Lalu, perlahan lelehlah airmatanya. Berangsur tubuhnya lunglai. Seolah-olah rontok semua persendian, ia pun duduk bersimpuh di sisi lelaki itu. Diraihnya ujung kain jubahnya yang bersih itu.Â
Dengan cucuran airmata, ia lantas memohon pada lelaki yang mulia itu, "Tidak... jangan... jangan kau timpakan kesengsaraan pada putraku, wahai putra Aminah. Jangan... jangan kau bakar ia. Aku tak tega, putraku mati dibakar. Aku tak tega, ya Rasul...."
Menyaksikan itu, lelaki pembawa rahmat itu pun menekuk lututnya. Duduk di samping perempuan tua itu, seraya berkata, "Engkau adalah ibu yang berhati mulia. Sungguh, putramu akan sangat bahagia dengan kemuliaanmu, wahai Ibu. Hanya maafmu yang akan mengantarkannya kepada kematian yang tenang dan damai. Maka, dengan kemuliaan hatimu, sudikah kau memaafkan putramu?"
Perempuan tua itu mengangguk. "Iya, aku maafkan. Aku maafkan dia."
"Baiklah, sekarang bangkitlah." Lelaki berhati mulia itu menuntun perempuan tua itu berdiri. Dituntunnya pula perempuan tua itu ke tempat duduknya semula. "Sekarang, izinkan aku mengurus kematian putramu. Sungguh, seandainya aku memiliki ibu sepertimu, aku pasti akan bangga. Lebih-lebih ibu berhati mulia sepertimu. Sekarang, aku mohon pamit. Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Tuhan senantiasa menyertaimu, wahai Ibu yang berhati mulia."
Tubuh lelaki berjiwa gunung itu tampak mulai ada gerakan-gerakan kecil. Pandangannya mulai tampak wajar. Pendengarannya juga mulai pulih. Perlahan lelaki pilihan Tuhan itu mendekati tubuh yang lemah itu. Dibisikkannya perlahan talqin. Lelaki yang tak berdaya itu tersenyum. Lalu, dilafalkannya kalimat dzikir, diakhiri kalimat syahadat.
Kemudian, hembusan napas panjang yang lembut mengakhiri hidupnya.
"Innalillaahi wainnailaihi raajiuun...."
Pekalongan, 17-21 November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H