Cukup lama terdiam. Pembicaraan terjeda oleh senyap. Jari-jari tamu lelaki itu menari-nari di atas lututnya. Seperti tengah menghitung lamanya waktu terjeda. Sementara sang tuan rumah, tiada juga mengajukan pertanyaan yang diharapkan.
"Ah... hampir aku lupa. Tadi ibumu berpesan, agar aku menyampaikan ini untuk istrimu," tamu lelaki itu menyorongkan bingkisan. Bentuknya kotak, dibungkus dengan selembar kain putih bersih. "Aku tak tahu apa isinya. Tetapi, ibumu berharap apa yang ada di dalamnya bisa dipakai oleh istrimu," lanjutnya.
"Ah, terima kasih. Aku sungguh tak enak. Ibuku telah membuatmu repot, saudaraku," kata sang tuan rumah
"Aku pikir, itu wajar. Seorang Ibu pasti akan merindukan anaknya. Apalagi apabila ia tinggal berjauhan."
Kata-kata itu disambut datar oleh sang tuan rumah. Tak terpancar sedikit pun rona kerinduan. Pembicaraan pun ia alihkan. Sang tuan rumah memilih membincangkan jalur-jalur perdagangan yang belakangan kian ramai. Beberapa saudagar dari negeri jauh juga kian ramai berdatangan. Tentu, ini pula yang menyebabkan kota-kota berkembang. Ya, sang tuan rumah berbicara laiknya seorang diplomat ulung.
Sementara sang tamu lelaki yang datang dari tanah kelahiran sang tuan rumah itu hanya berusaha mengimbanginya. Kadang hanya mengangguk. Kadang hanya mengatakan 'ya'. Kadang pula hanya memberi komentar pendek. Sungguh, baginya pembicaraan itu tak menarik minatnya. Di kepalanya masih tersisa persoalan yang belum juga tuntas. Ia hanya menunggu pertanyaan itu diajukan. Sekalipun hanya satu pertanyaan. Pertanyaan tentang dan untuk ibu yang melahirkannya.
Sungguh melelahkan. Satu pun pertanyaan tak ada. Haruskah ia pulang dan mampir ke rumah ibu sang tuan rumah itu dengan menggenggam angin? Ataukah ia pulang dengan membungkus kedustaan? Mengatakan pada ibu sang tuan rumah perihal pertanyaan untuknya.
Bungkusan itu masih saja tergeletak di atas meja. Tak disentuhnya.
Pagi tiba, mendadak sang tuan rumah terserang demam yang hebat. Suhu tubuhnya tinggi. Menggigil. Batuk-batuk disertai pula sesak napas. Juga muntah-muntah.
Keadaan itu membuat istrinya sibuk. Disiapkannya kompres sekadar menurunkan suhu badan suaminya. Disiapkan pula beberapa ramuan untuk meredakan batuk, juga dioleskan minyak rampah-rempah untuk menghangatkan sekadar mengurangi rasa mual yang tak tertahan.
Tetapi, hasilnya nihil. Suhu tubuh suaminya masih saja tinggi. Malah makin parah.Dipanggillah tabib. Dari yang biasa sampai yang paling sakti. Tetapi tetap nihil hasilnya.
"Hanya berpasrah diri pada Yang Maha Menyembuhkanlah satu-satunya cara yang paling baik. Tidak ada cara lain," kata sang tabib.