Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) "Aku akan Menjadi Anak yang Patuh, Mama!"

22 September 2024   11:10 Diperbarui: 3 Oktober 2024   20:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: pngtree/niazmorshed

Hari yang cerah di Sekolah

Hari ini matahari bersinar gembira. Ia tersenyum kepada semua makhluk di bumi. Ia menghangati sekolah dengan cahayanya yang kuning keemasan.

Langit biru tanpak memayungi. Suasana di atas langit itu tampak begitu tenang. Membuat bibir merah Rama tersenyum ceria. Ia datang menapaki lapangan basket sekolah.

Di lapangan basket sekolah itu, suara riang teman-teman dan kakak kelasnya terdengar. Mereka bermain dan bercanda. Begitulah layaknya murid di pagi hari.

Angin sepoi-sepoi pun berhembus lembut mengiringi langkahnya. Angin itu membuat daun-daun pepohonan yang ada di belakang gedung sekolah bergoyang-goyang perlahan. Daun-daun itu menari, meliuk, dan melambai ke kiri dan ke kanan.

Keadaan itu menambah kesejukan di hati Rama siswa kelas 8 itu. Di tengah cuaca yang cerah, di sudut lapangan, siswa-siswa yang piket mulai membentangkan tikar untuk apel pagi. Para petugas itu tampak lebih bersemangat dari hari biasanya.

Mungkin karena suasana alam yang mendukung. Guru-guru piketpun terlihat berjalan antusias menuju lapangan. Biasanya sesaat lagi bel tanda murajaah Al Quran oleh petugas murajaah akan segera dimulai.

Di sela-sela jam jelang apel pagi, banyak siswa kelas 9 memilih untuk bermain di kelas siswa kelas 8. Mereka menikmati sinar matahari yang hangat di kelas itu sambil iseng menemui adik-adik kelas mereka.

Layaknya jam istirahat, mereka berlarian. Ada pula bermain bola atau sekadar duduk di bangku sambil bercerita dan tertawa bersama. 

Hari yang kelam di Sekolah

Cahaya matahari memantul dari jendela kelas menghalangi pandangan Rama. Ia pun memicing untuk memindai wajah kakak-kakak kelasnya. Di antaranya ada Dinju, Laufan, dan Kazir. Dari tiga kakak kelas itu, Kazirlah yang paling nakal.

Ia menciptakan suasana yang mencekam dan penuh ketakutan di hati Rama. Hari yang cerah di sekolah saat ini pun tak mampu menghalau rasa itu dari benak Rama.

Kazir selalu membawa ketakutan tersendiri bagi Rama setiap hari. Ia sudah berusaha memberi kesempatan dirinya untuk merasa lebih tegar dan siap menghadapi Kazir dengan semangat menentang.

Ya, kemarin Senin Pukul 13.30 siang, suasana sekolah tampak seperti hari-hari biasanya. Teman-teman mulai bersiap keluar dari masjid setelah kegiatan shalat dzuhur. Biasanya lanjut makan siang di aula.

Namun, di sudut aula bawah, suasana tenang itu pecah ketika Kazir dan dua temannya Dinju dan Laufan, siswa kelas 9, mendekati Rama, adik kelasnya dari kelas 8. Ekspresi wajah mereka bertiga yang berbeda dari biasanya.

"Kasih uangmu sekarang!" Desak Kazir dengan nada mengancam lembut. Ia pura-pura berbisik ke telinga Rama sambil dua tangan memegang bahu Rama.

Rama terdiam, tidak tahu harus bagaimana. Sekilas orang lain melihat seolah mereka berempat teman akrab yang sedang melepas kangen. Dinju dan Lafuan pun mengambil posisi di kiri kanan Rama.

Tangan Kazir pindah merogoh kantong celana Rama, tapi uang yang diminta tak ada di saku. Dengan pura-pura gugup ia bertanya, "Kamu nggak punya uang, Rama?"

Wajah Rama pias. Wajahnya pucat dan mengeras. Tanpa banyak kata ia kaget. "Bugghh..."

Tinju Kazir melayang ke wajah Rama, tepat di hidungnya. Rama pun berdarah. Bagai anak sungai, darah mengucur deras dari hidung Rama. 

Rama tersentak. Air matanya mengalir. Ia menahan rasa sakit luar biasa. Rasa sakit itu tiba-tiba menjalar dari hidung ke seluruh kepalanya. Darah mengalir pun membasahi seragam sekolahnya yang putih. Sekarang seragam itu sudah berubah warna menjadi mereh.

Untung Zikra salah satu siswa melihat kejadian itu dari sudut lain aula. Ia segera lari mencari bantuan ke ruang guru. Sekejap saja suasanapun berubah tegang. Salah seorang guru bernama Pak Zal pun berlari menuju tempat kejadian.

Akibat banyaknya darah keluar dari hidung Rama, ia pun pingsan. Tergolek lemas dalam pangkuan Luthfi sahabat Rama. Luthfi pun terlihat menangis menatap gurunya.

"Kazir, Pak! Dinju dan Laufan! Teriak Luthfi sambil menangis.

" Ya, nanti kita urus cecunguk itu. Sekarang kita bawa Rama ke rumah sakit terdekat dulu. Ayo bantu Bapak. Yang lain segera lapor ke ruang kepala." Pak Zal pun membopong tubuh lemah Rama.

 "Masuk Nak! Silahkan duduk. Ada apa? " Tanya Bu Irwa kepala sekolah.

" Itu Buk. Ada yang terluka. Rama kelas 8. Hidungnya ditonjok kakak kelas hingga berdarah dan pingsan." Luthfi melapor sambil menangis. Baru kali ini ia melihat kejadian seperti ini.

Bu Irwa Kepala Sekolah, tampak terguncang. Ia pun sok ketika mendengar salah satu siswanya terlibat tindakan kekerasan.

"Kita harus segera bertindak. Hubungi orang tua Rama, Pak Tem." Perintah beliau kepada salah satu wakil kepala yang ada di sebelah beliau.

"Sekarang di mana Rama, Nak? Tanya Beliau menatap sendu wajah Luthfi.

"Sudah dibawa Pak Zal ke Rumah Sakit Sinai, Bu. Dia ke rumah sakit."

"Ayo Pak Dam dan Pak Tem, kita segera ke rumah sakit. Jangan sampai terlambat." Ajak beliau nampak panik. Wajahnya yang putih pucat dan pias.

Seorang dokter di rumah sakit segera memeriksa Rama. Dokter itu berusaha menghentikan pendarahan di hidung Rama. Rama masih pingsan menuju rumah sakit terdekat. Begitupun saat ditangani dokter. Perawatpun memasang jarum infus di tangan Rama.

Darah di hidungnya sudah berhenti. Rasa sakit mendapat jarum infus membuat Rama terbangun dari pingsannya. Tiba-tiba takut menyapa hatinya. Ia pun memandangi sekeliling. Nampak wajah gurunya Pak Zal dan dokter.

"Jangan takut. Kamu aman, Nak. Kita di rumah sakit, ya." Bisik Pak Zal lembut.

Sementara itu, Kazir, Dinju, dan Laufan sudah dipanggil dan ditahan di ruang Bimbingan Konseling untuk dimintai keterangan. Wajah mereka tampak dingin. Apa lagi Dinju, ia terlihat tegang. Ia menunduk.

Begitu juga Laufan. Nampak pucat. Bibirnya komat-kamit entah membaca mantra apa. Entah apa yang ada di dalam hati ketiganya. Apakah mereka sudah sadar ? Mereka sudah melampaui batas.

Di rumah sakit, sekitar satu jam pasca perawatan Rama,  Pak Nenda, ayah Rama, tiba di rumah sakit. Wajahnya tampak tegang. Wajah itu memancarkan kekhawatiran yang dalam. Beliapun masuk menemui putranya. Tampak dokter, Pak Zal, Bu Irwa, dan para wakil beliau di sana.

Setelah melihat kondisi putranya terluka, kemarahan Pak Nenda mulai tumbuh. "Bagaimana bisa ini terjadi? Anak saya dipukuli di sekolah?" tanyanya dengan suara tegas sambil menatap tajam kepada kepala sekolah.

Ibu Irwa pun balas menatap Pak Nenda. "Sabar Pak! Ini musibah! Saya selaku pimpinan mohon maaf!"

Dengan penuh kesabaran beliau menjelaskan kronologi kejadian.

"Kami juga sedih, kecewa, dan sangat menyesalkan insiden ini, Pak Nenda. Kazir dan dua temannya sudah mengakui perbuatan mereka. Kami akan segera mengambil tindakan tegas  Pak. Besok, kita akan duduk bersama untuk mencari solusi terbaik."

Pak Nendaa tampak belum puas marah.

"Apa ibuk kira hanya dengan permintaan maaf semua ini bisa selesai? Anak saya pasti dong  trauma. Apa tindakan yang dilakukan sekolah untuk memastikan hal ini tidak terulang lagi?"  Nampak urat leher beliau menegang.

Bu Irwa berusaha untuk tenang. Ia faham tak mudah bagi orangtua menerima ini. Beliau menarik napas panjang.

"Kami akan mengadakan pertemuan dengan keluarga kedua belah pihak untuk mencari penyelesaian yang adil, Pak. Sekolah juga berkomitmen memperketat pengawasan dan memberikan bimbingan lebih intensif bagi mereka, khususnya Kazir dan temannya."

"Saya ingin anak saya divisum, Dokter. Saya minta surat keterangan visum sebelum saya membawa anak saya pulang." Kata Pak Nenda tegas kepada Dokter yang berjaga.

Dengan nada marah Pak Nenda mengikuti dokter yang sudah mengangguk setuju.

Esoknya di sekolah srmua berkumpul. Pak Nenda tetap bersikeras melapor ke polisi karena hidung anaknya patah. Mendengar percakapan di ruang kepala itu Kazir hanya bisa tertunduk.

Nampak gurat penyesalan di wajahnya. Tapi apalah daya nasi sudah jadi bubur. Masalah yang ditabur saatnya dituai. Saat ditanya guru, ia mengakui kesalahannya.

Rasa menyesal yang muncul, tak akan bisa menghapus apa yang telah terjadi. Orang tua Kazir dan dua temannya pun yang dipanggil ke sekolah tampak kecewa. Mereka betul-betul menyesali tingkah laku anaknya. Mereka tahu, tindakan putra mereka bisa menghancurkan diri mereka.

Apa lagi Pak Nenda tetap kekeh melapor ke polisi. Laporan ini bisa menghancurkan  citra sekolah  juga masa depan anak mereka. Duh Gusti, teriak mereka dalam hati. Sekarang mereka hanya bisa pasrah. Ragu doa mereka akan diijabah Allah SWT.

Hari berikutnya pun tiba. Pertemuan kedua sedang berlangsung. Kazir dan dua temannya berusaha meminta maaf langsung kepada Rama dan keluarganya. Pak Nenda masih marah. Namun, ia mencoba memahami dan menerima permintaan maaf tersebut dengan syarat.

"Kazir dan temannya harus pindah dari sekolah ini. Baru saya mau menarik laporan saya dari polisi."

"Rama meski tampak tenang di luar, masih merasa takut melihat sosok mereka. Trauma itu belum sepenuhnya hilang." Lanjut beliau.

Kesepakatan pun dicapai. Kazir dan dua temannya harus menjalani pembinaan khusus. Mereka bertiga harus mendapatkan pendampingan konseling secara rutin di sekolah.

Sekolah berjanji akan meningkatkan pengawasan kepada warga sekolah agar kasus sama tak terulang. Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak bahwa tindakan kekerasan, sekecil apa pun, bisa memiliki dampak besar dan panjang bagi semua yang terlibat.

Ibu Irwa menatap semua  yang hadir. Dalam hati beliau berjanji bahwa sekolah ini akan tetap menjadi tempat yang aman bagi semua anak. 'Kabulkan Ya Rabb,' Bisik hati beliau. 

Nama baik sekolah memang penting, tetapi lebih dari itu, keselamatan dan kesejahteraan para siswanya hal utama.

Hari cerah dan mencekam di Sekolah

Pagi ini meski hari cerah, Rama ragu untuk melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kelasnya. Ia melihat Kazir dan dua temannya. Tambahan siswa kelas 9 lain yang sering bersama mereka.

Kazir menundukkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang mulai menggenang. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Maafkan Bang Kazir Rama. Maafkan atas semua kesalahan yang telah Kazir lakukan. Bang Kazir tahu selama ini sering mengompasmu."

"Bang Kazir sering membuat Rama kecewa dan marah. Bang sungguh menyesal. Bang berjanji, mulai hari ini Rama akan Abang jaga. Abang sudah berubah. Abang tak ingin lagi merampas uang  Rama  dan adik-adik lain." Ia menautkan dua telapak tangannya. Lalu menaruh di depan dadanya.

Dalam hati Kazir sedih karena perbuatannya selama ini. Sudah berpuluh ribu uang yang ia rampas dari adik-adiknya. Kazir ingin menjadi anak yang patuh lagi, anak yang dibanggakan mamanya.

Dengan tekad yang kuat Kazir  menggenggam tangan Rama yang sedingin es.

Ia pun  melanjutkan, "Bang janji akan mendengarkan setiap nasihat guru dan Mama Bang. Bang tak akan membantah lagi, dan akan lebih rajin belajar, beribadah, serta membantu Rama dan adik kelas. Ini uangmu yang sudah Bang peras. Abang kembalikan lagi."

Kazir memasukkan uang itu ke dalam saku baju Rama. Ia pun menepuk bahu Rama. Ia tinggalkan Rama yang mematung. Teman-temannya pun bangkut dari duduk mereka. Mengikuti langkah Kazir.

Di rumah tadi pagi Kazir sudah diajari sang Mama untuk meminta maaf kepada Rama. Kazir berjanji  ingin memberikan yang terbaik untuk Mamanya. Kazir sudah menyadarinya sekarang. 

"Tolong beri Kazir kesempatan untuk memperbaiki diri, Ma dan Guruku. Kazir janji akan berusaha sekuat tenaga menjadi anak yang lebih baik. Aku akan Menjadi Anak yang Patuh, Mama!" Teriak Kazir.

"Bugghhh! Bugh! Bughh!"

Tiga kali pukulan keras diarahkan Laufan ke hidung Kazir. Darah segar pun mengalir. Segera teman-teman Kazir mendekati Laufan. Mereka bersiap memukul Laufan. 

"Hentikan. Biarkan Laufan. Gegara aku. Laufan harus angkat kaki dari sekolah ini. Ia sudah tiga kali mendapat Surat Perjanjian."

Semua terdiam. Sambil membersihkan darah mengalir di hidungnya, Kazir dan teman-teman pun menuju lapangan basket untuk apel pagi.

Inilah Tausiah Guru Piket Hari ini!

Tinggalkan Kekerasan, Apalagi di Sekolah: Membangun Lingkungan Belajar yang Aman dan Positif

Kekerasan, dalam bentuk apapun, adalah tindakan yang merugikan. Di sekolah, yang seharusnya menjadi tempat belajar, bertumbuh, dan berkembang. 

Kekerasan menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan fisik, mental, dan emosional peserta didik lain. Kekerasan di sekolah tidak hanya merusak proses pendidikan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan diri dan rasa aman siswa. Dua elemen penting dalam mendukung pembelajaran yang efektif.

Oleh karena itu, menghapus kekerasan di sekolah adalah langkah fundamental dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan aman. Ramah Anak.

Dampak Kekerasan di Sekolah

Kekerasan di sekolah bisa muncul dalam berbagai bentuk: mulai dari perundungan fisik dan verbal, pelecehan, hingga kekerasan psikologis. Setiap bentuk kekerasan ini berdampak buruk pada siswa, guru, dan komunitas sekolah secara keseluruhan.

1. Kerusakan Mental dan Emosional

Siswa yang mengalami kekerasan sering kali menderita secara emosional. Mereka bisa merasa cemas, takut, atau kehilangan kepercayaan diri.

Dampak jangka panjang dari kekerasan psikologis ini dapat menyebabkan gangguan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, atau bahkan trauma yang mendalam.

Anak-anak yang terus-menerus menjadi korban kekerasan mungkin merasa terisolasi, yang akhirnya memengaruhi kinerja akademis dan sosial mereka.

2. Kehilangan Motivasi Belajar

Lingkungan sekolah yang penuh dengan kekerasan menciptakan rasa tidak aman. Ketika siswa merasa takut datang ke sekolah, mereka akan kehilangan minat dalam belajar. 

Kekerasan menciptakan gangguan dalam proses belajar mengajar dan mengurangi partisipasi siswa di kelas. Rasa takut yang timbul dari kekerasan juga membuat siswa sulit fokus dan berkonsentrasi sehingga prestasi akademis mereka  menurun.

3. Membentuk Siklus Kekerasan**  

Kekerasan tidak hanya merugikan korban, tetapi juga dapat menginspirasi siklus kekerasan lain. Siswa yang menyaksikan atau menjadi korban kekerasan sering kali menginternalisasi perilaku tersebut dan berpotensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan.

Mereka belajar bahwa kekerasan solusi untuk menyelesaikan konflik, menciptakan budaya kekerasan yang terus berlanjut di lingkungan sekolah dan masyarakat luas.

Mengapa Kekerasan Harus Dihapus di Sekolah?

Sekolah tempat bagi siswa untuk belajar. Tidak hanya akademik tetapi juga keterampilan sosial, emosional, dan moral. 

Untuk mencapai tujuan itu, sekolah menjadi tempat yang aman bagi anak dan mendukung setiap individu agar merasa dihargai dan dilindungi.

Menghapus kekerasan dari sekolah bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi kunci untuk menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan berempati.

1. Membangun Rasa Aman

Rasa aman adalah fondasi bagi proses belajar yang efektif. Ketika siswa merasa aman, mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam pembelajaran, berinteraksi dengan teman sebaya, dan mengembangkan keterampilan sosial.

Lingkungan yang aman juga mendorong siswa untuk lebih percaya diri dalam menyampaikan pendapat dan mengekspresikan diri tanpa takut diintimidasi atau dilecehkan.

2. Mendukung Kesehatan Mental dan Emosional

Menghapus kekerasan berarti menciptakan ruang bagi kesejahteraan mental dan emosional siswa. Lingkungan sekolah yang positif akan mengurangi stres, kecemasan, dan depresi di kalangan siswa.

Dengan demikian, siswa akan lebih siap menghadapi tantangan akademik dan kehidupan sosial mereka. Dalam suasana yang bebas dari kekerasan, mereka juga akan belajar bagaimana menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat dan konstruktif.

3. Mendorong Kerja Sama dan Solidaritas

Sekolah tanpa kekerasan memungkinkan kerja sama antar siswa dan guru untuk berkembang. Dalam suasana ini, siswa belajar menghormati perbedaan, berempati, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Solidaritas ini penting dalam membangun komunitas sekolah yang saling mendukung dan menginspirasi. Ini juga membentuk dasar yang kuat bagi toleransi dan inklusi di luar lingkungan sekolah.

Langkah-Langkah untuk Menghapus Kekerasan di Sekolah Apa?

Menghapus kekerasan di sekolah memerlukan upaya terpadu dari berbagai pihak: siswa, guru, orang tua, dan pemangku kepentingan lainnya.

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk memastikan bahwa kekerasan di sekolah dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan:

1. Pendidikan Anti-Kekerasan dan Penguatan Karakter

Salah satu cara terbaik untuk mencegah kekerasan melalui pendidikan tentang anti-kekerasan dan pengembangan karakter. Sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai seperti toleransi, empati, dan menghormati perbedaan ke dalam kurikulum.

Melalui pendidikan ini, siswa diajarkan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai dan memahami dampak negatif dari kekerasan.

2. Sistem Pelaporan yang Aman dan Terpercaya

Banyak korban kekerasan enggan melaporkan kasus mereka karena takut akan balas dendam atau tidak percaya pada sistem yang ada.

Oleh karena itu, sekolah harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman, anonim, dan dapat dipercaya. Siswa harus tahu bahwa mereka akan dilindungi jika melaporkan kekerasan yang terjadi di sekolah.

3. Pelatihan untuk Guru dan Staf Sekolah

Guru dan staf sekolah memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan. Mereka harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan, baik fisik maupun psikologis, serta cara menangani situasi tersebut.

Selain itu, guru harus menjadi teladan dalam menunjukkan sikap anti-kekerasan dan mendukung lingkungan yang inklusif dan empatik.

4. Melibatkan Orang Tua dan Komunitas 

Orang tua dan komunitas harus dilibatkan dalam upaya menghapus kekerasan di sekolah. Program kerja sama antara sekolah dan orang tua dapat membantu mengidentifikasi masalah kekerasan lebih awal dan mendukung pemulihan korban. 

Komunitas juga bisa memainkan peran dalam membangun budaya anti-kekerasan yang meluas di luar lingkungan sekolah.

Kesimpulan

Menghapus kekerasan dari sekolah bukan hanya tentang menghilangkan perilaku negatif. Tetapi tentang membangun budaya yang mendukung tumbuh kembang siswa secara holistik.

Sekolah yang bebas kekerasan adalah tempat setiap individu merasa dihargai, aman, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Tanggung jawab kita bersama untuk meninggalkan kekerasan, apalagi di sekolah, dan memastikan bahwa tempat belajar tetap menjadi lingkungan yang positif, aman, dan produktif bagi generasi penerus bangsa. Sekolah Ramah Anak.

Kazirpun tanpa sadar meneteskan air mata. Terbayang semua kerusakan dan kekerasan yang ia buat dan circlenya. "Aku akan Menjadi Anak Baik, Mama!" Janjinya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun