hari ini adalah hari yang bahagia untukku. Aku langsung mengirim pesan kepada ibu jika aku mendapatkan beasiswa di sekolah masak, tetapi ibu masih belum membalas pesanku.

Saat sore hari ketika Bu Via dan Pak Yanto pulang kerja, aku langsung memberitahu berita bahagia ini kepada mereka. Mereka langsung memelukku dengan pelukan hangat. Semuanya sangat senang sekali. Akan tetapi, Kak Citra sampai sore ini belum terlihat batang hidungnya. Aku dan Sani menunggu Kak Citra di halaman rumah. Beberapa menit kemudian Kak Citra terlihat dari sela-sela pagar rumah. Belum juga Kak Citra turun dari kuda besinya, aku dan Sani langsung menghampiri Kak Citra dan langsung memeluknya. Aku menceritakan semuanya kepada Kak Citra.

Saat makan malam, semuanya masih merasakan kesenangan yang luar biasa sampai Kak Citra besok langsung mengajakku pulang ke desa untuk memberitahu ibu dan bapak. Tanpa basa-basi aku langsung menyutujui ajakan Kak Citra. “Aku ingin ikut kak”, ucap Sani yang membuat kita semua terkejut karena teriakannya. “Kamu ya, selalu saja mengagetkan semuanya dengan suaramu itu”, ucap Kak Citra sambil senyum-senyum. “Ya maaf kak, boleh kan aku ikut?”, ucap Sani dengan nada membujuk. Awalnya Kak Citra iseng kepada Sani dengan tidak menyetujuinya ikut ke desa, tetapi Sani terus saja memohon untuk ikut dan akhirnya Sani diizinkan ikut ke desa. Perdebatan yang dibumbui canda tawa itu membuat hari ini semakin sempurna. Akan tetapi, dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat rindu bapak dan ibu di desa. Ya sudahlah semuanya akan tuntas besok. Aku akan meminta maaf atas kebohonganku kepada bapak dan ibu selama ini. Besok, aku, Kak Citra, dan Sani akan pulang ke desa menggunakan bus umum.  

***

Hari yang di tunggu untuk menemui surgaku, dengan cepat bersiap aku langsung pulang ke desa diantar Kak Citra dan Sani. Saat di rumah “Assalamualaikum pak, bu”, ucapku sambil mengetuk pintu. “Waalaikumsalam”, ucap ibu sambil membukakan pintu. Terlihat jelas wajah terkejut dan bahagia, ibu langsung memelukku dan memberi ucapan selamat kepadaku. Bapak yang terlihat sedang memotong kayu di dekat dapur langsung berlari untuk memelukku. “Tari, bapak sama ibu minta maaf karena sudah melarangmu untuk melanjutkan sekolah ke kota, ketika kamu mengirim pesan kepada ibu dan bapak bahwa kamu sudah mendapat beasiswa, kita di rumah sangat senang sekali”, ucap bapak. “Kita tidak membalas pesanmu karena kita merasa tidak enak sudah melarangmu untuk menggapai cita-citamu, bapak dan ibu juga sudah membaca semua harapanmu yang ditulis di secarik kertas yang tertempel di belakang lemari saat ibu sedang membereskan kamarmu. Saat Kak Citra memberitahu ibu jika kamu akan pulang ke desa, ibu langsung membersihkan kamarmu dan tidak sengaja ibu melihat isi lemarimu. Lagipula bapak sama ibu sudah tahu kalau Kak Citra ini orang baik, Nia dan Ita sudah menjelaskan semuanya kepada ibu dan bapak, jadi kami membiarkan kamu untuk tinggal bersama Kak Citra,” ucap ibu.

Melihat suasana ini Kak Citra baru mulai bicara “Iya Ri, kakak sudah titip pesan kepada Nia untuk memberitahu ibu kalau Tari di kota akan aman bersama kakak”. Suasana menjadi haru biru karena kedatangan Nia dan Ita yang langsung memelukku dari belakang, ditambah Sani yang ikut memelukku. Aku merasa hari ini sangat bahagia, hari bahagia keduaku setelah pengumuman beasiswa itu. Hari yang merupakan awal aku untuk memulai perjuangan yang baru.

Di rumah, aku menceritakan semuanya kepada ibu dan bapak, menceritakan semua kejadian yang terjadi kepadaku di kota, menceritakan Bu Via dan Pak Yanto yang sudah baik kepadaku. Sampai ibu menelepon mereka saat aku sedang menceritakan kebaikan mereka. Ibu sangat berterimakasih kepada mereka karena sudah menjagaku dan menjadi orangtua keduaku di kota yang selalu mendukung keputusan yang aku ambil. Setelah aku bercerita sepanjang sungai nil, kita semua melanjutkan kebersamaan dengan makan malam. Semalaman itu tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah dan keluarga serta teman-temanku yang selalu mendukungku sampai saat ini. Soal Kak Citra dan Nia, mereka akan menginap dirumahku selama seminggu. Nanti aku dan mereka akan balik lagi ke kota untuk kuliah di sana. Dan mulai minggu depan, itu adalah hariku untuk bertempur dengan dunia yang sebenarnya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun