Hari demi hari ditenun dengan aktivitas peladangan. Mencari rumput untuk pakan kambing. Â Membantu segala apa yang ada. Pakdenya mengenalkan Agiman pada seorang kyai di tempat itu. Pemahamannya di rekontruksi.Â
Surga tidak didapat dengan mengayunkan pentungan, apalagi berharap mendapat puluhan bidadari dengan melakukan bom bunuh diri. Semua pertanyaan Agiman dijawab pak kyai dengan argumen yang cantik dan masuk akal.
"Pernah bertemu Gambos?", tanya kawannya.
"Nah itu. Dia masih terjerat pada mereka"
"Masuk kelompok itu juga?"
Lelaki itu mengangguk. Tangannya mengusap wajah yang berkeringat. Selembar tisu menjadi kumal karena perbuatannya.
"Entah kondisinya sekarang bagaimana, aku tidak tahu"
"Kamu tidak membujuknya?"
"Kebodohan disertai fanatik sebuah kombinasi buruk bila tertanam pada seseorang. Itulah Gambos. Kekuatan kata-kata mampu menjungkirbalikkan jiwa-jiwa yang kosong. Dan Gambos adalah kosong"
"Sebegitunya?", kawan itu tak percaya.
"Kalau aku amati, Gambos dan aku sepertinya disiapkan jadi generasi pemukul selanjutnya. Perlakuan mereka terhadap kami terlalu khusus"