Lanjut kolak pisang, paling ia sukai. Bersama bubur sumsum atau bubur putih. Begitu cara ia menikmati bubur kubu tak diaduk. "Yang paling enak, suapanterakhir, Ma!" Teriaknya pas suapan akhir.
Beda sama adeknya. Makan apapun suka dicampur. "Biar sama rasa, Bun." Katanya setiap suapan akan mengandung campuran sempurna dari nasi lembutnya, kuahnya. Khusus topping ia habiskan dulu. Â Barulah bumbu dan bubur diaduknya.
Akibatnya, sering makanannya bersisa. Hingga akulah penolong menghabiskannya. Padahal aku termasuk versi si abang. Kubu tak diaduk. Kadang bila ada putra sulungku, ialah penyelamatnya karena porsi makannya lebih dari kami berempat dengan suami.
Adapun si Ayah, biasa makan bubur tanpa diaduk tapi porsi bdibagi dua. Satu porsi makan pas beli dan setengah porsi lagi buat nanti. Agak dua jam-an lagi.
Terlepas dari bagaimana bubur itu dinikmati, pertanyaan yang lebih menarik mungkin, "Kapan sebaiknya makan bubur?"
Pagi atau Malam?
Beberapa orang menganggap bubur sebagai menu sarapan pagi. Makanan yang pas untuk memulai hari ceria di pagi cerah karena bubur memberikan rasa kenyang yang ringan dan tidak terlalu berat untuk perut yang sedang kosong.Â
Namun, di sisi lain, banyak juga yang menyukai bubur sebagai makanan selingan sore dan malam. Hangatnya bubur setelah seharian lelah bisa memberikan kenyamanan tersendiri.
Kalau Mak Cinta di sekolahku biasa jual bubur sore. Pukul 15.00 WIB, beliau mulai menggelar dagangannya. Guru dan siswa pun berebut beli bubur dalimo, bubur hitam, atau bubur kacang hijau plus kolak pisang.
Beda lagi bila di sawah atau di kebun. Orang tuaku dan para pekerja menikmati bubur saat istirahat pertama sekitar pukul 10.00-10.30 WIB. Di bawah atap pondok di sawah atau di kebun. Sayang banget tak ada foto kenangan itu.
Ragam Bubur Nusantara
Indonesia kaya akan ragam bubur. Dari Sabang sampai Merauke. Hampir setiap daerah memiliki variasi bubur khas yang menggambarkan karakter budaya dan rempah daerah tersebut.