Mohon tunggu...
Rizki Ernawati
Rizki Ernawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Saya adalah orang yang memiliki ketertarikan dalam bidang sosial, saya suka berorganisasi dan saya tipikal orang yang menaruh perhatian pada kondisi masyarakat. menjadi seorang yang bermanfaat adalah tujuan hidup saya. Saat ini saya sedang memenuhi kewajiban mengembangkan diri saya. menjadi seseorang yang bertaqwa, berintelektualitas, dan menjunjung tinggi profesionalitas dimanapun saya berada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku: Sosiologi Hukum oleh Manotar Tampubolon, Abdul Hamid, Mia Amalia, dkk

30 September 2024   08:43 Diperbarui: 30 September 2024   08:54 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IDENTITAS BUKU 

Judul: Sosiologi Hukum 

Nama Penulis: Manotar Tampubolon, Abdul Hamid, Mia Amali, Herniati, Mahrida, Fahmi Assulthoni, Geofani Milthree, Zuhdi Arman

Penerbit : PT GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI

Tahun Terbit : 2023

Cetakan : Pertama, 15 Februari 2023

Jumlah Halaman: 165 Halaman

PEREVIEW BUKU 

Nama: Rizki Ernawati

Kelas: HES 5E

NIM : 222111181

Tanggal Review: 10 September 2024

BAB 1

KAJIAN HUKUM EMPIRIS

Studi Hukum Empiris

Sejarah Kebangkitan Hukum Empiris

Dimulai pada tahun 1960-an dengan karya-karya empiris pertama tentang topik-topik hukum, pendekatan ini berkembang pesat dan semakin banyak digunakan dalam penelitian hukum, terutama dalam penelitian peradilan pidana. Kebangkitan hukum empiris dipicu oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan pemikiran realis setelah Perang Dunia II, perlunya pendekatan realistis dalam penelitian hukum, dan model negara kesejahteraan yang mengharuskan hukum menjadi alat rekayasa sosial. Hukum empiris menawarkan perspektif baru dalam masalah hukum, membantu penstudi hukum memahami hukum dengan lebih baik, dan menciptakan hubungan antara masyarakat dan hukum. Selain itu, hukum empiris juga menarik minat para pembuat kebijakan karena temuan-temuan penelitiannya yang merupakan realita sosial yang kadang berbeda dengan doktrin-doktrin hukum positivistik.

Studi Empiris dalam Hukum.

Studi empiris semakin penting dan memainkan peran penting dalam penelitian hukum. Meskipun bisa dilakukan di semua bidang hukum, studi empiris lebih fokus pada bidang hukum tertentu seperti hukum perusahaan, peradilan pidana, dan hukum keluarga. Hasil penelitian empiris bermanfaat bagi berbagai pihak, termasuk pembuat kebijakan, pengadilan, pengacara, dan institusi pendidikan hukum. Hukum empiris menawarkan perspektif baru dalam masalah hukum, membantu penstudi hukum memahami hukum dengan lebih baik, dan menciptakan hubungan antara masyarakat dan hukum.

Hukum Doktrinal dan Empiris dalam Penelitian Hukum 

Hukum doktrinal, atau penelitian hukum doktrinal (DLR), berfokus pada analisis teks hukum dan interpretasi norma, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan realitas penerapan hukum. Pendekatan ini mengandalkan sumber-sumber sekunder seperti buku-buku hukum, undang-undang, dan dokumen hukum lainnya, dan cenderung bersifat teoretis. Keuntungannya adalah lebih mudah untuk mengkaji hukum secara "apa adanya" dan lebih fokus pada pemahaman konseptual hukum. Namun, kekurangannya adalah kurang mempertimbangkan konteks sosial dan tidak mengkaji bagaimana hukum beroperasi di dalam masyarakat.

Hukum empiris, atau studi hukum empiris (ELS), menggunakan metode penelitian empiris untuk mempelajari bagaimana hukum bekerja dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Pendekatan ini menggunakan sumber data primer seperti penelitian lapangan, studi kasus, dan analisis data, serta menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Keuntungannya adalah memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran hukum dalam masyarakat, menciptakan hubungan antara masyarakat dan hukum, dan menawarkan perspektif baru dalam masalah hukum. Namun, kekurangannya adalah lebih sulit untuk dilakukan karena membutuhkan data empiris dan analisis yang lebih kompleks.

Kajian Hukum Doktrinal

Hukum doktrinal berfokus pada analisis prinsip-prinsip dan konsep-konsep hukum dari berbagai sumber seperti kasus, preseden, undang-undang, dan lain-lain. Titik fokusnya adalah menjawab pertanyaan "Apa itu hukum?". Penelitian doktrinal adalah penelitian berbasis perpustakaan, yaitu mencoba mencari jawaban pasti atas pertanyaan hukum melalui penyelidikan menyeluruh dari buku-buku hukum, undang-undang dan dokumen hukum lainnya.

Keuntungan dan Kerugian Kajian Hukum doctrinal

Keuntungannya adalah lebih mudah untuk mengkaji hukum secara "apa adanya" dan lebih fokus pada pemahaman konseptual hukum. Namun, kekurangannya adalah kurang mempertimbangkan konteks sosial dan tidak mengkaji bagaimana hukum beroperasi di dalam masyarakat. Penelitian doktrinal juga memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan dan pilihan sumber yang tepat dan dapat diandalkan. Deduksi logis juga merupakan tugas yang berat dan lebih jauh lagi, penelitian ini sangat teoritis dan terbatas.

Kajian Empiris dalam hukum.  

Kajian hukum empiris membantu para penstudi hukum untuk membangun pemahaman teoretis tentang hukum sebagai fenomena sosial dan politik, dan memberikan kontribusi pada pengembangan teori sosial. Penelitian empiris membantu penstudi hukum memahami hukum dengan lebih baik, dan pemahaman empiris tentang hukum dalam memahami masyarakat dengan lebih baik. Berkat studi empiris, penstudi hukum dapat menciptakan hubungan antara masyarakat dan hukum.

Metode Kajian Hukum Empiris.  

Metode yang digunakan untuk penelitian empiris pada dasarnya adalah metode kualitatif (wawancara) dan metode kuantitatif (kuesioner). Kedua metode tersebut memiliki kelebihan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, seringkali berguna untuk menggabungkan kedua metode tersebut. Subbab ini juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan isu-isu etis saat melakukan penelitian empiris, seperti perlindungan data dan penghormatan terhadap privasi dari partisipan.

 BAB 2 

PARADIGMA DASAR HUKUM DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Pengertian Paradigma Hukum

Paradigma Hukum

Paradigma hukum merupakan kerangka berpikir yang mendasari pemahaman tentang hukum dan fungsinya dalam masyarakat. Konsep ini membantu kita memahami bagaimana hukum terbentuk, bagaimana hukum diterapkan, dan bagaimana hukum berinteraksi dengan aspek-aspek sosial lainnya. Dalam sosiologi hukum, terdapat tiga paradigma utama yang digunakan untuk memahami hukum: 

Paradigma Fakta Sosial: Paradigma ini berfokus pada aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat dan bagaimana aturan-aturan tersebut dipaksakan. Contohnya, aturan lalu lintas yang mengharuskan pengendara berhenti di lampu merah merupakan fakta sosial yang dipaksakan oleh hukum.

Paradigma Definisi Sosial: Paradigma ini berfokus pada bagaimana individu dan kelompok menciptakan realitas sosial melalui tindakan dan interaksinya. Contohnya, gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak perempuan dapat menciptakan definisi sosial baru tentang peran perempuan dalam masyarakat.

Paradigma Perilaku Sosial: Paradigma ini berfokus pada bagaimana hukum mempengaruhi perilaku individu dan kelompok. Contohnya, hukum tentang larangan narkoba dapat mempengaruhi perilaku individu dalam menggunakan narkoba.

Ketiga paradigma ini saling terkait dan saling melengkapi dalam memahami kompleksitas hukum dan fungsinya dalam masyarakat. Paradigma fakta sosial memberikan dasar tentang aturan-aturan yang berlaku, paradigma definisi sosial menjelaskan bagaimana aturan-aturan tersebut dibentuk dan diinterpretasikan, dan paradigma perilaku sosial menunjukkan bagaimana aturan-aturan tersebut mempengaruhi perilaku manusia.

Paradigma hukum positivistik

paradigma hukum positivistik merupakan pendekatan yang memandang hukum sebagai sistem aturan yang berlaku dan terpisah dari nilai-nilai moral atau filosofi. Paradigma ini berakar pada teori hukum murni Hans Kelsen, yang menekankan pentingnya hukum positif sebagai sumber utama hukum. Hukum positivistik menekankan bahwa hukum harus diterapkan secara konsisten dan tanpa bias, dengan fokus pada kepastian hukum dan keadilan. Paradigma ini memandang hukum sebagai alat untuk menciptakan ketertiban sosial dan menyelesaikan konflik dengan cara yang adil dan objektif.

paradigma hukum konstruktivistik

Paradigma hukum konstruktivistik memandang hukum sebagai hasil konstruksi sosial yang dinamis dan fleksibel. Hukum dipandang sebagai gejala sosial yang muncul dan berkembang seiring dengan perubahan masyarakat. Hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, norma-norma, dan budaya masyarakat. Paradigma ini menekankan bahwa hukum merupakan hasil dari interaksi antara individu dan kelompok dalam masyarakat, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, ekonomi, dan politik. Hukum konstruktivistik menekankan bahwa hukum harus selalu beradaptasi dengan perubahan sosial dan selalu berusaha untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum bagi semua anggota masyarakat. Paradigma ini juga menekankan pentingnya peran penegak hukum dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, serta peran masyarakat dalam mengawasi dan memberikan masukan terhadap hukum.

Paradigma Dasar Hukum Dalam Perspektif Sosiologis

Paradigma ini memandang hukum sebagai bagian integral dari masyarakat dan melihat bagaimana hukum saling memengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial. Buku ini menguraikan beberapa teori sosiologis tentang berlakunya hukum di Indonesia, yang meliputi:

Keadilan Bermartabat dan Pancasila menurut Teguh Prasetyo:

Teori ini berpendapat bahwa tujuan akhir dari hukum adalah mewujudkan keadilan bermartabat, yaitu keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan ini dihubungkan dengan Pancasila, khususnya sila kelima yang menekankan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila Pancasila saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, sehingga keadilan dalam perspektif Pancasila merupakan perwujudan dari semua nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Sistem Hukum menurut Lawrence M. Friedman dan Berlakunya Hukum menurut Robert B. Siedman:

Friedman mendefinisikan sistem hukum sebagai gabungan dari tiga aspek: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum mencakup lembaga-lembaga pemerintahan dan penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Substansi hukum meliputi semua ketentuan hukum, nilai hukum, dan aspek hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Budaya hukum merujuk pada reaksi masyarakat terhadap hukum, termasuk pola pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka. Siedman berpendapat bahwa hukum bekerja karena masyarakat, dan kekuatan masyarakat memengaruhi proses pembentukan dan berlakunya hukum.

Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo:

Teori ini beranggapan bahwa pelaksanaan hukum tidak hanya menjalankan peraturan hukum, tetapi juga harus melaksanakan jiwa dan semangat di balik pembuatannya. Hukum progresif mempelajari perilaku masyarakat terhadap hukum, apakah mereka taat atau tidak, dan memandang hukum sebagai dasar untuk mewujudkan rasa keadilan. Hukum dalam teori ini berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjadi pendukung keadilan, bukan kesewenang-wenangan.

   Rule Breaking menurut Yusriyadi:

Teori ini berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan, perlu dilakukan terobosan hukum atau rule breaking. Terobosan ini meliputi tiga langkah: menggunakan kecerdasan spiritual untuk menemukan konsep hukum baru, menemukan arti mendalam untuk menentukan tolak ukur baru dalam pelaksanaan hukum, dan menegakkan hukum berdasarkan hati nurani, bukan hanya logika berpikir.

 Penegakan Hukum dalam Perspektif Sosiologis menurut Soerjono Soekamto:

Soekamto mendefinisikan penegakan hukum sebagai penyesuaian dan keselarasan hubungan nilai-nilai, sikap, dan kaidah dalam setiap sikap dan perbuatan untuk membentuk, menjaga, dan mempertahankan rasa damai di masyarakat. Ia juga mengemukakan empat faktor utama yang mempengaruhi penegakan hukum: peraturan hukum, penegak hukum, sarana dan prasarana, dan budaya masyarakat.

BAB 3

KEBERADAAN HUKUM RESPOSTIF DALAM EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM DI MASYARAKAT

Konsep Hukum Responsif

Konsep hukum responsif muncul sebagai respon terhadap kritik terhadap legalisme liberal yang dianggap terlalu menekankan pada otonomi hukum dan mengabaikan realitas sosial. Legalisme liberal mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Hukum dianggap mampu mengendalikan represi dan menjaga integritasnya sendiri. Namun, kritik muncul karena hukum bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan alat bagi manusia. Isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial di sekitarnya justru berdampak buruk dari sisi kebutuhan manusia. Hukum dengan mudah berubah menjadi institusi yang melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif.

Hukum responsif berusaha untuk mengatasi kelemahan ini dengan menekankan pada pentingnya hukum untuk melayani kebutuhan dan kepentingan sosial. Hukum tidak lagi hanya dijalankan oleh pejabat, melainkan juga oleh rakyat. Hal ini memerlukan upaya khusus untuk membuka jalur-jalur baru bagi partisipasi masyarakat. Hukum responsif mengandung komitmen kepada hukum dalam perspektif konsumen, di mana masyarakat memiliki hak untuk menuntut agar sistem hukum memenuhi kebutuhan mereka.

Perbedaan Tipe Hukum Represif, hukum Responsif dan Hukum Otonom

Nonet dan Selznick mengidentifikasi tiga tipe hukum: hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Ketiga tipe ini menggambarkan dilema antara integritas dan keterbukaan dalam institusi hukum.

Hukum Represif: Hukum ini digunakan untuk menjaga ketertiban dan keamanan dengan cara represif, tanpa memperhatikan keadilan substantif. Hukum ini cenderung menjadi alat bagi penguasa untuk menekan dan mengendalikan masyarakat.

Hukum Otonom: Hukum ini menekankan pada otonomi hukum dan integritas institusional, namun cenderung mengabaikan kebutuhan sosial. Hukum ini berusaha untuk menjaga independensi dan integritasnya dengan mengisolasi diri dari pengaruh politik dan sosial.

Hukum Responsif: Hukum ini berusaha untuk mengatasi ketegangan antara integritas dan keterbukaan, serta menekankan pada keadilan substantif dan partisipasi masyarakat. Hukum ini berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosial dalam proses pembentukan dan penerapan hukum, serta membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Penulis kemudian membahas tentang konfigurasi politik demokratis dan otoriter, serta bagaimana konfigurasi politik tersebut memengaruhi karakter produk hukum. Penulis menyimpulkan bahwa hukum di Indonesia cenderung lebih dekat dengan tipe hukum otonom, namun juga memiliki elemen-elemen hukum represif. Penulis kemudian menguraikan karakteristik hukum responsif, seperti pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta pentingnya partisipasi masyarakat. Penulis juga membahas tentang peran tujuan dalam hukum responsif dan bagaimana tujuan dapat mengontrol diskresi administratif dan mengurangi risiko penyerahan institusional.Penulis kemudian membandingkan hukum responsif dengan hukum otonom, serta membahas tentang Critical Legal Studies yang menolak anggapan ahli hukum tradisional tentang objektivitas, kepastian, dan netralitas hukum. Penulis menjelaskan bahwa hukum responsif berusaha untuk mengatasi ketegangan antara integritas dan keterbukaan, serta menekankan pada perlunya tatanan nilai-nilai yang lebih mengarah kepada pembentukan hukum responsif.

BAB 4

PERUBAHAN SOSIAL

Pengertian Perubahan Sosial

Perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya. Perubahan ini meliputi perubahan nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku antar kelompok dalam masyarakat. Perubahan sosial dapat bersifat positif atau negatif, dan merupakan proses yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Penulis kemudian menguraikan beberapa pandangan para ahli tentang perubahan sosial, antara lain:

 Kingsley Davis: Perubahan sosial adalah perubahan dalam susunan dan fungsi masyarakat yang diatur dan berjalan. Contohnya, munculnya serikat buruh di negara kapitalisme dan industri merupakan transformasi sosial yang memengaruhi interaksi antara majikan dan karyawan.

Mac Iver: Perubahan sosial membentuk perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.

Selo Soemarjan: Perubahan sosial identik dengan perubahan pranata sosial dalam suatu masyarakat yang berdampak pada struktur sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok sosial.

William Ogburn: Perubahan sosial meliputi budaya berwujud dan tidak berwujud yang berkontribusi pada perubahan sosial.

Teori-Teori Perubahan Sosial

Teori Evolusi: Teori ini berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena perubahan cara pembentukan organisasi masyarakat dan sistem kerja, dari sederhana ke kompleks. Tonnies, salah satu tokoh teori evolusi, berpendapat bahwa masyarakat berkembang dari tingkat sederhana ke tingkat kompleks.

Teori Konflik: Teori ini berpendapat bahwa konflik antar kelompok sosial menjadi pendorong utama perubahan sosial. Karl Marx dan Ralf Dahrendorf, tokoh utama teori konflik, berpendapat bahwa masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu kelas borjuis (golongan menengah ke atas) dan kelas proletary (golongan proletariat).

Teori Dahrendorf: Teori ini menjelaskan keterkaitan antara keseimbangan tatanan masyarakat dengan perubahan sosial. Dahrendorf berpendapat bahwa nilai-nilai sosial akan berubah sesuai dengan susunan kelas sosial dan konflik akan terjadi jika kepentingan antar kelompok berbeda.

Teori Siklus: Teori ini menggambarkan perubahan sosial sebagai siklus yang berputar, di mana perputaran zaman tidak dapat dihindari dan dikendalikan. Teori ini berpendapat bahwa bangkit dan mundurnya peradaban suatu bangsa memiliki hubungan timbal balik antara tantangan dan komentar.

Faktor-Faktor Perubahan Sosial

Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan sosial, baik internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi:

Perubahan Populasi: Perubahan jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan komposisi penduduk dapat memengaruhi struktur sosial dan fungsi masyarakat.

 Penemuan Baru: Penemuan baru dalam berbagai bidang, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, dan seni, dapat memicu perubahan sosial.

Konflik: Konflik antar kelompok sosial, seperti konflik antar kelas, antar suku, antar agama, dapat menjadi pendorong perubahan sosial.

Pemberontakan/Revolusi: Pemberontakan atau revolusi merupakan bentuk perubahan sosial yang radikal dan biasanya terjadi karena ketidakpuasan terhadap sistem sosial yang ada.

Faktor eksternal meliputi:

Perang: Perang dapat menyebabkan perubahan sosial yang besar, seperti perubahan batas wilayah, perubahan struktur sosial, dan perubahan nilai-nilai sosial.

Pergeseran Kondisi Alam: Perubahan iklim, bencana alam, dan perubahan kondisi geografis dapat memengaruhi kehidupan masyarakat dan memicu perubahan sosial.

Pengaruh Budaya dari Kelompok Lain: Kontak antar kelompok masyarakat dapat menyebabkan difusi budaya, yaitu penyebaran unsur-unsur budaya dari satu kelompok ke kelompok lain, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perubahan sosial.

Selain faktor-faktor internal dan eksternal, terdapat juga faktor pendorong perubahan sosial, seperti:

Interaksi dengan Masyarakat Lain: Kontak dan interaksi dengan masyarakat lain dapat memperkenalkan ide-ide baru, teknologi baru, dan nilai-nilai baru yang dapat memicu perubahan sosial.

Difusi Budaya: Penyebaran unsur-unsur budaya dari satu kelompok ke kelompok lain dapat menyebabkan perubahan sosial.

Tingkat Pendidikan yang Tinggi: Pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai hal dan mendorong mereka untuk melakukan perubahan.

Dorongan untuk Maju: Keinginan untuk meningkatkan taraf hidup dan mencapai kemajuan dapat menjadi pendorong perubahan sosial.

Toleransi: Sikap toleran terhadap perbedaan dapat mempermudah proses perubahan sosial.

Sistem Stratifikasi Sosial yang Terbuka: Sistem stratifikasi sosial yang terbuka memungkinkan mobilitas sosial, yaitu pergerakan individu dari satu lapisan sosial ke lapisan sosial lain, yang dapat memicu perubahan sosial.

 Penduduk yang Beragam: Keberagaman penduduk, baik dalam hal suku, agama, ras, maupun budaya, dapat menciptakan dinamika sosial yang dapat memicu perubahan sosial.

Faktor penghambat perubahan sosial meliputi:

Kurangnya Interaksi dengan Masyarakat Lain: Sikap tradisional, tertutup, dan panatik terhadap adat istiadat dan kebiasaan dapat menghambat perubahan sosial.

Masyarakat Tradisional: Mas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun