Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Al Qamah

3 September 2024   04:45 Diperbarui: 3 September 2024   11:32 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bilal, kau adalah lelaki bersuara emas, aku mohon padamu sudilah kiranya kau tuntun ia mengucapkan kalimat tahlil. Setidaknya, agar ia tenang dan siap menerima kematiannya dengan ikhlas," pinta Ammar.

"Baiklah, saudaraku," jawab Bilal.

Dengan penuh khidmat Bilal kemudian menuntunnya melantunkan kalimat tahlil. Diawali dengan istighfar. Begitu indah lantunan itu. Sampai-sampai semua orang yang ada di situ merasakan getarannya. Sangat dalam. Membuat merinding.

Tanpa terasa airmata suami perempuan muda itu pun meleleh. Tetapi, bibirnya terkatup. Tak mampu menirukan ucapan Bilal. Jatuh pula airmata sang istri. Menetes di pangkuan.

"Suamiku, cobalah tirukan ucapan Bilal. Ayolah, suamiku," pinta sang istri.

"Baiklah, mungkin sekali lagi, Bilal."
Dicobanya sekali lagi. Tetapi, keadaan masih sama. Bibirnya terkatup.

"Wahai engkau pria yang ahli ibadah, mohonlah kepada Tuhanmu agar Ia mengizinkanmu untuk menirukan ucapan saudaraku, Bilal. Mohonlah kepada-Nya, saudaraku," bujuk Shuhaib.

"Sekali lagi, Bilal," pinta Ammar.

Dicoba lagi. Tetapi lagi-lagi gagal.

Ini membuat tiga utusan Rasul itu merasa sedih. Sungguh teramat sedih. Mereka sangat mengenal pria yang ada di hadapan mereka. Ya, ia seorang pria yang sangat taat. Ahli ibadah. Dalam barisan jamaah, ia selalu hadir. Selalu ada di antara mereka. Dalam setiap kali pertemuan ia juga selalu tampak hadir. Ia sangat tekun menyimak ajaran-ajaran nabi. Tetapi mengapa, di saat jelang ajalnya, Tuhan tak memberinya izin? Ada apa sebenarnya?
Tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, sang istri segera memalingkan wajahnya. Berlari kecil menuju halaman rumah.
Sinar rembulan tampak terang. Seolah membelah perkampungan yang sepi. Hati perempuan mudah terluka oleh keadaan. Dalam sepi ia mudah pula hanyut. Terlarut dalam duka tanpa kesudahan.

Dengan sesenggukan, perempuan muda itu berkata, "Ya Tuhan, kutukankah yang Kau timpakan padaku? Ataukah ujian-Mu? Sungguh, Maha Besar Engkau, kebahagiaan yang selama ini kami jalani dalam seketika Kau renggut. Berilah aku kepastian, Tuhan. Jangan Kau siksa kami berlarut-larut. Aku tak kuat, Tuhan."
Sebuah sentuhan lembut menghampiri pundaknya. Sentuhan penuh kasih sayang. Lalu, lamat-lamat suara lembut seorang perempuan dewasa terdengar,"Tenangkanlah dirimu, Nduk. Jangan kau benamkan diri dalam kedukaan. Itu akan membuat suamimu semakin sedih. Dan akan membuat langkah suamimu kian sulit. Tenang, Nduk... tenang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun