Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Al Qamah

3 September 2024   04:45 Diperbarui: 3 September 2024   11:32 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Panasnya pikiran, juga kalutnya hati akan sangat mudah diredam dengan air yang penuh berkah."

Perempuan itu mengangguk. Mengamini.

"Nah, sekarang sudah tenang bukan?"

Perempuan itu mengangguk pelan.

"Jika sudah tenang, ceritakanlah, kabar apa yang membuat kau memaksa diri menyeret kakimu kemari?" ucap sang nyonya rumah membujuk.

Perempuan itu diam. Berangsur-angsur kemudian, kedua bola matanya berkaca-kaca. Ia menunduk. Seolah tiada kekuatan lagi baginya untuk membendung butiran bening di mata indahnya itu tumpah. Sementara, angin di luar masih saja berhembus. Menyenyapkan segala kata yang hendak diucap. Semua terdiam.

Duka yang terselip di antara himpitan udara terasa kian menyesak. Di kedalaman batinnya, relung terasa kian sempit. Menjadilah ia isak yang tak tertahan. Dinding hati perempuan itu dihentak-hentak oleh kecemasan yang teramat. Ditahannya jeritan yang teramat perih dalam ruang batinnya yang tengah hampa. Dengan menggenggam gelas itu, kedua tangannya menekan dadanya agar tak meledak tangisan.

Tetapi, sekuat apapun, pertahanannya koyak. Getaran dalam dadanya tak kuasa ia tahan. Kedua tangannya gemetaran. Riak-riak kecil permukaan air dalam gelas pun makin tampak jelas. Pelan-pelan airmatanya leleh pula. Tumpahlah airmata jatuh menghunjam ke dalam gelas. Disertai bunyi yang lirih, tetesan airmata itu meninju air putih yang tersisa.
Dalam isaknya, tampak olehnya wajah suami tercinta. Kenangannya masih begitu segar dalam ingatan.

"Bagiku, tak ada perempuan lain selain engkau, wahai kekasihku. Engkau adalah rahmat Tuhan yang dikirimkan kepadaku. Akan sangat berdosa kiranya aku ini jika sampai menyia-nyiakan rahmat-Nya. Sungguh, tak akan aku biarkan apapun menimpa pada dirimu, sekalipun luka gores, sekalipun itu oleh hembusan angin yang paling lembut. Tak akan aku biarkan kau terluka. Apalagi hatimu. Tidak akan," ucap lelaki berhati lembut itu.

Sang istri tak kuasa membalas. Semua kata-katanya teramat indah. Semua kata yang diluncurkannya teramat besar. Pipinya tampak bersemu merah jambu. Tatapannya berbinar cerlang. Ada titik cahaya yang begitu indah terpancar. Bibir segarnya yang tipis perlahan menyungging senyuman. Lehernya yang jenjang, seketika kehiangan daya, tak mampu menopang wajah ayunya. Ia menunduk. Malu-malu. Tetapi, ia merasa amat bahagia.

"Kau adalah perempuan paling beruntung di dunia ini. Sebelum perempuan-perempuan lain menikmati semilir angin surga, kau sudah menikmatinya," kata seorang temannya suatu ketika dalam sebuah obrolan di pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun