“Mimpi katamu?” aku nyaris menjerit.
Dialah yang memupuk mimpi itu, mengatakan bahwa kami akan bersama-sama mengembangkan kuliner nusantara ke ranah dunia. Membuat klepon dengan rasa internasional hingga membuat kue wajik menjadi hidangan penutup mewah khas hotel bintang lima.
“Ya, mimpi. Kau lupa kenapa aku memesan klepon dalam berbagai varian rasa, itu mimpimu, mimpi kita.”
“Mimpi yang kau hancurkan kala kau pergi meninggalkanku?”
“Aku tidak meninggalkanmu, Karin. Aku hanya mengejar mimpiku yang lain.” Noe masih memutar pendapatnya, inilah yang aku benci dari pria ini. Kepandaiannya bersilat lidah.
“Aku juga sudah memiliki mimpi yang lain.”
“Aku tahu.” suara Noe melembut. “Maafkan aku.”
“Itu kau tahu.”
“Apa kau tahu alasan aku memesan kue itu dalam angka yang tertentu?”
“Apa aku perlu tahu?”
“Mendengarkan alasanku tidak akan membuatmu sakit. setidaknya dengarkan aku sekali ini saja,” suara Noe sehalus beludru, inilah saat dia mulai menghipnotis dengan kata-kata manis. “Kita bisa memulai dari awal, Karin.” Dia meraih jemariku.