Lelaki itu menyeruput teh panas setelah usai melenyapkan sepiring nasi gudeg berlauk sebutir telur pindang. Sebatang rokok dibakar. Asap keluar dari mulutnya membentuk cendawan. Menipis lalu menghilang menabur racun.
Lelaki itu bercerita mengenai jalan hidupnya bertahun-tahun terbelenggu rimba belantara premanisme. Kehidupan preman berbanding lurus dengan kekerasan verbal dan fisik. Sepak terjangnya telah menonjolkan sosoknya hingga suatu ketika akan menuntun langkahnya pada garis indoktrinasi.
"Aku masuk pada kelompok jihad, Ron", kata lelaki itu
"Bagaimana bisa?", tanya kawannya
"Panjang ceritanya", ujar lelaki itu, "Ada masa ketika kejenuhan menyergap. Disitulah keinginan untuk mencari pencerahan muncul".
Kawannya yang bernama Roni mendengarkan sambil menunggu pesanan dibawa pulang dibungkus. Warung tambah ramai dengan tingkah ragam pembeli.
Mereka berdua menempati sudut tertentu pada warung.
"Kehidupanku bak komedi putar. Memusingkan. Aku bukan binatang, tapi kelakuanku nyaris melebihi binatang"
Kawannya menyimak, penuh harap agar lelaki itu meneruskan gerak bibirnya.
"Sebenarnya aku sudah lama diincar untuk ditarik masuk kelompok itu", bibirnya terus semburkan racun. Abu berjatuhan dikolong meja.
"Aku tidak paham omonganmu. Bisa diperjelas?", Asap berhasil meletupkan batuk bagi lawan bicaranya, "Kamu punya stok paru-paru berapa banyak?"