"Kamu kenapa?" tanya Maruko ketika melihat wajah Sakura muram. Tak seperti biasanya yang selalu bahagia ketika mengirimkan surat-suratnya. Kali ini ia lebih banyak diam dan murung sepanjang perjalanan.
"Dia tidak lagi membalas surat-suratku."
"Kenapa?"
Sakura menggelengkan kepalanya. "Semua tiba-tiba saja. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Katara, kenapa dia tidak membalas suratku."
"Katara?"
"Iya. Katara adalah sahabat penaku. Aku menjadi suka berkirim surat sejak mengenalnya. Dia seringkali mengirimkan puisi-puisi indah untukku."
"Bagaimana jika kamu telepon saja?"
"Kami tidak saling bertukar nomor telepon. Hanya alamat rumah saja untuk berkirim surat." Wajah Sakura masih murung mengingat Katara yang tidak juga membalas surat-suratnya.
"Mungkin, sahabat kamu sedang sibuk sehingga belum punya waktu untuk membalas surat-suratmu." Ayah Sakura yang sedari tadi hanya jadi pendengar, kini ikut bicara.
"Tapi Ayah ... kalau dia baik-baik saja. Seharusnya dia membalas suratku, sesibuk apa pun harusnya masih ada waktu untuk menulis surat. Sudah dua bulan ini dia tidak membalasnya. Bagaimana aku tidak khawatir? Bisa jadi, terjadi sesuatu dengan Katara di sana." Sakura masih diselimuti perasaan gelisah sampai mereka turun dari taksi setibanya di Bandara.
"Positif thinking, dia pasti baik-baik saja." Maruko menggenggam jemari Sakura.