"Tapi Fahmi sebenarnya dapat berbicara" ucap Farhan.
"Sungguh?" tanya ibu itu.
Aku langsung menceritakan alasan Fahmi terlambat berbicara. Nyatanya vonis dokter salah. Ia seperti itu bukan karena vonis dokter tapi karena hal lain. Ibu itu terlihat sangat menyesal. Jika dulu ia mengabaikan perkataan dokter dan mengurus Fahmi dengan baik, mungkin Fahmi akan lancar berbicara.
"Apa aku dapat membawanya pulang?" tanya ibu, bapak itu.
Aku tak tahu harus bagaimana. Tapi Fahmi sepertinya ingin tinggal bersama orang tua kandungnya. Karena sejahat apapun orang tua, ia tetap orang tua kita.
Fahmi, Farhan, ibu dan bapak itu masuk ke ruang psikolog. Aku menunggunya di luar. Mungkin psikolog dapat membantu menyelesaikan masalah mereka.
***
Kicauan burung di pagi ini sangat menambah semangatku. Bersiap-siap bertemu Fahmi dan Farhan di depan pos dekat penampungan sampah. Tak ada siapapun di sana. Mengantuk, itu yang aku rasakan ketika harus menunggu lama.
"Kakak...."
Aku kaget seperti ada yang memanggilku. Ternyata benar itu suara Fahmi, ia sudah dapat berbicara meskipun masih terbata-bata.
Aku melihat Fahmi bersama orang tuanya dan Farhan. Mereka membawa banyak sekali hadiah dan makanan. Mereka akan membagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar sungai dekat penampungan sampah.
Warga-warga mulai berdatangan. Ketika sekarang Fahmi sudah bertemu orang tuanya yang mapan, ia tak lagi dipandang rendah oleh orang sekitar sini. Mereka seperti memuji Fahmi dan orang tuanya.