Dari pusat inilah ditarik suatu bentangan lahan (moso) untuk dibagikan secara adil dan merata kepada setiap warga yang berhak mendapatkannya. Namun bisa juga setiap orang tidak mendapatkan ukuran yang sama jika bentuk tanah tersebut tidak bundar secara utuh.Â
Meski demikian ukuran yang tidak sama ini dapat diterima dengan kebesaran hati oleh warga melalui wejangan dari tua adat yang memiliki kewibawaan untuk mengatur lahan tersebut.
Lodok tidak ditanami dengan tanaman apa pun dan tidak diperkenankan membuat bangunan di atasnya kecuali tempat untuk mempersembahkan sesajian seperti batu atau kayu.Â
Dengan demikian maka lodok merupakan tempat yang sakral/suci. Tidak semua orang dapat leluasa datang ke tempat tersebut. Orang-orang Manggarai meyakini bahwa di tempat tersebut terdapat penghuni yakni realitas tertinggi (Mori Kraeng) dan para leluhur yang menjaga tanah ulayat.Â
Lodok diinisiasikan menjadi tempat yang sakral melalui upacara khusus pada saat hendak membagikan tanah yakni dengan mempersembahkan sesajian kepada mori kraeng. Setiap tahun biasanya di tempat tersebut selalu diadakan syukuran panen yang dinamakan penti.
Sistem lodok ini pertama kali dikembangkan sejak zaman raja Alexander Barukh yang memimpin tanah nusa lale Manggarai pada tahun 1931-1945.Â
Raja Barukh sangat mendorong pertanian di Manggarai pada zaman itu. Sistem ini di buat menggunakan hukum adat dengan bertolak dari filosofi lima jari di mana bagian tengah-tengah jari adalah pusat atau inti.
Proses Pembagian Sawah Lodok
Salah satu areal sawah lodokyang paling terkenal di Manggarai dapat ditemukan di kampung Meler, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.Â
Bentuk sawah lodok tersebut menyerupai jaring laba-laba atau irisan yang membentuk kepingan "kue dan disebutmoso, sedangkan di titik tengahnya disebut lodok.Â
Selain di desa Meler sawah lodok juga dapat ditemukan di tempat-tempat yang lain, hanya tidak seluas dan seindah design lodok di desa Meler.Â