Seorang dokter di rumah sakit segera memeriksa Rama. Dokter itu berusaha menghentikan pendarahan di hidung Rama. Rama masih pingsan menuju rumah sakit terdekat. Begitupun saat ditangani dokter. Perawatpun memasang jarum infus di tangan Rama.
Darah di hidungnya sudah berhenti. Rasa sakit mendapat jarum infus membuat Rama terbangun dari pingsannya. Tiba-tiba takut menyapa hatinya. Ia pun memandangi sekeliling. Nampak wajah gurunya Pak Zal dan dokter.
"Jangan takut. Kamu aman, Nak. Kita di rumah sakit, ya." Bisik Pak Zal lembut.
Sementara itu, Kazir, Dinju, dan Laufan sudah dipanggil dan ditahan di ruang Bimbingan Konseling untuk dimintai keterangan. Wajah mereka tampak dingin. Apa lagi Dinju, ia terlihat tegang. Ia menunduk.
Begitu juga Laufan. Nampak pucat. Bibirnya komat-kamit entah membaca mantra apa. Entah apa yang ada di dalam hati ketiganya. Apakah mereka sudah sadar ? Mereka sudah melampaui batas.
Di rumah sakit, sekitar satu jam pasca perawatan Rama, Â Pak Nenda, ayah Rama, tiba di rumah sakit. Wajahnya tampak tegang. Wajah itu memancarkan kekhawatiran yang dalam. Beliapun masuk menemui putranya. Tampak dokter, Pak Zal, Bu Irwa, dan para wakil beliau di sana.
Setelah melihat kondisi putranya terluka, kemarahan Pak Nenda mulai tumbuh. "Bagaimana bisa ini terjadi? Anak saya dipukuli di sekolah?" tanyanya dengan suara tegas sambil menatap tajam kepada kepala sekolah.
Ibu Irwa pun balas menatap Pak Nenda. "Sabar Pak! Ini musibah! Saya selaku pimpinan mohon maaf!"
Dengan penuh kesabaran beliau menjelaskan kronologi kejadian.
"Kami juga sedih, kecewa, dan sangat menyesalkan insiden ini, Pak Nenda. Kazir dan dua temannya sudah mengakui perbuatan mereka. Kami akan segera mengambil tindakan tegas  Pak. Besok, kita akan duduk bersama untuk mencari solusi terbaik."
Pak Nendaa tampak belum puas marah.