Lelaki itu melihat dirinya dihanyutkan oleh semilir angin dari arah bukit. Pandangannya tak lepas dari sinar bulan yang bergoyang dari permukaan air waduk Gajah Mungkur-bulan menjadi pecahan kecil-kecil . Suara satwa malam meniup lembut telinganya.Â
Dingin tidak lelah menebarkan kekejaman. Mbediding menguasai daerah itu tanpa pernah memberitahu; kondisi dingin ketika musim kemarau datang.Â
Sarung membebat tubuhnya untuk mengurangi dampak-hanya menyisakan lingkaran wajah. Sudah lama dirinya tidak mendapat jatah suasana malam di pedesaan. Keheningan yang menentramkan jiwa. Sebuah fragmen melintas dipikiran.
Hidupnya adalah permainan. Dan selama ini ia mampu menyelesaikannya.
Batas antara bajingan dengan alim adalah kelakuan. Beberapa sweeping yang dilakukan kelompoknya menguatkan pertanyaan tersebut.Â
Ketika mengobrak-abrik sebuah kawasan di Kartosuro, lelaki itu melihat beberapa rekannya mengantongi gawai yang ditinggal pengunjung yang kocar-kacir menyelamatkan diri. Hatinya resah. Inikah yang diperjuangkan?
"Pemerintah kalau tidak menindak kelompok itu negara bisa chaos",kata lelaki itu. "Negara harus hadir tanpa kompromi. Tindakan mereka sudah meresahkan"
"Ya memang", ujar kawannya
"Mereka mendapat panggung di kota ini. Kita memanen hasilnya, padahal kita tidak menanam?"
"Kita kurang peduli. Baru setelah kejadian panik,"
Pesanan telah dibungkus, "Man, aku pulang dulu. Mengko ndak bojoku ngomel"