Mohon tunggu...
Rin Muna
Rin Muna Mohon Tunggu... Penulis - Follow ig @rin.muna

Walrina Munangsir Penulis Juara Favorite Duta Baca Kaltim 2018 Pemuda Pelopor Kaltim 2019 Founder Taman Bacaan Bunga Kertas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

FanFiction | Sakura dan Katara

10 Desember 2018   12:51 Diperbarui: 10 Desember 2018   12:55 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sakura masih terpaku di balkon apartemen miliknya. Sudah dua bulan lamanya Katara tak kunjung membalas surat yang ia kirimkan. Tak seperti biasanya yang selalu membalas surat dengan cepat dan selalu mengirimkan foto-foto keseharian Katara lewat surat.

Zaman sudah canggih, tapi Sakura dan Katara memilih untuk saling berkirim surat. Mereka tidak pernah bertukar nomer telepon atau bahkan akun sosial media mereka. Pertama kali mereka berkenalan saat Sakura mengunjungi sebuah tempat di Sulawesi Barat. Pertemuan pertama di Bandara Sultan Hasanuddin  itu menjadi sebuah pertemuan yang penuh arti. Sakura dan Katara langsung akrab dan begitu dekat.

"Bagaimana kalau kita saling berkirim surat?" Sakura begitu antusias, sementara Katara hanya mengernyitkan dahi mendengar ucapan Sakura hari itu. Tapi kemudian keduanya sepakat untuk saling berkirim surat. Sakura memberikan secarik kertas alamat tinggalnya di Jakarta, begitu juga sebaliknya dengan Katara yang memberikan alamat tinggalnya di daerah PolMan (Polewali Mandar).

Sejak pertemuan itu, mereka sering berkirim surat lewat Pos Indonesia. Ada kebahagiaan tersendiri bagi Sakura ketika menerima surat balasan dari Katara. Namun, sudah lama Katara tidak membalas surat dari Sakura. Hal ini membuat Sakura menjadi resah. Ingin sekali ia datang ke alamat yang tertera di amplop surat ia kirimkan. Agar ia tahu mengapa tiba-tiba Katara tak lagi membalas surat-surat kirimannya.

"Sakura, sudah siap?" Suara ibunya, Maruko membuyarkan lamunannya.

Sakura menghela napas kecewa. Tangan kanannya masih menggenggam amplop kecil berwarna cyan yang siap ia kirimkan ke alamat rumah Katara.

Hari ini, kedua orang tua Sakura kembali berpindah tempat. Pekerjaan yang membuat mereka harus sering berpindah. Begitu juga dengan Sakura. Itulah sebabnya Sakura tidak pernah memiliki sahabat yang akrab dengannya. Awalnya ia bersekolah di sekolah umum ketika nenek dan kakeknya masih hidup. Namun, ketika mereka sudah tiada. Sakura harus ikut kedua orang tuanya berpindah-pindah dan akhirnya memilih pendidikan informal.

Hari ini mereka bersiap menuju Yokohama, Jepang. Entah untuk berapa lama. Sebulan, dua bulan, tiga bulan atau bahkan bertahun-tahun. Sakura sendiri tidak bisa menebaknya.

"Ayo ...!" Sekali lagi Maruko mengingatkan Sakura agar bergegas, mereka harus tiba di Bandara tepat waktu.

Sakura menganggukkan kepalanya. "Mampir ke kantor Pos dulu ya, Ma."

Maruko mengangguk, merangkul putri kesayangannya. Ia paham dengan perubahan anaknya beberapa bulan belakangan ini. Ia sering mampir ke kantor pos untuk mengirim surat, juga sering menerima surat. Ia hanya belum bertanya siapa orang yang berkirim surat dengannya. Wanita atau laki-laki? Bagi Maruko, rona wajah bahagia Sakura lebih penting ia saksikan ketimbang bertanya siapa someone yang sering berkirim surat dengannya.

"Kamu kenapa?" tanya Maruko ketika melihat wajah Sakura muram. Tak seperti biasanya yang selalu bahagia ketika mengirimkan surat-suratnya. Kali ini ia lebih banyak diam dan murung sepanjang perjalanan.

"Dia tidak lagi membalas surat-suratku."

"Kenapa?"

Sakura menggelengkan kepalanya. "Semua tiba-tiba saja. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Katara, kenapa dia tidak membalas suratku."

"Katara?"

"Iya. Katara adalah sahabat penaku. Aku menjadi suka berkirim surat sejak mengenalnya. Dia seringkali mengirimkan puisi-puisi indah untukku."

"Bagaimana jika kamu telepon saja?"

"Kami tidak saling bertukar nomor telepon. Hanya alamat rumah saja untuk berkirim surat." Wajah Sakura masih murung mengingat Katara yang tidak juga membalas surat-suratnya.

"Mungkin, sahabat kamu sedang sibuk sehingga belum punya waktu untuk membalas surat-suratmu." Ayah Sakura yang sedari tadi hanya jadi pendengar, kini ikut bicara.

"Tapi Ayah ... kalau dia baik-baik saja. Seharusnya dia membalas suratku, sesibuk apa pun harusnya masih ada waktu untuk menulis surat. Sudah dua bulan ini dia tidak membalasnya. Bagaimana aku tidak khawatir? Bisa jadi, terjadi sesuatu dengan Katara di sana." Sakura masih diselimuti perasaan gelisah sampai mereka turun dari taksi setibanya di Bandara.

"Positif thinking, dia pasti baik-baik saja." Maruko menggenggam jemari Sakura.

"Tapi, Ma---"

"Percayalah! Semua akan baik-baik saja." Mereka berjalan beriringan menuju pintu keberangkatan internasional.

Selama tujuh jam perjalanan udara, Sakura sibuk menuliskan isi hatinya ke dalam buku diary berwarna purple kesayangannya. Ia rindu pada Katara, ia berharap Katara akan membalas suratnya secepatnya.

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya.

Tiba-tiba menghilang tanpa pesan.

Tiba-tiba menghilang tanpa sebab.

Adakah kata yang membuatnya luka?

Adakah kata yang menghadirkan duka?

Mengapa? Tanpa sebab ia tinggalkan cerita ...

Saat aku berharap banyak, dia menjadi satu-satunya cinta dalam cerita yang menghadirkan aroma berbeda. Aku mencintainya sebagai sahabat. Yang aku harap hadir selalu untuk setiap ceritaku.

Namun, keadaan memang berbeda.

Aku dan dia terlampau jarak yang tak kan mampu kubuang.

Dan aku masih di sini, menunggu sapaan indahmu ...

Sakura, 15 November 2018

Teruntuk Sahabatku ... Katara [My Lovely Sense]

Sakura menutup diary miliknya, memeluknya erat seperti rasa rindu yang ia rasakan. Hingga ia terlelap di atas awan. Membawa kerinduannya terbang melayang.

Katara ... bisakah kita bertemu lagi? Aku rindu ...

Aku baru saja bangun ketika ponselku berdering. Panggilan telepon dari Minato membangunkanku, dia sudah ada di depan pintu rumah sekarang. Aku bergegas keluar kamar dan membukakan pintu.

"Hai ... Sakura!" sapa Minato begitu ceria, ia masuk ke dalam rumah.

"Kenapa baru datang? Bukankah seharusnya kamu mengunjungiku 3 hari yang lalu?" Sakura menutup pintu dan mengikuti langkah Minato yang sudah terlebih dahulu nyelonong masuk ke dalam rumah.

"Aku sibuk sekali." Minato menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berseberangan dengan tungku pemanas api. Kebetulan sedang musim dingin dan aku menyalakan tungku untuk menghangatkan ruangan.

"Kamu mau minum apa?" tanyaku sambil ngeloyor ke dapur.

"Apa saja, asal jangan minuman dingin. Di luar cuaca dingin sekali." Minato menghela napas sembari melonggarkan kancing kemeja atasnya.

Aku membuat dua cangkir cokelat hangat, kemudian menghampiri Minato yang masih menyandarkan tubuhnya sembari memandang langit-langit ruangan.

Sesaat kami terdiam dalam pikiran masing-masing.

"Bagaimana suasana di Indonesia? Kamu suka? Lama sekali kamu tinggal di sana." Minato akhirnya membuka pembicaraan.

Aku menganggukkan kepala. "Aku suka dengan keramahannya. Dan---"

"Pria Indonesia?" Minato memotong kalimatku.

"Apaan? Tidak ada satu pun."

"Lalu? Surat itu untuk siapa? Tujuannya ke Indonesia, bukan?" Minato melirik amplop surat kecil yang tergeletak begitu saja di atas meja.

"Oh ... itu untuk Katara."

"Katara? Siapa dia?"

"Sahabat penaku."

"Uhuk ... uhuk ...." Tiba-tiba Minato tersedak minumannya sendiri.

"Kenapa?" Aku menatapnya heran.

"Zaman sekarang masih ada sahabat pena? Bukankah bisa dengan mudah menelepon, chat atau email?" cerocos Minato.

Aku menggelengkan kepala. "Kami sudah berkomitmen hanya untuk saling berkirim surat. Hanya bertukar alamat rumah. Kami tidak bertukar alamat email, akun media sosial atau pun nomor telepon."

"Lucu sekali." Minato terkekeh menatap wajahku yang sedang murung.

"Kenapa ditertawakan?" Aku mendengus ke arahnya.

Minato masih saja menahan tawa.

"Aku serius!"

"Seserius itu hanya untuk sahabat pena?"

"Kami sudah pernah bertemu."

"So?"

"Dia sekarang menghilang. Aku sudah mengirimkan puluhan surat dan tidak ada yang dibalas. Itu surat yang ingin aku kirim untuknya. Tapi, aku ragu. Hingga saat ini belum aku kirimkan."

"Apa alasan dia tidak membalas suratmu?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Kalau aku tahu, aku tidak akan segelisah ini."

 "Apa yang membuatmu gelisah?"

"Dia tidak membalas suratku."

"Aku tahu itu. Tapi, kenapa kamu gelisah? Bukankah dia hanya sahabat pena?"

"Entahlah ... aku merasa dia begitu baik. Selalu berbagi dan aku merasa nyaman."

"Mungkin saja dia sibuk, sehingga tidak sempat membalas surat-suratmu. Pasti dia akan membalasnya nanti."

Aku menghela napas. "Semoga saja."

"Berapa lama akan tinggal di Jepang?" tanya Minato kemudian.

Aku menggelengkan kepala sembari menyeruput cokelat hangat. "Aku hanya mengikuti ke mana ayah dan mama akan membawaku."

"Bukankah kamu sudah bisa membuat pilihan sendiri, di mana kamu akan tinggal?"

"Tidak untuk saat ini. Mereka masih belum percaya jika aku sendirian."

"Oh ya? Dari semua negara yang sudah pernah kamu kunjungi. Negara mana yang ingin kamu tinggali untuk menghabiskan seluruh hidupmu?" Minato tersenyum manis menatapku.

"Indonesia, dong."

"Why?"

"Karena aku masih berkewarganegaraan Indonesia, hehehe."

Minato tersenyum sembari mengacak rambutnya sendiri. "Apa kamu akan membawaku ke sana?" Minato mendekatkan wajahnya.

Aku menjauhkan wajahku darinya. "Untuk apa?"

"Untuk kamu kenalkan aku dengan Katara, mungkin."

"Katara tidak tinggal satu kota denganku. Aku tinggal di Jakarta, sementara dia di Polewali Mandar."

"Bukankah itu dekat? Kamu saja bisa sampai ke sini. Kalau tidak bisa dengan Katara, aku mau juga dengan sahabatnya Katara."

Aku mengernyitkan dahiku. Mencibirkan bibir sembari memutar bola mata. "Ada Aang, sahabat Katara. Kau mau dengannya?"

"Aang? Apa dia wanita?"

Aku menggelengkan kepala sembari menahan tawa.

"Apa aku terlihat seperti laki-laki yang tidak normal?"

"Hmm ..." Aku memutar bola mata sembari berpikir.

Minato menjepit hidungku dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Kamu tuh gemesin banget sih!?"

"Apaan sih? Sakit tau!" Aku mengelus hidungku yang terasa sakit.

"Hehehe. Jadi, gimana?"

"Gimana apanya?"

"Surat untuk sahabat penamu itu?"

"Dia tidak akan lagi membalas suratku. Aku akan menunggunya membalas surat-surat itu."

"Sampai kapan?"

"Sampai dia balas."

"Tidak penasaran ingin mengunjunginya?" tanya Minato.

Aku mendelik ke arahnya. Kenapa dia begitu mengerti kegelisahanku?

"Minggu depan aku cuti, bagaimana jika kita jalan-jalan ke Indonesia?"

Aku mengangkat kedua alisku.

"Soal orang tuamu, aku yang akan bicara dengan mereka."

"Kenapa kamu tiba-tiba mengajakku kembali ke Indonesia?"

"Karena aku belum pernah melihatmu segelisah ini."

Aku tersenyum. "Apa aku harus memelukmu sekarang?"

Minato merentangkan kedua tangannya dan aku menghambur ke pelukannya. "Terima kasih."

Minato tersenyum sembari mengusap rambutku. "Aku harap, Katara akan jatuh cinta denganku."

"Apa!?" Aku mendongakkan kepala dan memukul dadanya hingga ia mengaduh. Namun, masih memelukku dengan erat.

"Katara ... aku akan mengunjungimu. Tunggu aku di sana!" bisikku dalam hati.

Terima kasih untuk sahabatku, Minato. Yang telah memberanikan diri mengajakku kembali ke Indonesia. Semoga saja dia bisa mengambil hati kedua orang tuaku.

Ditulis oleh Rin Muna

Untuk cinta dan persahabatan.

East Borneo, 25 November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun