Jantungku mulai berdegup kencang. Kenangan demi kenangan mulai berkejaran di dalam pikiranku. Dia, Noe yang sama seperti dulu. Noe, mantan kekasihku.
“Ba-baik,” aku berusaha melemparkan senyuman terbaikku walau mungkin hasilnya tampak mengerikan. Sungguh rasanya aku ingin menampar bibirku sekarang juga. Kenapa pula suara ini gagap dan bibirku gemetar.
“Ayo masuk!”
Seharusnya aku marah, menamparnya atau menjejalkan semua butiran klepon itu ke dalam saku kemejanya. Dia meninggalkanku begitu saja dengan dalih mengejar mimpi. Noe pergi tanpa pamit setelah dia melanjutkan sekolahnya ke Perancis. Akan tetapi, aku hanya meremas jemariku. Mengikutinya berjalan masuk mirip orang kerasukan. Aku menaruh kantong plastik di meja. Membanting pantatku di kursi saat dia mempersilahkanku duduk. Kini, aku menatap pria itu kini membongkar kue klepon pesanannya. Mengambil satu butir dan mengunyahnya.
“Masih sama seperti dulu, enak.” Noe kini mengalihkan matanya padaku.
“Aku permisi,” aku buru-buru berdiri.
“Kenapa buru-buru?”
Noe menarik lenganku. Aku menarik napas pelan, ingin memuntir tangan pria ini sekarang juga. Dia tersenyum. Manis dan polos seperti yang terbayang dalam ingatanku.
“Kau tahu kenapa aku memesan kue ini padamu?”
“Untuk menyusahkanku.”
Dia menggeleng. “Untuk mengingatkanmu akan mimpi-mimpimu, mimpi-mimpi kita.”