Mohon tunggu...
Ronaldo Tengker
Ronaldo Tengker Mohon Tunggu... Penulis - Writer

The Author of: The Unconditional Love (2012), Beautiful Exchange (2013), Everlasting Love (2015), FriendShape (2015), The One I Love (2016), Romeo and Julio (2017), The Unconditional Love 2 (2021), You Only Love Once (soon)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Let Me Be Your Miracle (Cerpen Natal)

24 Desember 2019   07:53 Diperbarui: 24 Desember 2019   07:53 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah kamu akan tetap merasa bersyukur jika hidupmu terasa berat dan tak ada jalan keluar?

Seorang gadis berusia 13 tahun membaca secarik kertas yang dia temukan pada saat menyapu halaman Panti Asuhan. Dia mengangkat alisnya, meletakkan sapunya di atas lantai, berusaha memikirkan kata-kata yang baru saja dibacanya.

Terlalu berat bagi seorang gadis belia untuk memikirkan kata-kata seperti itu. Dimasukkannya secarik kertas itu di dalam saku daster yang terlihat kebesaran, daster yang seharusnya dikenakan oleh gadis 5 tahun di atasnya.

"Snow!" panggil seseorang dari dalam rumah Panti Asuhan itu.

"Iya sebentar, Bu." Snow pun segera membereskan sapunya dan berlari masuk ke dalam bangunan yang sudah tua namun masih terawat itu. Dia sudah hapal dengan denah Panti Asuhan yang ditempatinya selama 12 tahun itu. Snow sewaktu berusia satu tahun dulu ditemukan warga sekitar Desa karena orangtuanya meninggal karena Kebakaran melalap habis rumahnya.

Tak ada sanak saudara yang mau mengurus Snow, sehingga warga desa sekitar memutuskan untuk menaruhnya di dalam panti asuhan desa itu, satu-satunya panti asuhan yang menampung 20 anak yang sebagian besar sudah tidak memiliki keluarga.

"Snow, apa sudah selesai menyapunya, Nak?" ujar Bu Santi, Ibu Kepala Panti Asuhan. Bagi Snow Bu Santi adalah orang yang baik, karena dia berbicara dengan lemah lembut padanya. Snow mengangguk dengan cepat. "Apa kamu capek, Snow?" Bu Santi mengusap pundaknya dengan pelan.

Snow menggeleng. "Saya akan mengembalikan botol-botol susu ya, Bu? Sudah banyak botol-botol itu menumpuk." Snow dengan riang mengamati wajah Bu Santi dengan polos.

"Oh, iya." Bu Santi teringat bahwa ini adalah akhir bulan, dan dia harus membayar persediaan susu, agar anak-anak panti memiliki gizi yang cukup. "Ini, kamu bayar ya di Pak Sendy, untuk persediaan bulan depan." Bu Santi memberi uang kepada Snow dengan nominal yang cukup besar.

Di panti itu hanya Snow yang tertua. Jadi, Bu Santi hanya memercayakan hal persediaan susu dan persediaan makanan kepada Snow.

"Terima kasih, Bu." Snow segera pamit dan mendorong sepedanya yang usang itu, "Saya pamit sebentar ya, Bu." Snow adalah anak yang baik, Bu Santi tahu itu, dia beruntung bisa menemukan Snow. Bu Santi mengamati Snow yang sudah menghilang di balik pepohonan, di luar panti.

Snow mengayuh sepedanya, merasakan udara pedesaan itu yang masih terasa sejuk, meski di siang hari atau musim kemarau sekalipun.

Rumah Pak Sendy hanya terpaut lima anak sungai saja dari panti asuhan. Snow memberhentikan sepedanya menggunakan kakinya, tak ada rem yang tersematkan di sepeda usangnya. Snow memarkirkan sepedanya diapit diantara dua pohon di depan rumah Pak Sendy.

"Permisi," Snow memanjangkan lehernya, melihat pekarangan rumah Pak Sendy, mencari-cari keberadaan Pak Sendy. Snow mengulanginya lagi, "Permisi," kali ini lebih lantang.

"Iya," terdengar suara seorang lelaki dari belik rumah, terdengar samar, tetapi Snow yakin kalau itu bukanlah suara Pak Sendy. Lelaki itu setengah berlari menyahuti suara Snow. "Hei, Snow." sapa lelaki itu.

Raindy. Snow seakan mengeja nama lelaki empat tahun di atasnya.

"Iya." Snow hanya menyerahkan uang yang seperti diperintahkan Bu Santi. "Ini uang untuk persediaan di panti kami, sebulan ke depan, ya, Kak Rain." Senyum milik Snow mengiringi kalimatnya.

"Oh, Baik, nanti aku sampaikan ke Ayah, besok pagi akan aku antar persediaannya ya." Raindy mengambil uang yang diserahkan Snow dengan sopan. "Terima kasih, Snow." Rain mengibarkan uang di tangannya.

Snow hanya mengangguk dan segera pergi dari tempat itu.

Sepeda Snow tak cepat, namun tak lambat, dia selalu terpukau dengan pemandangan bendungan yang berada di desanya, terlihat besar dan menampung banyak air. Di desa itu hanya bendungan itu yang terasa seperti obyek wisata di desanya.

Di atas bebatuan, di dekat sungai yang tak jauh letaknya dari bendungan itu, Snow duduk. Batu yang terasa basah dan memiliki aroma lumut yang sangat kuat. Pandangan Snow terlempar ke arah bendungan yang tak jauh dari sungai itu, Bandungan yang megah itu sudah berdiri seperempat abad, demikian cerita Bu Santi kepada Snow.

Sejenak dia melupakan tugas dan kejenuhannya di dalam panti asuhan. Namun, Snow tidak terlena dengan keasyikannnya memandangi bendungan itu, dia segera menyudahi dan segera beranjak dari tempatnya. Banyak anak-anak sebaya dengannya sedang bermain-main di sungai. Snow terkekeh ketika melihat beberapa anak yang terlihat bahagia walau hanya bermain air sungai. Tapi, dia tidak bisa sebebas anak-anak itu. Dia harus melanjutkan tugasnya di panti asuhan, masih ada beberapa gunung baju yang menunggu untuk disetrika olehnya.

Snow menghembuskan nafasnya, ketika mengingat setrikaan baju anak-anak panti yang sudah menggunung itu, dia segera mengayuh sepedanya dengan cepat kembali ke panti.

***

Pagi yang dingin segera menyergap masuk ke dalam sela-sela jaket milik seorang laki-laki yang sedang memasukkan beberapa botol susu ke dalam keranjang, yang kemudian mengikatnya di atas sepedanya. Rain bersiap mengantarkannya ke panti asuhan sesuai pesan Snow kemarin.

"Nanti, sesampainya di sana kamu ambil botol-botol yang kosong, ya Nak." ujar Pak Sendy. 

"Iya, Yah." Rain tertawa kecil, seakan-akan dia adalah anak yang baru melakukan hal ini.

Rain dan ayahnya memilik peternakan sapi terbesar di desanya, sehingga orang-orang desa yang memerlukan susu ataupun daging sapi, selalu mencari mereka. Hanya Rain dan ayahnya yang mengerjakan semuanya sendiri, mulai dari memberi makan sapi, memeras susu, membersihkan kandang. Rain kehilangan ibunya bertahun-tahun yang lalu, karena sakit keras. Maka dari itu Rain berusaha menyibukkan diri agar kesedihan tidak memeluk tubuhnya dan membuatnya merasa orang paling bersalah.

"Ayah, nanti sepulang dari mengantar susu ke panti, aku mau mampir ke bendungan, ya?" Rain membicarakan bendungan, dan ayahnya yang sedang meneguk kopi itu mengangguk perlahan.

"Tapi, kamu segera pulang ya, kandang sapi ada yang belum dibersihkan, pagar kandang juga sedikit jebol, kamu harus perbaiki, karena sebentar lagi masuk musim hujan." Pak Sendy, meletakkan segelas kopi yang tinggal seperempat gelas, atau lebih tepatnya hanya tinggal ampas kopinya saja.

Rain memakan tempe yang dia goreng kering untuk mengganjal perutnya yang kosong, minta diisi. "Baik, Yah." Rain selalu menuruti kata-kata ayahnya, karena hanya ayahnya yang tersisa di keluarganya. Dia tak ingin ayahnya merasa kelelahan mengurus kandang sapi sendirian.

"Ya sudah, kamu segera kirim botol susu itu, nanti jadi dingin, tidak enak untuk dikonsumsi." Pak Sendy selalu mengatakan kata-kata itu berulang, ketika Rain hendak mengantarkan botol-botol susu kepada pelanggan

"Mereka kan punya kompor, Yah." Rain segera mencuci tangannya yang kotor terkena remahan dan minyak dari tempe. "Aku berangkat dulu ya, Yah." Rain pamit kepada ayahnya yang kini hendak mencuci gelas kopinya.

"Hati-hati ya, Nak." tutur ayahnya, terselipkan rasa yang mengharu karena dia melihat anaknya kini telah tumbuh dewasa.

Rain menutup pagarnya dan menatap ayahnya sudah masuk ke dalam rumah.

Dia harus bergegas, karena ada botol-botol susu yang harus diantarkannya kepada pelanggannya, ada yang pelanggan tetap dan ada pelanggan yang baru.

Sepedanya melaju sedikit kencang, sehingga botol-botol kaca yang berisi susu hangat itu saling berdenting, bertumbukan satu sama lainnya, bunyi yang sering didengar oleh Rain setiap hari, saat dia mengantarkan susu hangat ke rumah-rumah pelanggannya. Dia berhenti di beberapa rumah dan menaruh botol susu di depan pintu pelanggannya, memungut botol kosong, demikian seterusnya, hingga dia mencapai panti asuhan.

Dia terheran-heran kalau Snow sudah bangun lebih awal darinya, dia sedang menyapu halaman panti asuhan yang penuh dengan daun-daun yang berguguran.

"Kamu bangun lebih awal, atau baru saja bangun?"

"Eh, Kak Rain, mengagetkanku saja." Snow terasa jantungan ketika suara Rain memecah keheningan, mengusik lamunannya.

Rain keheranan, dia datang dalam senyap, lalu kenapa bisa mengagetkan Snow. "Untuk apa kamu kaget? Memangnya aku ini monster yang mengintaimu dari dalam semak-semak, lalu menerkammu ketika kamu merasa lengah?" Rain mengambil beberapa botol, hanya dua yang sanggup dia raih, tangannya yang kurus kecil itu mengangkat dua botol susu yang besar dan berat, "Masih hangat, dan segar. Besok aku akan kembali lagi untuk mengantarkan dua botol lainnya." Rain membawanya masuk, permisi kepada Snow, dengan suara yang lirih tanpa membangunkan seisi panti.

"Terima kasih." Snow hanya membalasnya singkat dan sekadarnya saja.

Rain mengamatinya, tersenyum singkat. 

"Kenapa kakak tersenyum seperti itu?" Snow terheran-heran dengan mimik muka Rain barusan. 

"Tidak, aku hanya ingin memiliki adik perempuan sepertimu, tapi sepertinya mustahil." Rain menaiki sepedanya dan segera pamit kepada Snow.

Snow hanya mengangkat bahunya ringan, dan melanjutkan menyapu dedaunan yang sudah berguguran tertiup angin. Sebentar lagi akan memasuki musim penghujan.

Snow tahu bahwa pekerjaannya akan lebih berat lagi ketika musim penghujan tiba. Dia akan selalu mengepel lantai yang kotor dan akan kesulitan menjemur pakaian anak-anak panti.

Apakah ada keajaiban? batin Snow dalam hati, mengamati langit yang kini berawan putih, menyembunyikan warna birunya langit.

***

Pekerjaan yang melelahkan harus membersihkan kandang seperti ini, setiap harinya. Rain menggosok pagar kandang sapi yang tertutup dengan lumpur bercampur dengan kotoran sapi. Sesekali dia menyeka wajahnya yang terlihat penuh dengan keringat. Semua dilakukannya sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. 

"Sapi," dia mengajak berbicara hewan di sebelahnya, seolah-olah sapi-sapi itu bisa mengerti bahasa manusia. "seandainya, aku memiliki adik, pasti pekerjaanku tak akan berat seperti ini ya?" Rain menatap wajah sapi di sebelahnya, dia sadar bahwa sapi tak akan sanggup mengabulkan permintannya, alih-alih mengabulkan, berbicara saja sapi itu tak sanggup, dia kemudian menepuk-nepuknya perlahan lalu kembali kepada pekerjaannya. 

Mungkin akan terasa lebih berat lagi jika hujan akan turun, entah esok hari atau beberapa hari kedepan.

Rain mendengus kesal. "Apa ada keajaiban ya, untukku?" Matanya mengamati langit yang berawan putih. Awan yang sama menaungi Rain dan Snow, di pedesaan itu.

***

Rain mengayuh sepedanya dengan cepat pagi ini, karena hujan lebat turun. Tak bisa menghindar Rain harus mengantarkan botol-botol susu yang sudah mendingin, semua rumah pelanggannya sudah dikirim, namun tinggal rumah panti asuhan tempat Snow berada belum mendapatkan susu segar darinya.

Seluruh penduduk desa memilih untuk memasuki rumahnya daripada harus berada di luar ataupun di teras. Rain melihat beberapa rumah lagi dia bisa mencapai panti asuhan itu, sungai-sungai meluap, dan sepertinya hujan ini akan lama.

Hanya beberapa kayuh saja Rain sudah sampai di panti asuhan, tempat Snow berada.

"Permisi..." teriaknya di tengah hujan deras, namun suaranya ditelan dengan hujan yang turun lebih lebat lagi, pandangan Rain terlihat kabur, hujan menghalangi pandangannya. "Snow!" Teriakan Rain hanya terdengar seperti bisikan di tengah hujan.

Tak ada yang menjawabnya. Teriakannya hanya dijawab oleh suara kentongan bambu yang cukup keras dari kejauhan. Rain semakin bingung, apa yang sedang terjadi, pilihannya hanya satu, melompati pagar dan segera menaruh botol susu itu dan segera pergi dari tempat itu, karena sepertinya hujan tak akan berhenti dalam beberapa menit mendatang.

"Rain?" Snow membuka pintu depan dan melihat Rain basah kuyup sedang menunggu seseorang untuk membukakan pagar dan menyerahkan dua botol susu darinya.

Suara kentongan bambu itu terdengar sangat kencang, tidak sekencang teriakan Rain tadi. Snow membawa payung dan segera membukakan pagar untuk Rain. Tak ada lima detik payung Snow sudah menaungi Rain yang sudah terlanjur basah kuyup.

"Maaf, Rain aku tak mendengar teriakanmu tadi, lebih baik kamu masuk dan menunggu hujan reda." Snow terlihat cemas dengan keberadaan Rain yang sudah bercampur dengan lumpur.

"Snow, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di desa ini, kentongan bambu itu terus berbunyi, tak biasa..." Rain menggigil kedinginan sambil melemparkan pandangannya keluar, melihati sekeliling desa itu. 

Snow segera berlari menuju arah jalan tanpa payung, melihat apa yang sedang terjadi. "RAIN!!!" Snow segera kembali lagi kepada Rain. "Bendungan jebol... apa yang harus kita lakukan?" Para pria penduduk desa sedang berlarian memanggil orang-orang yang masih tertidur.

Rain tak percaya, dia melihat Pak Kusnandar berlari menghampirinya.

"BENDUNGAN JEBOL!!!" Teriaknya seperti kehabisan nafas, hujan seakan-akan memberinya kesempatan untuk berteriak. Beberapa orang sudah tergelagap bangun.

Rain dan Snow seperti kehabisan darah, mereka melihat gelombang air dalam ukuran yang besar menyapu sekelilingnya.

"Snow, cari tempat yang tinggi untuk menyelamatkan diri!"

"Tapi, aku harus memberitahu Bu Santi dan yang lainnya, Rain."

"Tidak ada waktu lagi, Rain. Sebaiknya kita segera memanjat pohon besar itu, aku akan mengambil botol-botol susuku." Rain dengan secepat kemampuannya mengambil tas yang berisikan beberapa botol susu berukuran besar yang masih tersisa, kemudian menyeret Snow ke arah pohon besar yang tak jauh dari panti asuhan. Rain menggendong Snow untuk naik terlebih dahulu, dan menyerahkan tas yang berisi botol-botol susu kepada Snow.

Dengan wajah yang sedih Snow segera menggapai tangan Rain yang hendak menggapainya, air dalam jumlah banyak, seperti Tsunami kecil menyapu beberapa rumah penduduk, dan kini gelombang datang ke arahnya. Hujan sepertinya masih tak lelah-lelahnya untuk turun membasahi Bumi.

"Rain...." Snow berusaha menggapai tangan Rain, tak bisa. Snow menangis melihat Rain yang tak bisa digapainya.

Rain kemudian berlari mundur, "Snow minggir!" Rain mengambil ancang-ancang untuk melompat, tangannya yang kurus kering itu berhasil meraih gagang pohon, dia bergelantungan, banjir besar yang dihasilkan dari bendungan yang jebol itu berjalan ke arahnya, semakin mendekat. Snow membantu Rain untuk menaiki dahan yang lebih kuat.

Ketika dia sudah berhasil menarik Rain ke atas pohon, pandangannya terlempar ke arah panti asuhannya, terlihat Bu Santi yang terlihat baru bangun tidur, melihat Snow yang sudah menaiki pohon, dia kebingungan, ketika melihat apa yang terjadi, beberapa detik kemudian, air bah itu menyapu panti asuhannya, demikian juga Bu Santi dan seluruh anggota panti asuhan tanpa kenal ampun. Snow tetap berpegang kepada pohon besar bersama dengan Rain. Dia menangis sekencang-kencangnya ketika melihat pandangan Bu Santi yang telah mengasuhnya, untuk terakhir kalinya. Di bawahnya air bah mengalir dengan derasnya, dan menerjang apapun yang di depannya.

"Ya Tuhan..." Rain dan Snow tertegun dengan musibah yang menimpa mereka, pagi itu. Seluruh desa menjadi sungai yang mengalir dengan deras. Kali ini harapan Rain adalah agar pohon yang mereka naiki sekarang tidak tumbang dan tetap kuat menahan, sepertinya harapan Snow juga sama.

***

 Hujan sudah berhenti beberapa jam yang lalu, namun banjir masih terus mengalir deras seperti air sungai. Snow yang kedinginan karena saat itu sudah menjelang sore hari. Mereka sudah berdiri di pohon besar itu hampir setengah hari. Rain yang berada di dahan lainnya tak tega melihat Snow, yang entah apa kini dirasakannya.

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kuperbuat, Rain." Snow menyeka air mata untuk kesekian kalinya, dia duduk dengan hati-hati di cabang pohon yang kuat. "Semua hilang sekarang, dan aku juga tidak tahu, apa kita akan ada yang menyelamatkan, atau tidak?" Snow sepertinya kehilangan harapan.

Rain tidak bisa mendatangi Snow dan menghiburnya dengan dekat karena dahan pohon yang mereka naiki terbilang cukup jauh.

"Aku percaya, meskipun kamu tidak percaya." Rain melihat ke arah lain, ke arah lumpur dan air bendungan yang jebol dan membanjiri desa mereka.

Snow heran dengan Rain, bagaimana bisa dia memiliki harapan di saat-saat seperti ini? 

"Tak ada jalan keluar Rain. Sampai kapan kita terjebak di atas pohon, tanpa makanan. Dan sepertinya semut-semut merah sudah mulai menaiki pohon ini." Snow menepuk-nepuk tangannya yang mengeroyok tangannya. Rain segera memikirkan cara agar mereka bisa terbebas dari semut-semut itu.

"Sepertinya kita harus pindah tempat..." Rain memberikan ide yang membuat Snow langsung ingin bilang bahwa Rain tak waras, dari mana mereka bisa pindah dari pohon itu, karena tak ada tempat untuk berlindung lagi. "Arah kananmu, ada kasur milik warga desa yang hanyut oleh air. Kita harus segera pindah, kamu bisa ambil dahan di sampingmu?"

Snow terkagum-kagum dengan ide gila milik Rain.

"Kamu sudah tak waras? apa cukup satu kasur itu dengan kita berdua?"

"Kasur itu ada tripleknya, dan aku lihat cukup tebal, sepertinya akan cukup dan kuat menahan kita." Rain memberi alasan, "Setidaknya kasur itu tidak ada semutnya." Karena terlalu lama berbasa-basi Rain segera mematahkan cabang pohon yang cuku besar, seukuran lengan kurusnya, untuk menarik kasur itu mendekat ke pohon itu. Dengan cara yang membuat Snow menggelengkan kepalanya, Rain berhasil menarik kasur itu mendekat kearah pohon di mana mereka berada.

Kaki kurus Rain melompat dan mendarat dengan susah payah di atas kasur yang bergoyang-goyang di atas air banjir, menjadi tidak stabil karena berat badannya. Snow memejamkan mata, dia tidak ingin melihat Rain tercebur di air banjir lumpur.

"Benar kan? Tidak tenggelam. Aku sudah memperkirakannya, Snow." Rain membentangkan tangannya, bangga terhadap perhitungannya yang tepat. Mata Snow kemudian mengintip sedikit, lalu terbuka. "Melompatlah, aku akan menangkapmu!" Seru Rain, Snow yang semula ragu-ragu dengan kasur yang mengambang itu, kini dia percaya, sedikit kepercayaan timbul dalam hatinya.

Dia harus melompat, kalau tidak semut-semut itu akan menggigiti tubuhnya, Snow tak punya pilihan lagi selain melompat. "Ayolah, sebelum kasur ini semakin menjauh dari pohon!" Kasur yang terbawa arus itu sedikit semakin menjauh, wajah Rain terlihat cemas.

Snow mengambil ancang-ancang untuk melompat. Sedetik kemudian kakinya menginjak udara, dan beberapa detik kemudian kakinya sudah mendarat di atas kasur, kini kasur itu yang semula berat sebelah menjadi stabil dengan kehadiran Snow.

"Setidaknya kita bisa pergi dari pohon bersemut itu." Snow memandang pohon itu dengan bergidik, tak bisa membayangkan betapa banyaknya hewan yang bersarang di atas pohon itu. Kemudian pandangannya terlempar ke arah Panti asuhan yang kini hanya terlihat atapnya saja, tak ada tanda-tanda kehidupan. Snow kembali diselimuti rasa sedih. Dia duduk bersila dan mendekap kakinya.

Rain menjadi sedih ketika Snow menangis. Dia juga tidak tahu bagaimana nasib ayah dan sapi-sapinya.

"Kita tidak tahu akan dibawa kemana oleh arus ini." Snow terisak, semakin tenggelam dalam kesedihannya.

"Percayalah, Snow, kita masih memiliki harapan. Lihatlah, ada pelangi!" telunjuk Rain mengacung pada barisan pelangi yang indah. "Terkadang kita harus melewati badai yang hebat agar kita bisa melihat pelangi yang indah." Rain mengagumi pelangi yang dilihatnya. 

Warna indah yang dihasilkan pelangi terlihat juga oleh mata Snow. Semula air mata Snow mengalir, lalu kehadiran pelangi membuatnya sedikit bahagia.

"Baru kali ini aku melihat pelang, sebelumnya aku hanya mendengar tentang pelangi melalui cerita saja." Snow melihat warna pelangi yang membuatnya seperti tersihir.

Perut Snow kemudian berbunyi mengganggunya ketika melihat keindahan pelangi.

"Kamu laper?" Rain berusaha menerjemahkan bunyi perut milik Snow. Snow tertunduk, dia tidak tahu harus memakan apa, dari pagi dia belum makan sesuatu apapun.

"Ada 6 botol susu besar untuk kita bertahan hidup, sampai kita ditemukan oleh seseorang, entah siapa." Rain mengangkat dengan susah payah tas yang berisi enam botol susu besar. "Setidaknya ini yang diberikan Tuhan untuk kita syukuri, Snow."

Snow mengangguk, "Aku boleh minta satu gelas?"

"Jangankan satu gelas, aku akan berbagi enam botol ini denganmu. Merapatlah." Rain membuka botol susu itu, dan menuangkannya, dia memakai tutup botol sebagai pengganti gelas. Menyodorkannya kepada Snow. "Minumlah!"

Snow menerimanya dengan ragu, lalu dengan cepat dia mengambilnya, menikmati susu itu dengan perlahan, lalu setelah menghabiskan bagiannya, dia menyerahkan kembali kepada Rain tutup botol itu. "Terima kasih." kata-kata yang keluar dibarengi dengan senyuman Snow.

"Kita tak memiliki siapapun sekarang, Snow." Rain menuangkan susu bagiannya. Meminumnya, lalu menunggu jawaban Snow. "Kita juga tidak tahu apakah keluarga kita selamat dari banjir ini atau tidak." Rain berusaha memberikan Snow tentang kenyataan yang sekarang mereka hadapi.

"Aku takut, Rain, aku takut kalau hanya aku yang menghadapinya sendiri... Beberapa hari lagi Natal datang, aku tak bisa merayakannya." Snow menangis lagi untuk yang kesekian kalinya. Rain mendekatinya dan memeluknya.

"Kita bisa jadi saudara, kalau kamu mau? Aku bisa menjagamu, Snow. Aku juga tak memiliki siapapun saat ini. Kita bisa merayakan Natal bersama, Snow." Rain menenangkan Snow sementara kasur yang beralaskan triplek itu mengambang terus membawa mereka ke tempat yang mereka ketahui.

***

Malam sudah datang beberapa jam yang lalu, Snow merasa kedinginan, mendekap kedua kakinya. Rain meyakinkannya bahwa akan ada seseorang yang akan menolongnya, entah siapa itu.

"Maaf Snow aku tak bisa memberimu selimut, karena kita tidak memilikinya." Rain memandang sekeliling kasur yang mengambang itu, namun tak ada apa-apa, dia melihat ke sekeliling, kasur yang mengambang itu membawa mereka ke semak-semak yang semakin banyak. Sepertinya itu rawa-rawa. "Tuhan, tolong selamatkan kami, dari bahaya apapun." Demikian doa Rain, dia yang hanya memiliki pengharapan kecil.

Tak lama dari doanya, terdengar sayup-sayup suara seseorang yang berbicara. kemudian Rain melihat asap membumbung tinggi, dia menyibakkan semak-semak itu untuk mencari tahu, apa ada seseorang yang datang.

Rain menyibakkan semak dengan tangannya yang gemetaran, dia sudah mulai kelelahan.

"Tolong!!" teriak Rain, sambil mendekap Snow yang semakin menggigil kedinginan."Tolong!" dia melihat ada regu tim penyelamat mengarahkan senter ke arah mereka, dengan sigap, regu tim menolong mereka, membelah rawa-rawa itu dan membawa mereka ke tempat penampungan. "Kita selamat, Snow, kita selamat!" Rain mengguncang-guncang tubuh Snow, regu penyelamat kini menarik mereka dari atas untuk dibawanya ke daratan dan diberinya obat-obatan, makanan dan pakaian hangat.

"Halo, kita dari regu penyelamat. Desa kalian terkena longsor dan jebolnya bendungan, hanya beberapa orang yang selamat. Nama saya, Regina." wanita yang datang memeluk Rain dan Snow dan memberinya selimut tebal, agar mereka merasa hangat. "Sebutkan nama dan identitas kalian."

Rain dan Snow mengucapkan nama mereka secara bergantian. 

"Kita adalah adik kakak, Bu." ucap Rain sambil melihat Snow.

"Wah, kalian luar biasa, bisa saling melindungi dan bisa selamat dari banjir besar itu." Regina kemudian membawa mereka di tenda pengungsian, hanya terlihat segelintir orang, hanya 14 orang saja termasuk Snow dan Rain.

Snow tak bisa melihat adanya anak-anak panti asuhan. Tak ada yang selamat dari bencana itu.

Snow menunduk dan menitikkan air mata. Rain mengusap pundaknya.

"Setidaknya kamu memiliki aku sekarang, dan kita selamat. Itu adalah keajaiban yang luar biasa, Snow. Biarkan aku yang menjadi keajaibanmu." Rain hanya bisa menghibur Snow dengan kata-katanya.

"Nanti kita rayakan Natal bersama-sama ya, Kak?" Snow mulai membiasakan diri untuk memanggil Rain dengan sebutan kak.

"Tentu saja." Rain menyodorkan pakaian hangat yang diberikan oleh regu penyelamat. "Kita akan merayakan Natal bersama-sama." Rain memandang ke arah luar, dia tak bisa lagi melihat kasur yang membawa mereka, dia hanya bisa melihat bahwa masih ada harapan ketika kita mau berharap dan percaya kepada Tuhan.

Apakah kamu akan tetap merasa bersyukur jika hidupmu terasa berat dan tak ada jalan keluar?

Kini Snow bisa menjawabnya. "Aku bisa bersyukur karena Tuhan yang memeliharaku."

Selamat Hari Natal 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun