Mohon tunggu...
Ririn Ayu
Ririn Ayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutukan Kue Klepon

23 Februari 2017   20:45 Diperbarui: 24 Februari 2017   06:00 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menatap Karla dengan mata menusuk. Permintaan macam itu sungguh tidak mutu. Mana mungkin hal seajaib itu ada di dunia kalau bukan hanya hasil rekayasa adik perempuanku satu-satunya itu.

“Beneran. Dia pesan klepon,” wajahnya masih menampakan raut muka polos.

Aku menggertakan gigi. Ini alien darimana yang kehilangan arah hingga nyasar ke bumi. Aku berjalan ke depan toko dengan langkah panjang. Mendongakan kepala, memandang plakat besar yang menandai toko kami. Mungkin saja dalam semalam terjadi perubahan nama toko, siapa tahu bukan. Masih sama seperti yang kemarin.  Fansa cake dan pastry.

Aku mendengus. Menghela napas berat. Kepalaku menggeleng pelan. Nama toko masih sama, mungkin hanya orang gila. Aku berjalan masuk kembali ke dalam toko.

“Dia pasti orang gila,” aku mengibaskan tanganku.

Aku masih bisa mendengar Karla mendengus tapi aku tidak peduli. Kakiku melangkah masuk kembali ke dapur.

 “Kak...,” suara Karla kembali terdengar.

“Apa?”

“Dia menelepon lagi.”

 “Huh?”

Karla menggelengkan kepala. “Dia memesan enam kotak klepon dengan enam varian rasa.”

Aku menghela napas berat. Siapa pedagang di dunia ini yang tidak senang mendapatkan pelanggan? Akan tetapi, bukan pelanggan semacam ini juga. Ini sudah hari keenam dan kami menghitung dia menelepon lebih dari tujuh ratus kali. Wajar saja, beberapa pelangganku mulai protes karenaline telepon selalu sibuk. Psikopat dari planet mana. Dia menghalangi aliran rejeki masuk ke kantongku. Memesan hal tidak masuk akal. Klepon. Astaga! Makanan  itu bisa dicari di pasar tradisional. Kenapa harus kami sih? Lebih tepatnya kenapa harus aku sih?

Aku mengirimkan tatapan menusuk ke arah adikku. Karla kembali mengirimkan tatapan laser, matanya seolah mengatakan “ini di luar kontrolku, itu pelangganmu”.

“Minta transfer uangnya!” aku menyerah.  Demi kemaslahatan umat manusia, lebih baik aku menuruti pelanggan gila ini.

“Dia sudah membayar untuk semua pesanannya,” Karla menunjuk bukti transfer yang dikirim oleh pelanggan gila itu.

Mataku membesar melihat nominal uang yang baru saja masuk. Jumlah nol di belakang angka pertama membuatku nyaris tersedak. Itu lebih dari cukup untuk membeli semua kue paling mahal toko ini.

“Kak...,” suara Karla mulai terdengar takut.

“Apa?” suaraku keluar dengan sengit.

“Dia minta kau yang mengantarkannya sendiri.”                      

“Oh, Tuhanku!” aku meremas rambut frustasi. “Batalkan!”

“Uangnya kan sudah di transfer, tidak bisa di batalkan.”

“Aku belum menentukan harganya, kita kembalikan uangnya,” kakiku melangkah lebar mendekati adikku.

 “Sudahlah, dia sudah membayar lebih dari cukup. Kapan lagi kita mendapatkan pelanggan pemurah semacam ini,”Karla mengedipkan matanya.

“Mata duitan!” aku berdecak kesal.

 “Urus dulu pesanan klepon itu!”

“Kau saja! Aku lihat kau naksir.”

“Kak, Ayolah!” Karla mulai gelendotan manja di lenganku. Aku mendorongnya menjauh. Dia masih saja menempel ala lintah.

“Yayayaya?”

Aku mendengus. “Iya.”

Karla langsung melepaskan pegangannya dan bergerak mendekati tembok. “Dia ingin klepon itu diantarkan besok pukul dua siang tepat.”

“Apa?” aku melotot sejadi-jadinya.

Pesanan aneh dan mendadak, aku harus menyelesaikan semua pesanan lain.

“Pelanggan kita bagaimana?” aku memberikan tatapan skeptis.

“Kau libur, besok,” Karla menjawab pelan dan membuang muka.

Aku menggertakan gigi, sebal dengan kelakuan seenaknya Karla. Mataku beralih pada buku catatan berisi pesanan Si Pelanggan aneh. 181 butir klepon isi nanas, 220 butir klepon isi strawberry, 12 klepon isi cokelat, 140 klepon isi kacang hijau, 220 klepon isi keju dan 17 biji klepon isi gula merah. Pesanan dengan jumlah terlalu tepat malah membuatnya semakin aneh.

~*~

Aku memandang butiran klepon yang mulai mengambang di permukaan panci. Mataku beralih pada lima kotak klepon lain yang telah siap. Apa boleh buat? Pelanggan tetaplah pelanggan, walau pesanannya aneh-aneh. Aku melirik jam dinding, masih satu jam lagi sebelum waktunya tiba untuk mengantarkan klepon itu. Waktuku tidak banyak lagi.

Aku buru-buru meniriskan butiran-butiran klepon terakhir dan memasukkannya ke dalam kotak. Jemariku dengan cekatan menaburkan parutan kelapa membaluri seluruh bola-bola klpeon di dalam kotak. Senyuman terbentuk di bibirku, enam kotak klepon itu sudah siap. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa memasak makanan itu lagi. Aku menghela napas berat. Aku sudah lama melupakan masakan satu ini. Melupakannya setelah dia meninggalkanku.

 Kakiku melangkah pelan memasuki jalanan kecil. Aku memeriksa alamat pemesan kue klepon itu berulang kali.  Kini aku berdiri di depan bangunan lantai dua yang tampak kosong dan sepi. Sebuah meja berkaki tiga terpasang rapi di sisi kanan bangunan. Mirip sebuah penanda kalau pemilik rumah. Mungkin agak tidak seimbang layaknya meja berkaki tiga.

Ujung jari telunjukku menekan bel empat kali. Tidak ada sahutan. Aku melirik jam tanganku, hampir pukul dua siang

“Karin!”

Aku menoleh saat mendengar suara yang tidak asing itu. Wajahnya masih sama seperti dulu. Kacamata minus juga masih bertengger di depan matanya.

“Noe?” suaraku bergema tidak yakin.

“Apa kabar?” Noe berdiri tepat di depanku.

Jantungku mulai berdegup kencang. Kenangan demi kenangan mulai berkejaran di dalam pikiranku. Dia, Noe yang sama seperti dulu. Noe, mantan kekasihku.

“Ba-baik,” aku berusaha melemparkan senyuman terbaikku walau mungkin hasilnya tampak mengerikan. Sungguh rasanya aku ingin menampar bibirku sekarang juga. Kenapa pula suara ini gagap dan bibirku gemetar.

“Ayo masuk!”

Seharusnya aku marah, menamparnya atau menjejalkan semua butiran klepon itu ke dalam saku kemejanya. Dia meninggalkanku begitu saja dengan dalih mengejar mimpi. Noe pergi tanpa pamit setelah dia melanjutkan sekolahnya ke Perancis. Akan tetapi, aku hanya meremas jemariku. Mengikutinya berjalan masuk mirip orang kerasukan. Aku menaruh kantong plastik di meja. Membanting pantatku di kursi saat dia mempersilahkanku duduk. Kini, aku menatap pria itu kini membongkar kue klepon pesanannya.  Mengambil satu butir dan mengunyahnya.

“Masih sama seperti dulu, enak.” Noe kini mengalihkan matanya padaku.

“Aku permisi,” aku buru-buru berdiri.

“Kenapa buru-buru?”

Noe menarik lenganku. Aku menarik napas pelan, ingin memuntir tangan pria ini sekarang juga. Dia tersenyum. Manis dan polos seperti yang terbayang dalam ingatanku.

“Kau tahu kenapa aku memesan kue ini padamu?”

“Untuk menyusahkanku.”

Dia menggeleng. “Untuk mengingatkanmu akan mimpi-mimpimu, mimpi-mimpi kita.”

“Mimpi katamu?” aku nyaris menjerit.

Dialah yang memupuk mimpi itu, mengatakan bahwa kami akan bersama-sama mengembangkan kuliner nusantara ke ranah dunia. Membuat klepon dengan rasa internasional hingga membuat kue wajik menjadi hidangan penutup mewah khas hotel bintang lima.

“Ya, mimpi. Kau lupa kenapa aku memesan klepon dalam berbagai varian rasa, itu mimpimu, mimpi kita.”

“Mimpi yang kau hancurkan kala kau pergi meninggalkanku?”

“Aku tidak meninggalkanmu, Karin. Aku hanya mengejar mimpiku yang lain.” Noe masih memutar pendapatnya, inilah yang aku benci dari pria ini. Kepandaiannya bersilat lidah.

“Aku juga sudah memiliki mimpi yang lain.”

“Aku tahu.” suara Noe melembut. “Maafkan aku.”

“Itu kau tahu.”

“Apa kau tahu alasan aku memesan kue itu dalam angka yang tertentu?”

“Apa aku perlu tahu?”

“Mendengarkan alasanku tidak akan membuatmu sakit. setidaknya dengarkan aku sekali ini saja,” suara Noe sehalus beludru, inilah saat dia mulai menghipnotis dengan kata-kata manis. “Kita bisa memulai dari awal, Karin.” Dia meraih jemariku.

Aku menarik napas pelan. Aku menatapnya. “Kau bisa memulainya dari awal, aku akan memulai dengan caraku.”

Aku ingin melupakan semuanya tentang pria ini. Noe meraih tanganku, mendekapku dari belakang. Aku berontak tapi lengannya mengunci tubuhku.

“Dengarkan aku dulu!” suaranya lembut, namun ada penekanan di dalamnya. “Sejak 18 Desember 2012 hingga hari ini, aku tidak pernah melupakanmu, Karin.”

Aku berdecak kesal. “Pembohong!”

Noe menggeser kepalanya. Napasnya berhembus lembut menerpa daun telingaku. “181 butir klepon isi nanas, 220 butir klepon isi strawberry, 12 klepon isi cokelat, 140 klepon isi kacang hijau, 220 klepon isi keju dan 17 biji klepon isi gula merah. 18122012 saat aku meninggalkanmu dan 14022017, saat aku memutuskan untuk menemuimu kembali,” Noe kembali berbisik.

“Noe!”

“Kau tahu aku tidak suka makanan manis tapi aku memesan tujuh belas buah kue klepon isi gula merah,” Noe tidak mendengarkanku. Selalu begitu.

“Terserah kau saja!” Aku membuang muka lalu mengipasi mukaku yang memanas dengan tangan. Terlalu takut dengan kecepatan detak jantungku yang kembali berpacu. Aku bukan anak remaja.

“Tujuh belas untuk tahun ini, akhir penantianku. Tujuh belas untuk salah satu bilangan prima yang hanya bisa dibagi dengan angka satu. Karena aku dan kau adalah satu.”

“Kau ini koki atau pujangga?” aku menyahut sinis tanpa bisa menyembunyikan senyuman di bibirku.

Noe menarik napas pelan. “Tujuh belas itu angka satu dan tujuh yang kalau dijumlah akan menghasilkan delapan. Infinity, simbol keabadian. Keabadian cinta kita yang manis yang layaknya gula merah.”

 “Aku akan mengambil hatimu kembali.”

Senyuman terbentuk di bibirku. “Sayangnya hatiku sudah ada yang memiliki.” Kali ini aku berbisik.

“Apa?” Noe tidak bisa menutupi kekagetan dalam suaranya.

“Aku akan menikah, bulan depan,” aku mengangkat tangan kiriku, menunjukan cincin yang kini melingkar di jari manisku.

Noe melonggarkan pelukannya. Berlahan-lahan dia melepaskanku. Aku berbalik menatapnya. Matanya memandang tak percaya.

“Wanita lebih membutuhkan perlakuan yang manis daripada kata-kata manis, Noe.” Aku tersenyum. “Selamat tinggal.”

Aku berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Noe yang masih berdiri mematung di tempatnya. Membuka pintu depan dengan perasaan lega. Aku melambaikan tangan ke arah pria yang kini berdiri di samping motornya. Memberikan senyuman cerah ke arahku.

Merebut hatiku kembali tidak semudah membuat kue klepon. Karena hati bukan adonan yang bisa dibentuk dan diisi apa pun sesuka hati. Meski begitu, aku ingin mengisi hatiku dengan yang isian manis. Sayang isian manis itu telah dibawa pria lain ke dalam hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun