“Kau libur, besok,” Karla menjawab pelan dan membuang muka.
Aku menggertakan gigi, sebal dengan kelakuan seenaknya Karla. Mataku beralih pada buku catatan berisi pesanan Si Pelanggan aneh. 181 butir klepon isi nanas, 220 butir klepon isi strawberry, 12 klepon isi cokelat, 140 klepon isi kacang hijau, 220 klepon isi keju dan 17 biji klepon isi gula merah. Pesanan dengan jumlah terlalu tepat malah membuatnya semakin aneh.
~*~
Aku memandang butiran klepon yang mulai mengambang di permukaan panci. Mataku beralih pada lima kotak klepon lain yang telah siap. Apa boleh buat? Pelanggan tetaplah pelanggan, walau pesanannya aneh-aneh. Aku melirik jam dinding, masih satu jam lagi sebelum waktunya tiba untuk mengantarkan klepon itu. Waktuku tidak banyak lagi.
Aku buru-buru meniriskan butiran-butiran klepon terakhir dan memasukkannya ke dalam kotak. Jemariku dengan cekatan menaburkan parutan kelapa membaluri seluruh bola-bola klpeon di dalam kotak. Senyuman terbentuk di bibirku, enam kotak klepon itu sudah siap. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa memasak makanan itu lagi. Aku menghela napas berat. Aku sudah lama melupakan masakan satu ini. Melupakannya setelah dia meninggalkanku.
Kakiku melangkah pelan memasuki jalanan kecil. Aku memeriksa alamat pemesan kue klepon itu berulang kali. Kini aku berdiri di depan bangunan lantai dua yang tampak kosong dan sepi. Sebuah meja berkaki tiga terpasang rapi di sisi kanan bangunan. Mirip sebuah penanda kalau pemilik rumah. Mungkin agak tidak seimbang layaknya meja berkaki tiga.
Ujung jari telunjukku menekan bel empat kali. Tidak ada sahutan. Aku melirik jam tanganku, hampir pukul dua siang
“Karin!”
Aku menoleh saat mendengar suara yang tidak asing itu. Wajahnya masih sama seperti dulu. Kacamata minus juga masih bertengger di depan matanya.
“Noe?” suaraku bergema tidak yakin.
“Apa kabar?” Noe berdiri tepat di depanku.