Haru biru menyeruak di kawasan padat penduduk. Bunyi perabotan pecah bercampur teriakan kepanikan. Orang berlarian menyelamatkan diri memanggul pertanyaan: Apa yang terjadi? Apa salah kami? Ketidaktahuan menjadi bumbu penyedap dalam setiap laku manusia.Â
Serpihan kaca berserakan. Apapun yang terpukul akan mengalami dampak. Benturan antara dua benda padat menghentak udara malam. Â Bayangan memantul cepat berubah posisi.Â
Gesekan alas kaki dengan bumi membuncah berirama panas. Kampung itu menyala. Takbir dipakai sebagai tudung untuk menancapkan tindakan mereka.
Lelaki itu merangsek terdepan dengan memainkan pentungan. Diseret melukisi tanah dengan garis kasar. Ujungnya berkilau bersimbah amok. Kelompoknya telah menjadi polisi tanpa legalisasi. Mereka terpasung "jihad".
Beringas, penuh nafsu merusak. Kata 'Hancurkan' menjadi selongsong peluru mengisi setiap kepala gagak. Kawasan utara kota Solo itu menjadi target sweeping.Â
Lelaki itu mengeluarkan jiwa GALI menggoreng huru-hara. Padahal ia mencoba meraih hidayah. Hidayah? Dengan memamerkan kepongahan? Benar-benar mabuk akan harapan. Puncak kebodohannya mendapat tempat-dilakukan berjamaah.
Sebuah warung yang sekaligus rumah warga ia masuki sambil memainkan daya gempur. Perabotan warung diposisi meratap. Cairan tumpah campur aduk bergulung prasangka.Â
Diluar, ujung keramaian belum mendapat jalan buntu. Rekan-rekannya menguasai medan peperangan. Energi sedang terkumpul tinggi. Mengerikan.
Pentungan seolah peluru kendali, meluluhlantakkan penghadang. Meraung, menghasilkan bunyi Wwuutt....wuuut....wuutt. Pesta itu membangunkan gadis kecil. Jejerit ketakutan mengapung bersama tubuh menggigil. Bersimbah air mata mendekap boneka bantal. Didepan pintu ia mengalami kehancuran jiwa. "Periuk nasi" orangtuanya hancur berantakan dihempas amarah dari selatan. Bersirobok.Â
Mata lelaki itu menampakkan kekagetan. Pias gadis kecil menusuk langsung ke pusat kesadaran. Lelaki itu tersedak. Tangannya lunglai. Untuk sesaat, ia terpana, kepalanya terdorong kebelakang. Wajah polos itu layu melihat sepak terjangnya.Â
Mata gadis itu berubah menjadi mata malaikat. Ketakutan menyergap balik menyerang lelaki itu. Nuraninya digedor pukulan longitudinal. Tangisan gadis kecil berubah menjadi badai tornado, menghantam titik manusiawinya. Ia tercekik diantara mata malaikat dan air mata ketakutan. Mematung. Sepersekian detik kakinya berbalik, berlari menjauhi pesta yang ia percikkan. Nafasnya ngos-ngosan, dadanya turun naik.Â