Indonesia adalah negara yang dibangun di atas keberagaman budaya dan adat istiadat. Oleh karena itu Indoensia dapat disebut sebagai negara yang berbudaya karena eksistensinya yang merupakan kristalisasi dari kebudayaan-kebudayaan yang mewarnai seluruh kehidupan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok tanah air.Â
Di dalamnya terdapat berbagai macam kearifan lokal yang lahir dari masyarakat Indonesia itu sendiri dengan makna filosofisnya yang unik.
Salah satu kearifan lokal bangsa Indonesia terdapat di Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur, yakni pembagian tanah ulayatberupa sawah yang dipetakan dengan sistemlodok. Areal ini kini lebih dikenla dengan sebutan sawah lodok.
Sawah lodok ini memiliki beragam nilai dan makna filosofis yang dalam. Berdasarkan riset ilmiah dari berbagai lembaga penelitian ditemukan bahwa kedalaman nilai dan makna filosofis sawah lodok muncul atas panorama ataudesignnyayang unik yakni menyerupai jaring laba-laba.
Di tengah-tengah jaring laba-laba tersebut terdapat pusat atau pusaran yang dijadikan sebagai pilar star pembagian tanah. Pusaran inilah yang dinamakan dengan lodok.Â
Dari pusaran ini ditarik bentangan lahan yang menyerupai jaring laba-laba. Setiap warga kampung berhak mendapatkan bagian dari tanah tersbut. Semakin keluar dari pusaran semakin lebar lahan sawah tersebut.
Keunikan Sawah lodok menarik perhatian para peneliti baik secara individu maupun secara institusi untuk menggali makna filosofis apa yang terkandung di balik sawah lodok tersebut.Â
Selain itu panoramanya yang eksotis juga membuat sawah lodok dinobatkan menjadi salah satu objek wisata yang terkenal di Manggarai karena pemandanganya  yang sangat menawan.
Pengertian Term Lodok
Secara etimologis lodokberarti sudut yang berada di tengah-tengah dan menjadi titik star untuk membagi sebuah tanah ulayat. Dalam bahasa Manggarai tanah ulayat ini disebut lingko.Â
Untuk satu tanah ulayat hanya terdapat satu lodok yang letaknya di tengah-tengah area tanah ulayat. Posisi lodoksebagai sentral atau pusat menjadikannya pilar star pembagian sebuah tanah ulayat.
Dari pusat inilah ditarik suatu bentangan lahan (moso) untuk dibagikan secara adil dan merata kepada setiap warga yang berhak mendapatkannya. Namun bisa juga setiap orang tidak mendapatkan ukuran yang sama jika bentuk tanah tersebut tidak bundar secara utuh.Â
Meski demikian ukuran yang tidak sama ini dapat diterima dengan kebesaran hati oleh warga melalui wejangan dari tua adat yang memiliki kewibawaan untuk mengatur lahan tersebut.
Lodok tidak ditanami dengan tanaman apa pun dan tidak diperkenankan membuat bangunan di atasnya kecuali tempat untuk mempersembahkan sesajian seperti batu atau kayu.Â
Dengan demikian maka lodok merupakan tempat yang sakral/suci. Tidak semua orang dapat leluasa datang ke tempat tersebut. Orang-orang Manggarai meyakini bahwa di tempat tersebut terdapat penghuni yakni realitas tertinggi (Mori Kraeng) dan para leluhur yang menjaga tanah ulayat.Â
Lodok diinisiasikan menjadi tempat yang sakral melalui upacara khusus pada saat hendak membagikan tanah yakni dengan mempersembahkan sesajian kepada mori kraeng. Setiap tahun biasanya di tempat tersebut selalu diadakan syukuran panen yang dinamakan penti.
Sistem lodok ini pertama kali dikembangkan sejak zaman raja Alexander Barukh yang memimpin tanah nusa lale Manggarai pada tahun 1931-1945.Â
Raja Barukh sangat mendorong pertanian di Manggarai pada zaman itu. Sistem ini di buat menggunakan hukum adat dengan bertolak dari filosofi lima jari di mana bagian tengah-tengah jari adalah pusat atau inti.
Proses Pembagian Sawah Lodok
Salah satu areal sawah lodokyang paling terkenal di Manggarai dapat ditemukan di kampung Meler, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.Â
Bentuk sawah lodok tersebut menyerupai jaring laba-laba atau irisan yang membentuk kepingan "kue dan disebutmoso, sedangkan di titik tengahnya disebut lodok.Â
Selain di desa Meler sawah lodok juga dapat ditemukan di tempat-tempat yang lain, hanya tidak seluas dan seindah design lodok di desa Meler.Â
Karakternya yang unik dan eksotis tersebut kemudian menarik perhatian para peneliti untuk menggali makna yang sesungguhnya di balik keunikan sawah lodok tersebut. Di sisi lain keunikan dan ciri eksotis sawah lodok menarik perhatian para wisatawan terutama wisatawan manca negara.
Hal pertama yang wajib dilakukan sebelum upacara pembagian sawah lodok adalah dengan mengadakan musyawarah antara tua adat bersama warga kampung. Dalam  musyawarah tersebut jika telah mencapai kesepakatan bersama, maka selanjutnya dilaksanakan proses pembagian lahan.Â
Adapun proses pembagian lahan itu yaitu harus melalui berbagai ritus adat yakni pemberian sesajian kepada para leluhur dan Realitas Tertinggi (mori kraeng) sebagai penghuni tanah ulayat tersebut.
Untuk membagi tanah ulayat secara adil dan merata maka di lodok harus ditanami dengan kayu teno dengan tinggi satu meter.Kayu teno dibuat menjadi pilar star pembagian tanah.Â
Bila kayu teno telah ditancapkan maka disipkan juga satu butir telur ayam kampung (melambangkan kesuburan) dan segenggam daun ngelong(sejenis daun yang biasa digunakan untuk menyimpan sesajian). Sedangkan semua warga mengelilingi tempat tersebut dengan suasana yang hikmat.
Telur ayam dan daun ngelong diletakkan di dalam lubang yang telah digali untuk ditanami kayu teno tersebut. Orang-orang Manggarai meyakini bahwa telur ayam merupakan sumber kesuburan. Kelak tanah yang akan dibagikan akan menjadi tanah yang subur dan memberikan hasil panenan yang berlimpah ruah.Â
Sedangkan di sekeliling kayu teno dibuatkan pagar kecil yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah peserta yang akan mendapat bagian dalam pembagian tanah ulayat tersebut. Penerima yang paling berhak menerima tanah tersebut adalah suku-suku asli yang mendiami sebuah tanah ulayat.
Setelah kayu teno dan pagar didirikan maka dibentangkanlah tali ke setiap pagar-pagar kecil yang tingginya disesuaikan dengan tinggi kayu teno tersebut.Â
Tali itu kemudian direntangkan hingga ke batas terluar area tanah yang disebut cicing sehingga dapat membentuk pembagian tanah para peserta sesuai dengan daftar nama yang dipegang oleh tu'a teno(tua adat yang memiliki kewibawaan tertinggi dalam suatu kampung).Â
Karena tanah itu adalah miliki seluruh warga maka, pembagian tanah tersebut diatur sesuai dengan jumlah suku atau clan yang mendiami kampung tersebut. Tidak menutup kemungkinan suku-suku lain yang mendiami kampung tersebut juga akan mendapat tanah.Â
Hal ini dapat terjadi seturut kebijaksanaan para tua adat. Karena orang meyakini kehadiran pendatang (suku lain) dalam kampung adalah pembawa berkat. Mereka harus diperlakukan layaknya warga kampung. Meski pun dalam hal pengambilan keputusan yang substansial mereka tidak dilibatkan.
Tokoh adat yang berhak membagikan tanah tersebut adalah tu'a teno yang dibantu oleh wakilnya.Â
Menurut kebiasaan tu'a teno mendapatkan pembagian area tanah yang lebih luas dari pada peserta yang lainnya. Kepadanya juga diberikan hak untuk memilih tanah pembagiannya sesuai dengan seleranya. Kebiasaan ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan kepada sangtu'a teno atas persetujuan bersama warga kampung.
Sistem pembagian petak sawah lodok, terkait dengan status kepemilikan tanah yang bersifat komunal karena secara tradisional dan konvensional tanah adalah hak komunal (suku).Â
Di samping penanda hak kepemilikan komunal (suku) sistem pembagian tanah tersebut sebagai penanda hak komunal (suku) juga terkait dengan lingkungan.
Dengan demikian maka dalam pembagian tanah ulayat ini diperlukan keadilan, kejujuran, musyawarah (demokrasi), kedamaian dan tidak otoriter agar tidak terjadi hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik.Â
Setelah proses pembagian dilakukan maka setiap orang yang berhak mendapatkan tanah itu wajib menjaga dan memelihara tanah tersebut dan diwariskan kepada setiap keturunan.Â
Tanah ulayat yang dibagikan ini tidak boleh dijual atau digadaikan untuk tujuan apa pun. Selain itu setiap orang juga diminta untuk tidak mengubah fungsi tanah tersebut yakni dari persawahan ke dalam bentuk laiinya.
Ritus-Ritus Yang Dilakukan Pada Saat Pembentukan Lodok
Ritual Barong Boa (Penghormatan Kepada Para Leluhur Di Kuburan)
Masyarakat Manggarai memepercayai roh para leluhur akan ikut berperan dalam kehidupan mereka termasuk dalam kegiatan pembagian lodok lingko.Â
Karena itu, pertama-tama mereka mendatangi pekuburan umum guna mengundang arwah para leluhur untuk hadir dalam seluruh rangkaian acara pembagian lodok lingko. Ritus ini disebut barong boa.
Ritual Teing Hang (Pemberian Sesajian) Kepada Leluhur
Usai dari pekuburan umum, para tua adat kemudian mengundang masyarakat adat ke mbaru gendang (rumah adat) untuk melaksanakan ritus teing hang.Â
Acara ini dimulai dengan kapu (acara penerimaan) leluhur oleh tua adat dengan menggunakan sebutir telur ayam kampung yang diletakan diatas compang (mesbah-megalhitik).Â
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemberian sesajian atau teing hang kepada roh para leluhur dengan menyembelih seekor ayam jantan warna merah (manuk cepang) sebagai kurbannya.
Namun sebelum disembelih, terlebih dahulu dilakukan torok manuk (torok= doa, manuk = ayam). Melalui media ayam ini, salah satu tua adat sebagai petutur melantunkan permohonan kepada para leluhur agar merestui seluruh rangkaian kegiatan yang akan berlangsung dalam kaitan dengan pembagian lodok lingko.Â
Kemudian ayam tadi dibakar dan hati serta beberapa bagian dagingnya diambil untuk dijadikan helang (sesajian) yang disajikan bersama dengan nasi dan garam untuk para leluhur.Â
Acara ini sebagai bentuk respek kepada para leluhur sekaligus meminta keberhasilan dan perlindungan selama berlangsungnya kegiatan pembagian lodok lingko.
Acara Reke Lodok (Rapat penentuan batas dan luas areal tanah yang akan dibagikan ke setiap warga.)
Setelah acara teing hang dilanjutkan dengan rapat awal atau reke lodok yang juga berlangsung di mbaru gendang. Rapat ini dipimpin oleh tu'a teno (pemimpin adat yang mengurus pembagian lingko) dan dihadiri oleh seluruh warga kampung khususnya kaum lelaki dewasa.Â
Dalam rapat ini tua teno mengutarakan rencana pembagian lodok lingko, tempat dan waktu pelaksanaan pembagian serta sejumlah kelengkapan yang perlu dibawa saat pembagian lahan. Rapat ini sekaligus menentukan jumlah anggota suku yang akan mendapat bagian dalam pembagian lahan.
Sekembalinya dari pertemuan ini tu'a tu'a kilo dan tu'a panga berembug. Pertemuan tu'a-tua kilo dan tu'a panga untuk menentukan anggota keluarga mereka yang bakal mendapat pembagian dan mungkin ada juga orang luar yang ingin mendapat bagian seperti :Â
1) Warga lain suku yang sudah tinggal menetap dengan suku pemilik lingko disebut sebagai ata long.Â
2) Warga lain suku yang secara khusus datang untuk meminta agar mendapat bagian tanah disebut sebagai ata kapu manuk lele tuak danÂ
3) keturunan anak perempuan yang menetap dalam suku atau tidak menetap pada suku suami. Nama-nama mereka ini harus masuk melalui kilo/sub clan atau panga/clan di dalam suku.
Ritual Wuat Wa'i dan Lilik Compang                 Â
Pada hari pembagian, sebelum berangkat ke lokasi lingko para tua adat dan warga kampung kembali berkumpul di rumah adat untuk melaksanakan ritus wuat wa'i.Â
Ritus ini bertujuan memohon restu, bimbingan dan lindungan dari Tuhan Sang Pencipta dan para leluhur agar acara pembagian lahan ini berjalan dengan lancar. Kurban pada ritus ini adalah seekor ayam jantan berwarna merah.Â
Melalui media seekor ayam jantan ini dilakukan tudak/torok (doa) oleh tua adat sebagai petutur. Ayam kemudian disembelih dan darahnya dioleskan pada kayu teno (melochia arborea/melochia ef umbelata) yang sudah dibuat menyerupai gasing atau mangka dalam bahasa Manggarai. Selanjutnya ayam tadi dibakar untuk dijadikan helang (sesajian) untuk para leluhur, sama seperti pada ritus teing hang.
Usai ritus wuat wa'i di dalam rumah adat, warga dipimpin tu'a teno keluar dengan membawa sejumlah perlengkapan seperti parang, kayu teno dan tali melakukan acara lilik compang (mengelilingi mesbah) yang terletak di tengah-tengah kampung.
Acara ini sebagai simbol penghormatan terhadap beo bate ka'eng (kampung tempat biasa tinggal) dan natas bate labar (halaman tempat biasa bermain).Â
Warga kemudian bersama-sama menuju lokasi lingko yang hendak dibagikan menjadi lodok dengan iringan bunyi pukulan gong. Untuk sampai ke lokasi lingko warga melewati jalur jalan yang biasa dilewati oleh nenek moyang terdahulu atau para leluhur yang disebut dengan salang ceki
Pelaksanaan Pembagian Lingko Dengan Sistem Lodok
Setibanya di lingko yang hendak dibagi, tu'a teno duduk diseputar titik pusat lingko. Sementara warga yang akan menerima bagian bersama tu'a-tu'a kilo dan panga duduk membentuk sebuah lingkaran yang besar.
Ritual dimulai dengan tente arong yaitu membuat lubang tempat kayu teno akan ditancapkan. Tua teno kemudian meletakan telur di lubang/arong.Â
Namun, sebelum telur diletakan, Tu'a Teno mengucapkan tudak (doa), harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar memberikan rejeki yang melimpah kepada masyarakat yang menggunakan lahan tersebut nantinya.
Selanjutnya masuk pada puncak acara dimana Tua Teno melakukan tente teno yaitu menancapakan kayu teno pada pusat lingko. Di sekeliling kayu teno kemudian diletakan tali berbentuk lingkaran.Â
Di sekeliling lingkaran tersebut lalu ditancapkan kayu-kayu kecil yang disebut lance koe. Jarak antara satu lance koe dengan lance koe lainnya tergantung pada besarnya moso atau jari tangan tua teno yang di tempelkan ke tanah.Â
Ada jarak sebesar lima jari yang disebut moso rembo. Jarak tiga jari yang disebut lide serta jarak dua jari dan satu jari disebut koret yakni bagian yang diberikan kepada para pendatang atau bukan warga asli.
Penduduk yang bukan warga asli kampung mendapat bagian pembagian lingko dengan persetujuan tua teno biasanya dengan persyaratan membawa tuak dan satu ekor ayam. Mereka inilah yang disebut ata long atau ata kapu manuk lele tuak. Tindakan mengulur jari sebagai dasar jarak antara lance disebut sor moso.
Kemudian di luar lance-lance(patokan-patokan) tersebut kembali diletakkan tali berbentuk lingkaran dan ditancapkan lance-lance kembali, tegak lurus dengan lance pada lingkaran pertama dan tegak lurus dengan kayu teno di pusat lodok.
Lance atau patok kemudian ditancapkan sampai pada batas terluar lodok yang disebut cicing. Setelah itu dibuat langang atau batas samping atau batas antar moso dengan menghubungkan lance yang satu dengan lainnya menggunakan tali yang direntangkan lurus keluar membentuk garis jari-jari yang simetris, maka kemudian terciptalah bentuk lodok atau seperti sarang laba-laba raksasa.
Makna Filosofis Pembagian Sawah Sistem Lodok
Dari berbagai macam riset ilmiah para peneliti menemukan bahwa sawah lodok bukan hanya sebuah fakta sejarah atau sekedar sebuahdesign tekhnis dalam bidang pertanian orang-orang Manggaraitetapi lebih dari itu sawah lodok dibentuk berdasarkan nilai-nilai filosofis yang sangat mendalam.Â
Nilai-nilai filosofis yang muncul dari rahim bumi Manggarai itu sendiri dan menjadi pedoman hidup masyarakat Manggarai dalam membangun komunitas sosial. Ada pun nilai-nilai filosofis yang diperdalami penulis dalam paper ini adalah sebgai berikut;
Filsafat Sosial dan Politik (Nilai Demokrasi dan Keadilan)
Tanah ulayat merupakan hak komunal seluruh warga masyarakat adat yang mendiami suatu tempat. Oleh karena itu setiap warga berhak mengolahnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup terutama kebutuhan ekonomi.Â
Masyarakat lokal zaman dulu umumnya memiliki kebijaksanan-kebijaksaan lokal yang mengatur pola pengolahan lahan umum agar tidak saling bertentangan satu sama lain.Â
Pola-pola klasik ini mengarahkan manusia untuk hidup dalam harmoni dengan sesama dan lingkungan alam. Pola atau skema inilah yang membimbing manusia kepada yang benar dan sesuai harapan umum.
Konstruksi filosofis sawah lodok memberi makna pada sistem pemerintahan masyarakat Manggarai. Pada zaman dahulu kala sistem pemeritahan masyarakat Manggarai bersifat monarki-kerajaan. Dalam persepektif filosofis sawah lodok, Raja itu mendiami lodokkarena dia adalah pusat atau pemimpin sebuah kerajaan.Â
Sedangkan langang (batas di antara moso-batasan antara lahan warga) dan cicing (batas paling luar) itu diibaratkan para dalu (zaman sekarang; camat dan kepala desa/lurah) yang memimpin komunitas masyarakat tertentu (moso).Â
Dalu adalah pelindung masyarakat dan Raja. Mereka adalah pintu masuk untuk dapat menjumpai raja, masyarakat dan pintu masuk bagi orang lain untuk masuk dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Hanya ada satu pusat kerajaan yakni lodok.Â
Para dalu (langang dan cicing) harus bekerja sama dalam melindungi masyarakat, raja dan tanah ulayat. Jika ada masalah jangan bawa ke luar, tetapi harus dibawa ke dalam untuk bermusyawarah.Â
Dalam pengertian ini sawah lodok menyumbangkan sebuah pemikiran filosofis bahwa sebuah sistem pemerintahan akan menjadi kuat dan kokoh jika ada kerja sama di anatara setiap elemen pemerintahan termasuk masyarakat itu sendiri.
Jadi, sawah lodok dicermati dari ritual dan konstruksi filosofis pembentukannya mengandung makna demokrasi (politis) yang luhur. Demokrasi secara etimologis-klasik dipahami sebagai kepentingan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Â
Dalam pemahaman modern demokrasi tanpa mengurangi makna etimologis dipahami sebagai kepentingan yang mengutamakan bonum commune-kesejahteraan bersama.Â
Dalam konteks inilah pembagian sawah lodok bernilai demokratis (politis) karena sistem ini dimaksudkan untuk mengelola dan menata kehidupan bersama serta mengutamakan kepentingan umum yang dilandasi oleh musyawarah. Sama halnya dengan politik sebagai sebuah sistem pengelolaan masyarakat demi kebaikan bersama-bonum comune.Â
Design sawah lodok yang meyerupai jaring laba-laba berbentuk bulatan-lingkaran. Bentuk ini bertolak dari gambaran rumah adat orang-orang Manggarai yang pada dasarnya berbentuk bulat.Â
"Melingkar" dalam filosofi orang-orang Manggarai memiliki makna yang sangat dalam. Melingkar erat kaitannya dengan lonto leok(duduk melingkar). Lonto leokmengandung ikatan persatuan yang diungkapkan dengan go'et; "muku ca pu'u neka woleng curup, teu ca ambo heka woleng lako". Go'et ini bermakna kebersamaan, kekeluargaan, kesatuan dalam sebuah komunitas.Â
Oleh karena itu sawah lodok yang berbentuk bulat memiliki makna filosofis kebersamaan, solidaritas, demokrasi, musyawarah dan kesatuan. Sikap ini dinyatakan dalam hidup harian orang Manggarai.Â
Hanya dengan duduk bersama (lonto leok) orang dapat bermusyawarah dengan penuh santun dan beradab. Hanya dengan lonto leokorang dapat membuat suatu keputusan dan membangun dunia kehidupan yang lebih baik.Â
Dengan lonto leok segala persoalan dapat diselesaikan. Lonto leokdengan demikian dipahami sebagai cagar demokrasi orang-orang Manggarai yang pada akhirnya melahirkan keputusan-keuputusan yang dilandasi oleh kebenaran, keadilan dan kedamaian. Pembagian tanah ulayat pada pengertian ini bermakna politik-demokratis.
Menurut Thomas Aquinas Politik pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk menciptakan bonum commune. Thomas dalam komentarnya terhadap politik mengatakan bahwa setiap negara dibangun untuk kebaikan.Â
Di sinilah tugas pemimpin dan seluruh komponen masyarakat menyatukan semua tujuan yang bersifat umm yang memberikan keadilan sosial kepada segenap warganya.Â
Menurut Thomas Aquinas, politik yang bertujuan untuk mewujudkan bonum  commune dan societas (masyarakat) tersusun atas multiplisitas dari individu. Maka bonum commnue harus teraktualisasikan juga dalam mebangun persatuan.Â
Hal ini lahir dengan sendirinya sebagai suatu necessary condition terhadap multiplisitas terlebih dalam komunitas masayarakat yang heterogen yang tersusun atas multipluralitas (orang-orang Manggarai yang mendiami suatu kampung terdiri dari banyak suku).Â
Kalau kesatuan terjaga berarti di sana ada perdamaian dan keadilan. Dengan kata lain perdamaian dan keadilan adalah buah dari unitas yang merupakan perpanjangan dari bonum commune.
Perspektif mengenai keadilan dalam pembagian sawah lodok dipahami dengan bertolak dari filosofi kayu teno yang ditancapkan di lodok pada saat pembagian tanah.Â
Kayu teno adalah kayu yang bentuknya lurus dan tidak bercabang (heluk). Karakter ini adalah simbol sikap jujur, dapat dipercayai orang lain dan adil. Dengan demikian dari filosofi ini memberi penegasan bahwa pembagian tanah ulayat dilandasi oleh sikap yang jujur, adil dan percaya.Â
Hingga saat ini masyarakat Manggarai yang memperoleh harta warisan (tanah) atas pembagian para leluhur tidak pernah mempersoalkan besarnya tanah yang mereka peroleh dari pembagian tersebut. Mereka menerima pembagian itu dengan kebesaran hati.
Pembagian tanah juga diawali dengan melakukan musyawarah bersama antar warga yang diakomodasi dan domoderasi oleh para tua adat. Tanah ulayat pada hakekatnya adalah milik bersama.Â
Maka pembagian atas hak bersama ini meski dilandasi oleh sikap yang adil dan jujur. Menurut Thomas Aquinas keadilan merupakan keutamaan tepatnya keutamaan moral yang memimpin seseorang dalam hubungan atau relasinya dengan orang lain. Hal itu tidak saja berhubungan dengan orang lain secara individu tetapi juga dengan orang lain secara umum dalam komunitas sosial.Â
Dalam hubungannya dengan komunitas dapat dirujuk pada bonum commune atau kebaikan bersama dan karena itu seringkali juga disebut dengan keadilan umum.Â
Dalam perspektif  ini pembagian tanah ulayat Manggarai dapat dinilai sebagai tindakan yang adil karena dilandasi oleh prinsip communio dan musyawarah serta teararah kepada kesejahteraan bersama.
Filsafat Estetika (Seni Merangkai Hubungan Antara Kosmos dengan Yang Ilahi)Â
Bagi orang-orang Manggarai seni atau keindahan tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang kasat mata. Keindahan dalam perspektif orang Manggarai juga dapat dipahami secara metafisik. Keindahan metafisis di sini berkaitan dengan seni berpikir atau seni berefleksi.Â
Dalam kaitan dengan ini, orang Manggarai mampu mengobjektifikasikan hasil pikirannya dalam suatu yang konkrit. Sehingga keindahan Yang Ilahi dapat dirasakan-dialami oleh manusia dalam sesutau yang indah secara kasat mata.Â
Design sawah lodok yang memiliki nilai estetis memberi penekanan bahwa Yang Ilahi dan ciptaan-Nya sungguh indah dan meakjubkan. Yang Ilahi adalah Sang Arsitek agung dari semua fenomen tersebut.Â
Sawah lodok merupakan hasil refleksi-hasil pemikiran filosofis dari para leluhur Manggarai. Dalam kontkes ini penulis menemukan rangkaian konstruksi filsafat estetika yakni seni merangkai hubungan antara kosmos dan realitas tertinggi.
Titik sentral sebuah lingko lodok menurut orang Manggarai diibaratkan sebagai sumber kehidupan atau dikaitkan dengan Sang pencipta yang mempunyai-menciptakan kehidupan.Â
Sedangkan langang-langang diibaratkan dengan manusia dan juga diibaratkan sebagai raja atau orang yang dihormati sebagai pemimpin. Apapun yang terjadi didalam kehidupan manusia semuanya berpusat pada Sang Pencipta.Â
Saat ada suka, duka, dan lain sebagainya, Tuhanlah yang bisa menyelesaikan segala permasalahan yang kita alami. Orang-orang Manggarai percaya bahwa kebun dan segala isinya berasal dari persatuan Sang Adikodrati dengan ibu bumi. Lodok diibaratkan sebagai sumber hidup. Orang Manggarai meyakini bahwa lodok didiami oleh Sang Empunya kehidupan dan para leluhur.
Pemaknaan terhadap Yang Ilahi dalam konteks sawah lodok kiranya dapat dimengerti dalam konsep Yang Ilahi menurut  James G. Frazer yakni;
(1) Yang Ilahi adalah yang memiliki kekuatan istimewa di mana yang Ilahi adalah sumber kekuatan atau asal segala-galanya. (2) Yang Ilahi adalah Yang mengatasi segala ciptaan di mana Yang Ilahi tidak dapat dibandingkan ciptaan lain oleh karena hakikat-Nya Yang Ilahi. (3) Yang Ilahi adalah Yang Tertinggi di mana Yang Ilahi menempati skala nilai teratas dan sangat sulit untuk ditempatkan sejajar dengan yang ada di bumi.
Orang-orang Manggarai menempatkan atau menjadikan Yang Ilahi sebagai lodok karena kualitas transedensinya serta eksistensinya yang menjadikan Dia sebagai  pusat dan sumber kehidupan manusia.
Filsafat Manusia
Design sawah lodok yang berbentuk bundaran-lingkaran melambangkan relasi di antara sesama manusia yang harus bersatu dan bekerja sama untuk menciptakan keharmonisan.Â
Kesatuan dan kerja sama ini sangat penting mengingat konstruksi sawah dengan sistem lodok mengandaikan adanya hubungan saling ketergantungan satu sama lain di antara moso tersebut.Â
Adanya nuansa kolegialitas yang tak terpisahkan di antara warga. Misalnya saja dalam hal kebutuhan akan air untuk mengairi areal persawahan atau pun untuk mengatasi kemungkinan adanya penyakit-penyakit yang menyerang padi yang ditanam pada areal perswahan.Â
Semua warga dalam kesatuan dengan sistem lodok harus bekerja sama dalam mengatasi kemungkinan-kemungkinan akan bahaya yang ditimbulkan dari bencana-bencana tersebut.
Dalam kehidupan orang-orang Manggarai dikenal beberapa go'et (pepatah) yang menggambarkan relasi di antara manusia yakni; Â ris-reis, ruis, raos, raesyang menunjukkan relasi yang terjalin antar dan intra warga.
Reis mengandaiakn keinginan manusia Manggarai untuk membangun relasi dan komunikasi yang terungkap secara paling mendasar dalam kata Reis.Â
Kata reis ini berakar pada akar kata rei yang arti leksikalnya ialah bertanya, menanyakan. Tetapi seperti yang kita lihat di sini, kata dasar rei itu diberi imbuhan akhir berupa huruf sehingga kata dasar rei itu lalu berubah menjadi reis.Â
Penambahan imbuhan akhir itu menyebabkan terjadi transformasi makna semantik atas kata rei itu dan sekarang dalam bentuk reis ia mempunyai arti menyapa orang lain (menyapa sesama) dengan penuh keramah-tamahan, dengan kelemah-lembutan, dan dengan memakai tutur kata yang halus, sopan, dan serba terpilih.Â
Lalu di sana, setelah ada peristiwa reis, atau berkat reis itu, pihak yang di-reis akan membuka diri dengan senyuman yang ramah dan tutur kata yang halus dan sopan, menjawab atau menanggapi reis itu dengan wale. Lalu di sana secara otomatis akan terbangun sebuah relasi, terbangun sebuah komunitas.
Sedangkan Ruis pada dasarnya berarti dekat, kedekatan, keakraban, hospitalitas, keramah-tamahan. Berkat ruis ini, dia yang tadinya adalah orang asing, orang luar, orang jauh, kini menjadi orang yang dekat, orang dalam, sanak saudara, teman ataupun sahabat, menjadi saudara (menarik untuk diperhatikan di sini bahwa konon secara etimologis kata saudara berarti satu perut, satu rahim, sa-udara).Â
Dalam konteks ini terbangunkan sebuah solidaritas, sebuah belarasa, sebuah perkumpulan yang ditandai oleh kedekatan. Di sana apa yang tadinya asing lalu menjadi akrab, apa yang tadinya jauh lalu menjadi dekat, semua lalu menjadi saudara, satu rahim, satu perut.
Jika ruis sudah terbangun, maka secara otomatis akan muncul juga sebuah keinginan yang lain yaitu keinginan untuk raes. Kata raes ini pada dasarnya mempunyai arti menemani, menyertai, to accompany.Â
Orang mau menemani karena orang sudah merasa akrab, dekat. Kedekatan itu menciptakan suasana dan rasa aman, feeling secure, security. Rasa aman itulah yang pada gilirannya mendorong dan menggerakkan orang untuk mau menemani, raes, to accompany. Tanpa perasaan ruis itu tidak mungkin muncul keinginan dan kerela-sediaan untuk raes.
Lalu di akhir semuanya itu, muncullah raos. Apa arti kata raos ini? Kata Raos ini pada dasarnya berarti suasana keramaian karena keramah-tamahan.Â
Raos itu sendiri memang berarti ramai, tetapi keramaian ini bukanlah sebuah keramaian yang terjadi karena ribut gaduh, seperti keramaian di pasar, suasana crowded, melainkan keramaian yang terbangun dari dan karena rasa kedekatan, keakraban, yang tercipta karena hospitalitas.Â
Jadi semua alur itu bermuara pada keramaian karena keramahan, pada raos. Apa yang dimulai pada reis, lalu terus ke ruis, lalu terus ke raes, akhirnya bermuara pada raos.
Design sawah lodok secara implisit mengandung ke empat filosofi kemanusiaan di atas. Hanya dengan reis  (bertanya-saling tegur sapa) orang bisa menjadi dekat (ruis).Â
Ketika sudah dekat orang lalu dapat hidup saling berbagi sukacita, keakraban dan hospitalitas. Hubungan saling ketergantungan di anatar moso dalam kesatuan sawah lodok mmbutuhkan keempat filosofi tersebut di atas agar tercipta hubungan yang harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
J. W. M Bakker, Filsafat Kebudayaan, Jogjakarta: Kanisius, 1984
L.A.S, Gunawan, Filsafat Nusantara, Sebuah Pemikiran Tentang Indonesia, Jogjakarta: Kanisius, 2020
M. Adi  Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah, 2016
Nery, Diliano Ottovianus and Darsiharjo, Epon Ningrum, Local Wisdom of Lodok Rice Field in Meler Village, Manggarai Regency, (Bandung: Geography Education Departement Universitas Pendidikan Indonesia) Advancs in Social Science, Education and Humanities Research, volume 542 Proceedings of the 2nd Annual Conference on Social Science and Humanities (ANCOSH 2020)
Gregorius Neonbasu, Sketsa Dasar Mengenal Manusia dan Kebudayaan,Jakarta: Kompas, 2020
Sandur, Simplesius, Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas, Jogjakarta: Kanisius, 2019
Senudin, Yuliana Amelian, Study Eksplorasi Etnomatika Pada Lingko Lodok Dalam Budaya Masyarakat Manggarai (Skripsi), Jogjakarta: Universitas Sanathadarma, 2016
Sumardi, Fransiskus Makna Dan Fungsi Sawah Lodok di Kampung Meler Desa Meler KecamatanRuteng Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, dalam Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Universitas UdayanaVol 18.2 Pebruari 2017: 10-15Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud
Fransis BorgiasRis, Ruis, Raos, Raes , dalam https://fransisborgias.id/2011/08/02/reis-ruis-raes-raos/,
Dinas pariwisata manggarai https://pariwisata.manggaraikab.go.id/begini-proses-pembagian-lodok-lingko-di-manggarai/
                   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H