Seekor cheetah tidak akan mampu berlari sekencang itu. Tapi buat lelaki itu, sebuah dorongan mampu menghasilkan kekuatan sedemikian dahsyatnya. Air mata ketakutan terus mengikuti dibelakang.
"Agiman! Operasi kita belum selesai. Kenapa lari!"
"Agiman!.. Agiman!"
Panggilan dari rekan-rekannya gagal menghentikan dahsyatnya tusukan wajah gadis kecil yang bersimbah air mata. Lelaki itu, yang dipanggil Agiman, semakin melebarkan jarak loncat. Tubuhnya bergetar, keringat mengucur deras berkilauan oleh kerlip bintang dilangit Tuhan....
Kejahatan telah dilakukan. Mereka bisa saja berkilah, walaupun dibungkus emas setebal lapisan bumi. Kejahatan tetaplah kejahatan. Padahal Tuhan tidak suka melihatnya umat-Nya berbuat kerusakan di bumi.
Kata Jihad telah menyihir seseorang jadi kumbang dengan sungut patah. Akibatnya, cara terbang serampangan karena tangkapan sinyal tak beraturan, acak-acakan mirip semak belukar pinggiran sungai.
***
Disuatu malam disebuah warung gudeg di kota Solo bagian selatan, lelaki itu bertemu kawannya yang dulu sama-sama bekerja di perusahaan mebel. Seperti kebiasaan dalam perjumpaan, menanyakan kabar tentang diri mereka.
Dunia mereka telah mengalami turbulensi. Kejayaan masing-masing telah mengikuti takdir-Nya. Fluktuasi pasar menjadi cerita suram atau mungkin ujian bagi kehidupan mereka.
Tangan lelaki itu sudah bertahun-tahun tidak memegang ampelas. Hidungnya tak membaui lagi cairan pernis. Kayu bersama bau khas yang biasanya menari-nari mengisi lubang hidung-berbentuk perabotan rumah tangga-telah diberangus malaise pasca kerusuhan '98.
Lelaki itu menjabat tangan kawannya. Bercerita panjang sambil menikmati suap demi suap nasi gudeg. Ragam masalah menjadi bahan obrolan hingga topik politik bersambung agama. Malam itu dibawah kerlip bintang, Ramadhan-hari ke delapan- telah mempertemukan mereka dalam kondisi datar. Tak ada gumpalan awan. Bersih licin bersinar bulan.