"Bilal, kau adalah lelaki bersuara emas, aku mohon padamu sudilah kiranya kau tuntun ia mengucapkan kalimat tahlil. Setidaknya, agar ia tenang dan siap menerima kematiannya dengan ikhlas," pinta Ammar.
"Baiklah, saudaraku," jawab Bilal.
Dengan penuh khidmat Bilal kemudian menuntunnya melantunkan kalimat tahlil. Diawali dengan istighfar. Begitu indah lantunan itu. Sampai-sampai semua orang yang ada di situ merasakan getarannya. Sangat dalam. Membuat merinding.
Tanpa terasa airmata suami perempuan muda itu pun meleleh. Tetapi, bibirnya terkatup. Tak mampu menirukan ucapan Bilal. Jatuh pula airmata sang istri. Menetes di pangkuan.
"Suamiku, cobalah tirukan ucapan Bilal. Ayolah, suamiku," pinta sang istri.
"Baiklah, mungkin sekali lagi, Bilal."
Dicobanya sekali lagi. Tetapi, keadaan masih sama. Bibirnya terkatup.
"Wahai engkau pria yang ahli ibadah, mohonlah kepada Tuhanmu agar Ia mengizinkanmu untuk menirukan ucapan saudaraku, Bilal. Mohonlah kepada-Nya, saudaraku," bujuk Shuhaib.
"Sekali lagi, Bilal," pinta Ammar.
Dicoba lagi. Tetapi lagi-lagi gagal.
Ini membuat tiga utusan Rasul itu merasa sedih. Sungguh teramat sedih. Mereka sangat mengenal pria yang ada di hadapan mereka. Ya, ia seorang pria yang sangat taat. Ahli ibadah. Dalam barisan jamaah, ia selalu hadir. Selalu ada di antara mereka. Dalam setiap kali pertemuan ia juga selalu tampak hadir. Ia sangat tekun menyimak ajaran-ajaran nabi. Tetapi mengapa, di saat jelang ajalnya, Tuhan tak memberinya izin? Ada apa sebenarnya?
Tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, sang istri segera memalingkan wajahnya. Berlari kecil menuju halaman rumah.
Sinar rembulan tampak terang. Seolah membelah perkampungan yang sepi. Hati perempuan mudah terluka oleh keadaan. Dalam sepi ia mudah pula hanyut. Terlarut dalam duka tanpa kesudahan.
Dengan sesenggukan, perempuan muda itu berkata, "Ya Tuhan, kutukankah yang Kau timpakan padaku? Ataukah ujian-Mu? Sungguh, Maha Besar Engkau, kebahagiaan yang selama ini kami jalani dalam seketika Kau renggut. Berilah aku kepastian, Tuhan. Jangan Kau siksa kami berlarut-larut. Aku tak kuat, Tuhan."
Sebuah sentuhan lembut menghampiri pundaknya. Sentuhan penuh kasih sayang. Lalu, lamat-lamat suara lembut seorang perempuan dewasa terdengar,"Tenangkanlah dirimu, Nduk. Jangan kau benamkan diri dalam kedukaan. Itu akan membuat suamimu semakin sedih. Dan akan membuat langkah suamimu kian sulit. Tenang, Nduk... tenang."