Aku menarik napas pelan. Aku menatapnya. “Kau bisa memulainya dari awal, aku akan memulai dengan caraku.”
Aku ingin melupakan semuanya tentang pria ini. Noe meraih tanganku, mendekapku dari belakang. Aku berontak tapi lengannya mengunci tubuhku.
“Dengarkan aku dulu!” suaranya lembut, namun ada penekanan di dalamnya. “Sejak 18 Desember 2012 hingga hari ini, aku tidak pernah melupakanmu, Karin.”
Aku berdecak kesal. “Pembohong!”
Noe menggeser kepalanya. Napasnya berhembus lembut menerpa daun telingaku. “181 butir klepon isi nanas, 220 butir klepon isi strawberry, 12 klepon isi cokelat, 140 klepon isi kacang hijau, 220 klepon isi keju dan 17 biji klepon isi gula merah. 18122012 saat aku meninggalkanmu dan 14022017, saat aku memutuskan untuk menemuimu kembali,” Noe kembali berbisik.
“Noe!”
“Kau tahu aku tidak suka makanan manis tapi aku memesan tujuh belas buah kue klepon isi gula merah,” Noe tidak mendengarkanku. Selalu begitu.
“Terserah kau saja!” Aku membuang muka lalu mengipasi mukaku yang memanas dengan tangan. Terlalu takut dengan kecepatan detak jantungku yang kembali berpacu. Aku bukan anak remaja.
“Tujuh belas untuk tahun ini, akhir penantianku. Tujuh belas untuk salah satu bilangan prima yang hanya bisa dibagi dengan angka satu. Karena aku dan kau adalah satu.”
“Kau ini koki atau pujangga?” aku menyahut sinis tanpa bisa menyembunyikan senyuman di bibirku.
Noe menarik napas pelan. “Tujuh belas itu angka satu dan tujuh yang kalau dijumlah akan menghasilkan delapan. Infinity, simbol keabadian. Keabadian cinta kita yang manis yang layaknya gula merah.”