"Apa ibuk kira hanya dengan permintaan maaf semua ini bisa selesai? Anak saya pasti dong  trauma. Apa tindakan yang dilakukan sekolah untuk memastikan hal ini tidak terulang lagi?"  Nampak urat leher beliau menegang.
Bu Irwa berusaha untuk tenang. Ia faham tak mudah bagi orangtua menerima ini. Beliau menarik napas panjang.
"Kami akan mengadakan pertemuan dengan keluarga kedua belah pihak untuk mencari penyelesaian yang adil, Pak. Sekolah juga berkomitmen memperketat pengawasan dan memberikan bimbingan lebih intensif bagi mereka, khususnya Kazir dan temannya."
"Saya ingin anak saya divisum, Dokter. Saya minta surat keterangan visum sebelum saya membawa anak saya pulang." Kata Pak Nenda tegas kepada Dokter yang berjaga.
Dengan nada marah Pak Nenda mengikuti dokter yang sudah mengangguk setuju.
Esoknya di sekolah srmua berkumpul. Pak Nenda tetap bersikeras melapor ke polisi karena hidung anaknya patah. Mendengar percakapan di ruang kepala itu Kazir hanya bisa tertunduk.
Nampak gurat penyesalan di wajahnya. Tapi apalah daya nasi sudah jadi bubur. Masalah yang ditabur saatnya dituai. Saat ditanya guru, ia mengakui kesalahannya.
Rasa menyesal yang muncul, tak akan bisa menghapus apa yang telah terjadi. Orang tua Kazir dan dua temannya pun yang dipanggil ke sekolah tampak kecewa. Mereka betul-betul menyesali tingkah laku anaknya. Mereka tahu, tindakan putra mereka bisa menghancurkan diri mereka.
Apa lagi Pak Nenda tetap kekeh melapor ke polisi. Laporan ini bisa menghancurkan  citra sekolah  juga masa depan anak mereka. Duh Gusti, teriak mereka dalam hati. Sekarang mereka hanya bisa pasrah. Ragu doa mereka akan diijabah Allah SWT.
Hari berikutnya pun tiba. Pertemuan kedua sedang berlangsung. Kazir dan dua temannya berusaha meminta maaf langsung kepada Rama dan keluarganya. Pak Nenda masih marah. Namun, ia mencoba memahami dan menerima permintaan maaf tersebut dengan syarat.
"Kazir dan temannya harus pindah dari sekolah ini. Baru saya mau menarik laporan saya dari polisi."