"Hati-hati ya, Nak." tutur ayahnya, terselipkan rasa yang mengharu karena dia melihat anaknya kini telah tumbuh dewasa.
Rain menutup pagarnya dan menatap ayahnya sudah masuk ke dalam rumah.
Dia harus bergegas, karena ada botol-botol susu yang harus diantarkannya kepada pelanggannya, ada yang pelanggan tetap dan ada pelanggan yang baru.
Sepedanya melaju sedikit kencang, sehingga botol-botol kaca yang berisi susu hangat itu saling berdenting, bertumbukan satu sama lainnya, bunyi yang sering didengar oleh Rain setiap hari, saat dia mengantarkan susu hangat ke rumah-rumah pelanggannya. Dia berhenti di beberapa rumah dan menaruh botol susu di depan pintu pelanggannya, memungut botol kosong, demikian seterusnya, hingga dia mencapai panti asuhan.
Dia terheran-heran kalau Snow sudah bangun lebih awal darinya, dia sedang menyapu halaman panti asuhan yang penuh dengan daun-daun yang berguguran.
"Kamu bangun lebih awal, atau baru saja bangun?"
"Eh, Kak Rain, mengagetkanku saja." Snow terasa jantungan ketika suara Rain memecah keheningan, mengusik lamunannya.
Rain keheranan, dia datang dalam senyap, lalu kenapa bisa mengagetkan Snow. "Untuk apa kamu kaget? Memangnya aku ini monster yang mengintaimu dari dalam semak-semak, lalu menerkammu ketika kamu merasa lengah?" Rain mengambil beberapa botol, hanya dua yang sanggup dia raih, tangannya yang kurus kecil itu mengangkat dua botol susu yang besar dan berat, "Masih hangat, dan segar. Besok aku akan kembali lagi untuk mengantarkan dua botol lainnya." Rain membawanya masuk, permisi kepada Snow, dengan suara yang lirih tanpa membangunkan seisi panti.
"Terima kasih." Snow hanya membalasnya singkat dan sekadarnya saja.
Rain mengamatinya, tersenyum singkat.Â
"Kenapa kakak tersenyum seperti itu?" Snow terheran-heran dengan mimik muka Rain barusan.Â