Sobat Kompasiana, orang tua generasi muda saat ini mulai aware akan pengetahuan tentang parenting bagi anaknya. Mereka sadar akan manfaat dari menerapkan pengetahuan positive parenting karena tantangan dalam membersamai anak generasi sekarang (generasi Z atau strawberry) dengan kondisi jaman sekarang tentunya berbeda dengan kondisi jaman dahulu.
Pada dasarnya pengetahuan tentang parenting ini mempunyai tujuan positif untuk membentuk karakter baik anak dan kondisi keluarga yang kondusif, karena akar ilmunya sama yaitu dari psikologi perkembangan atau dapat dikombinasi dengan pengetahuan agama. Tentunya, dari berbagai macam pengetahuan parenting yang ada tidak serta merta bisa diadopsi atau diterapkan pada setiap keluarga, harus disesuaikan lagi sesuai dengan kondisi keluarga dan kemampuan orang tua.
Nah, pada tanggal 24 Oktober 2024 yang lalu Ibun Enok berkesempatan mengikuti Kulwap (Kuliah WhatsApp) menarik tentang parenting yang bertajuk “Disiplin Positif Anak” dengan Narasumber Henny Puji dari Program Imuni Aksi. Ibun Enok baru mengetahui keberadaan Program Imuni Aksi ini yang ternyata sudah dimulai sejak tahun 2023. Sekilas tentang Program Imuni Aksi adalah program yang berfokus pada pendampingan dan peningkatan kapasitas para ibu agar memiliki pemahaman terkait dengan pengelolaan emosi, pengasuhan positif, dan juga menumbuhkan sikap toleran serta inklusif di keluarga.
Fokus isunya mengangkat tentang stimulasi dan kelekatan ibu dan anak dengan kegiatan bermain, kesehatan mental ibu dan peace parenting. Berbagai aktivitas di dalamnya, salah satunya adalah Kulwap ini, yaitu habituasi di lingkungan sekitar. Gerakan Binar Bermain Belajar dalam Program Imuni Aksi ini didukung oleh Yayasan Indika Foundation. Kegiatannya diantaranya melalui webinar, kelas belajar, 30 hari bermain bersama anak, playdate, pembuatan buku, printable dan sebagainya.
Apa itu Disiplin Positif?
Disiplin Positif merupakan cara menumbuhkan sikap disiplin untuk menumbuhkan kesadaran serta memberdayakan anak agar mandiri. Disiplin positif sering kali dikaitkan dengan sikap disiplin yang berasal dari kesadaran pribadi yang tentunya ini merupakan harapan kita sebagai orang tua dan pendidik.
Lantas apa bedanya dengan disiplin biasa? Perbedaannya disiplin positif lebih ke faktor kendali internal, kesadaran dari dalam yang harapannya memiliki ketaatan jangka panjang. Jadi, disiplin positif ini lebih bagaimana menumbuhkan kesadaran internal dari anak. Selain itu, disiplin positif memiliki ciri antara lain terdapat konsekuensi logis dan dukungan, fokus pada motif di balik perilaku, peraturan dibuat bersama, ketaatan jangka panjang, perilaku tidak disiplin dianggap sebagai kesempatan untuk mengajarkan karakter dan pendidik sebagai “detektif”.
Sedangkan disiplin biasa memiliki ciri lebih ke kendali eksternal, menerapkan hukuman dan imbalan, fokus pada perilaku, peraturan dibuat oleh yang berkuasa, ketaatan jangka pendek, perilaku tidak disiplin dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu, dan pendidik sebagai polisi atau hakim.
Nah, bagaimana mengupayakan agar tercipta disiplin internal dalam diri anak? Dalam hal ini kita bisa menerapkan 7 prinsip dalam Disiplin Positif, antara lain:
1. Prinsip menumbuhkan kesadaran internal, bukan kontrol dari luar
Fitrah “bebas merdeka” pada dasarnya dimiliki oleh kita semua, begitu pula dengan anak-anak. Sebagai contoh ketika sudah waktu sholat, kita meminta anak yang sudah rapi mau berangkat untuk segera sholat. Kira-kira respon apa yang keluar pertama kali muncul? Bisa jadi anak masih bersantai-santai atau malah justru gerutuaan yang keluar. Meskipun setelah itu anak tetap berangkat dan yang paling esktrim mungkin malah tidak jadi sholat, malah menunda-nunda.
Ternyata, di dalam diri kita ada yang namanya will power, yaitu tombol perintah internal yang akan membuat kita bergerak spontan atau otomatis tanpa disuruh. Nah, tombol perintah internal inilah yang dapat kita gunakan untuk menyalakaan kesadaran internal, kesadaran yang berasal dari diri kita sendiri. Kesepuluh tombol daya internal tersebut antara lain:
1. Benefit/manfaat: kita harus mengetahui manfaat dari suatu kegiatan yang akan dilakukan
2. Pride/kebanggaan: biasanya kita memerlukan sesuatu yang keren atau membanggakan. Atau kita bisa membuat sesuatu yang keren agar anak tertarik
3. Meaning/makna: kita dapat memberikan makna yang mencerahkan dan menggerakkan terhadap suatu kegiatan
4. Challenge/tantangan: pada dasarnya kita tidak suka disuruh, namun suka ditantang. Tantangan akan membuktikan kalau kita bisa melakukan sesuatu
5. Curiosity/keingintahuan: kita dapat memberikan pertanyaan kepada anak yang menggugah perasaannya
6. Passion/minat: kita bisa mencari sosok atau kegiatan yang sesuai dengan minatnya.
7. Purpose/tujuan: kita akan berjuang keras untuk mencapai tujuan.
8. Joy / kesenangan : kita harus mengetahui aktivitas apa yang dapat membuat anak senang
9. Need / kebutuhan : kita harus mendalami kebutuhan apa saja yang diperlukan anak sehingga mendukung aktivitasnya
10. Faith /keyakinan : kita harus meyakini bahwa anak memiliki kemauan dan kemampuan
Contoh pengoptimalan tombol internal ini pada anak, misalnya Kenapa anak betah main game? Ini karena untuk memenuhi tombol kesenangannya dan bahkan tanpa kita ajari mereka bisa bereksplorasi sampai tidak terkira pengetahuannya. Nah, yang menjadi PR nya, bagaimana cara menumbuhkan eksplorasinya di rumah? Maka, kemaslah tombol daya internal ini dalam kegiatan yang menarik untuk anak.
Sepuluh tombol ini memang semua telah terinstal di dalam diri kita, hanya menunggu kita mau mengaktifkan yang mana terlebih dahulu. Untuk mengetahui akan diaktifkan yang mana, mau tidak mau kita harus menjadi detetif untuk mengenal anak kita lebih deket lagi.
Apabila orang tua menerapkan pola asuh otoriter jelas bertentangan dengan prisip pertama ini, karena pemegang kuasa adalah orang tua dimana anak dipaksa menuruti orang tua. Artinya kendali eksternal atau kontrol dari luar menjadi sangat dominan.
2. Prinsip konsekuensi logis, dan bukan hukuman
Hukuman di beberapa anak mungkin tidak masalah, tetapi tetap saja ketika kita memberikan hukuman yang salah bukan ketaatan yang didapatkan, tapi masalah lain yang bisa muncul. Hukuman pada beberapa anak akan menyisakan efek samping dan bisamenimbulkan masalah baru.
Beberapa masalah yang dapat muncul dari hukuman adalah :
- Resentment (menyalahkan orang, akan timbul ketidakpercayaanterhadap orang tersebut)
- Rebellion (memberontak, anak akan melakukan sebaliknya, membuktikan kalau orang tua tersebut salah)
- Revenge (dendam terhadap orang yang memberi hukuman, adakeinginan untuk membalas)
- Retreat (melakukan sesuatu di belakang kita, tanpa diketahui)
Lantas, hukuman bisa digantikan dengan apa? Mari kita mulai menerapkan di rumah, mengganti hukuman dengan konsekuensi logis. Konsekuensi logis bukan hanya sekedar mengubah perilaku akan tetapi memberikan solusi pada permasalahan yang dihadapi.
Bentuk konsekuensi logis yang dimaksud disini adalah: jika merusak, maka memperbaiki; jika mengabaikan kewajiban, maka kehilangan hak/privilege; dan jika melakukan sesuatu yang mengganggu/mengganggu berulang,maka akan diberikan jeda (time-out).
Dalam penerapannya, terdapat 4 prinsip konsekuensi logis bukan hukuman dalam disiplin positif (3R1H):
1. Related (berhubungan dengan perilaku yang anak tunjukkan)
2. Respectful (menjaga harga diri, tidak boleh memperlakukan/menjatuhkan harga diri anak, terutama di depan umum)
3. Reasonable (sesuai dengan kadar usia anak)
4. Helpful (membantu anak untuk memperbaiki diri, bukan malah menimbulkan dendam atau menarik diri).
Peraturan dibuat orang tua sebisa mungkin ke hal yang lebih mengikat semacam sebab akibat. Misalnya anak merusakkan mainan, alih-alih memukul atau memarahi, ajak dia untuk memperbaiki buku yang robek, menempelkannya ulang dengan selotip. Memakai jam yang terlalu panjang saat main game, maka konsekuensinya anak akan kehilangan waktu di aktivitas setelahnya.
3. Prinsip pemberian hadiah atau reward
Sebagai orang tua tak dapat dipungkiri terkadang kita masih suka menggunakan iming-iming dan janji-janji misalnya "nanti Ibu kasih.. nanti Ibu belikan.. nanti.. dan nanti lainnya?”.
Nah hadiah ini sebetulnya lebih bersifat eksternal karena biasanya kita sebagai orang dewasa yang memberikan. Biasanya hadiah ini bersifat ekskalatif atau bertingkat, hadiah yang sama tidak akan mempan untuk aturan yang sama. Pasti akan naik nilai tawar dan nilai jualnya. Hadiah bisa saja membuat anak termotivasi untuk berdisiplin, namun bahayanya hadiah bisa menjadi sogokan manipulatif orang dewasa dan bisa menjadi adiktif bagi anak.
Kalau orang tua bisa saja siap untuk menuruti kenaikan tawaran, akan tetapi jika mau memutus rantai tawaran itu mari kita ganti hadiah dengan dorongan / encouragement yang lebih bersifat internal dan bersifat jangka panjang atau bertahan lama. Tapi hati hati ya, kita harus dapat membedakan antara dorongan dan pujian agar hasilnya sesuai dengan yang kita harapkan.
Apa yang membedakan antara dorongan dan pujian? Dorongan bersifat spesifik pada perilaku dimana anak menjadi subjek, kita memberikan kepercayaan penuh pada anak, fokus pada progress, berusaha mendorong untuk mengevaluasi diri sendiri, dan mendorong untuk keberanian.
Sedangkan pujian bersifat umum atau tidak spesifik, orang tua menjadi subjek, terdapat kontrol, fokus pada kesempurnaan, membandingkan diri anak dengan orang lain, dan menjadikan takut untuk berbuat salah. Dorongan itu seperti vitamin yang menyehatkan. Pujian itu seperti permen yang bisa membuat sakit gigi.
Lantas, bagaimana penerapannya di rumah? Kita sebagai orang tua dapat memulai dengan perbanyak dorongan / feedback positif yang spesifik pada progress dan proses yang telah dilakukan. Perhatikan pilihan kalimat supaya maksud kita tersampaikan ke anak.
Kita dapat memulai dari hal-hal kecil, misalnya anak berhasil menuliskan pengalamannya selama liburan : Wah keren, hebat, sudah bekerja keras menyelesaikan tulisan. Bukan sekedar bilang, "tulisannya bagus ya". Ketika anak berhasil menyelesaikan makannya, jangan pelit mengatakan : Wah, terimakasih sudah menghabiskan makan hari ini. Ibu senang sekali, adek senang tidak makanannya habis?. Komentar kita cukup berhenti sampai disitu, tidak perlu ditambah-tambahi : besok dihabiskan juga ya. Ketika anak selesai mandi: Wah, hari ini mandinya bersih, terimakasih sudah mau membersihkan telinganya, bisa pakai sabun sendiri juga.
4. Prinsip membangun koneksi, bukan koreksi
Ini berarti upaya membangun kedekatan dengan anak supaya lebih mudah memberikan arahan, meembangun karakter baik pada anak dan lebih dekat dengan anak. Alih-alih langsung menyalahkan ketika melanggar sesuatu, kenapa tidak kita tanya dulu kenapa mereka melakukan itu, apa yang melatar belakangi perbuatan tersebut.
Bagaimana cara membangun koneksi dengan anak? Jadi, mari kita perbanyak menyapa anak dengan hangat, bermain bersama, berbincang bersama dan beraktivitas bersama. Perkuat dengan gesture yang tepat, yaitu menyamakan level mata dengan anak dan sikap tubuh terbuka. Validasi selalu emosi apa yang dirasakan anak, sehingga anak tahu kita peduli kepadanya. Jangan lupa selalu berikan kepercayaan pada anak, pahami bahasa cintanya. Hadir untuk anak atau berikan perhatian penuh pada anak, supaya anak tahu kita ada untuk mereka. Dengarkan masalah yang dihadapi anak, praktikkan prinsip mendengar aktif. Dengan bangunan kedekatan yang kokoh, itupun akan mempermudah kita untuk memberitahu anak ketika mereka melakukan kesalahan. Kalau ada istilah bonding is a must adalah benar adanya.
5. Prinsip memahami bukan menghakimi
Ini berarti kita berupaya berlaku menjadi semacam “detektif” yang mencari tahu dan bukan “polisi” yang menghakimi. Setelah kondisi emosi kita aman, mainkan peran sebagai detektif, sehingga kita bisa lihat lebih dekat apa yang sebenarnya anak kita ingin sampaikan. Jadilah orang tua sebagai detektif supaya bisa lebih memahami anak, yang dapat melihat lebih detail apa yang dilakukan anak dan gunakan itu sebagai bahan memberikan kalimat penghargaan. Apabila kita bisa masuk ke dunia anak-anak itu sebenarnya menyenangkan.
Dalam prinsip memahami ini, utamakan menggunakan curiosity question daripada judgemental statement. Dengan curiosity question yang mencerminkan keinginan untuk mencari solusi dan fokus pada penyebab, anak akan merasa dimengerti karena ditanya. Sedangkan apabila kita menggunakan judgemental statement yang didasari rasa kesal, tidak ada kendali emosi dan berfokus pada perilaku negatif anak, tentunya anak akan merasa dihakimi dan disalahkan.
Apa yang dapat kita lakukan untuk menerapkan prinsip ini di rumah? Kuncinya adalah kenali anak lebih dalam. Jika anak haus perhatian, maka berikan perhatian lebih. Jika anak haus kekuasaan/ ingin memimpin/mendominasi, maka berikan otoritas, tanyakan tentang keputusan yang akan diambil. Jika anak merasa dendam (ingin melampiaskan sesuatu/ masa lalunya) maka kita perlu dampingi dalam membasuh luka masa lalunya, misalnya untuk anak korban bullying. Jika anak merasa minder/rendah diri, maka cobalah berikan kepercayaan dan dorongan.
6. Prinsip kendalikan diri, bukan kontrol orang lain
Prinsip mengendalikan diri sebelum mengendalikan orang lain ini yang nampaknya lumayan sulit untuk dilakukan oleh orang tua karena terkadang emosi negatif kita berasa ibarat setipis tissue. Terkadang kita pun tidak dapat atau tidak tahu bagaimana cara mengendalikan diri ketika emosi negatif melanda, tiba-tiba meledak begitu aja. Ketika anak bersikap yang mungkin diluar batas aturan kita, yang perlu diwaspadai pertama adalah pastikan posisi kita sudah di saklar emosi yang aman. Kenali saklar emosi diri, ambil jeda jika memang dirasa perlu.
Beberapa Langkah yang dapat kita lakukan untuk mengendalikan emosi negatif diantaranya:
- Terima: Terima semua emosi yang sedang dirasakan
- Amati: Amati bagaimana reaksi terhadap emosi tersebut
- Nikmati: Nikmati semua emosi, karena emosi adalah karunia Tuhan
- Yakin: Yakin kalau kita lebih kuat daripada emosi
- Aksi: Beraksi untuk mengendalikan emosi tersebut.
Aksi ini, dapat kita lakukan dengan aneka teknik pengendalian emosi, mulai dari latihan nafas, grounding, journaling, berhitung mundur dengan angka besar dan teknik-teknik manajemen emosi lainnya. Bagi yang beragama muslim mungkin sudah tidak asing dengan cara beristighfar, mengambil jeda sejenak dengan minum, duduk, mengambil posisi tiduran, wudhu, atau sholat. Jika dirasa diri sendiri sudah tak mampu mengendalikan, jangan segan untuk cari bantuan orang lain atau tenaga profesional.
7. Prinsip Lembut dan tegas (kind and firm)
Dengan berkata lembut maka akan diterima oleh telinga dan juga hati. Sedangkan tegas berarti penekanan pada komitmen yang tidak bisa ditawar. Terkadang prinsip kelembutan bisa disalah pahami dalam prakteknya. Misalnya ketika orang tua menerapkan kelembutan dalam pola asuh permisif yang berpusat pada kenyamanan anak atau menyenangkan hati (pleasing). Orang tua merasa tidak tega melihat anaknya sedih dan kesulitan, kecewa sehingga memilih ketegasan untuk tidak dipaparkan ke anak. Padahal sesekali anak perlu merasakan kecewa atau sesuatu yang tidak menyenangkan, maka akan tumbuh karakter baik dan anak bisa melihat dari sudut pandang yang lain yang dapat menambah pengalamannya dalam mengatasi kesulitan, menumbuhkan sikap resiliensi menjadi anak yang tangguh dan berdaya juang tinggi.
Kelembutan juga sering disalahpahami sebagai tindakan menyelamatkan (rescueing). sehingga anak terus-terusan terbiasa dibantu. Adakalanya anak perlu dikenalkan dengan kegagalan. Kelembutan dengan memberikan perlindungan dan intervensi berlebihan, padahal anak juga perlu dikenalkan dengan tantangan. Atau dengan kata lain, kelembutan ini sering disalahartikan dengan pempering atau memanjakan anak dengan kenyamanan berlebihan dan menuruti semua keinginan anak. Orang tua yang salah mengartikan kelembutan ini biasanya memberikan pilihan terlalu banyak. Ada kalanya anak juga harus diajarkan memilih dari sesuatu yang kurang ideal.
Bagaimana Penerapan Disiplin Positif Berdasarkan Rentang Usia Anak?
Perkembangan anak itu berbeda sesuai dengan rentang usianya. Menerapkan disiplin positif ini pun tidak dapat disamaratakan. Bagi anak usia 1-3 tahun tentu beda dengan anak usia 4-8 tahun, dan pasti berbeda juga dengan anak usia diatasnya. Disiplin positif ini bisa kita terapkan sejak kecil.
Bagi anak usia balita, buku cerita, tayangan visual (film kartun mendidik) masih efektif untuk membantu mengenalkan disiplin positif. Maksimalkan untuk mengeksplor karakter atau aturan mana yang akan dikenalkan, karena bisa jadi seiring bertambahnya usia mungkin kedepannya yang membuat anak tertarik sudah berbeda sehingga menjadi tidak efektif lagi. Buku, dongeng dan cerita ini secara penelitian memang bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk menanamkan karakter baik bagi anak.
Persamaannya dalam semua rentang usia anak seperti pembahasan di atas adalah tiap anak mempunyai fitrah merdeka dan punya daya perintah internal. Misalnya saja balita yang masih suka bermain, tiba-tiba mainannya diambil reaksinya pasti langsung marah.
Bagi anak remaja usia 12-18 tahun, yang paling dominan di masa ini adalah peer education, apa tombol internal mereka yang sedang berkembang? Misalnya remaja sedang suka naik gunung, maka kemas tombol passion-nya sisipin dengan tombol challenge kemudian adakah tombol benefit yang dapat dimainkan dari passionnya? Misalnya carikan mentor naik gunung yang dapat dicontoh. Intinya berikan pengalaman dan wawasan yang dekat dengan passionnya. Dengan tombol passion, kita dapat memasukkan berbagai karakter positif untuk anak kita.
Hal ini berlaku sama dengan rentang usia lainnya. Jadilah detektif untuk anak kita. Nah, caranya bagaimana?. Pengikatnya ada di komunikasi dan aturan bersama. Penerapan pola asuh demokratis ada beberapa prinsip yang selaras dengan penerapan disiplin positif ini, yaitu sama-sama memakai pendekatan komunikasi dan kesepakatan bersama.
Ketika sedari kecil anak sudah dikenalkan dan dibiasakan dengan komunikasi yang positif, lalu diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat dan belajar mengelola emosi dengan baik maka penerapan disiplin positif itu hanya perlu memejamkan mata saja, karena sudah terinternal dalam kebiasaan sehari-hari. Semakin dini dikenalkan disiplin positif akan membuat kita sebagai orang tua akan lebih membuat ritme keluarga menjadi lebih tenang dan mudah. Hal ini disebabkan karena anak belajar dari konsistensi dan pembiasaan. Ketika sudah terbiasa dari kecil, maka potensi untuk lebih sadar apa yang sedang dilakukan ini akan lebih bertumbuh seiring tambahnya usia. Di usia usia awal sebelum anak dikenalkan sekolah (tempat mereka belajar dengan aturan ketat yang dibuat selain aturan rumah), maka kenalkan aturan disipilin positif lebih ke memberikan fondasi awal lewat pembiasaan-pembiasaan.
Penerapan Disiplin Positif dengan Membuat Batasan dan Jadwal Bersama
Bagi anak yang mulai menginjak usia SD, kita dapat menerapkan disiplin positif dengan mencoba membuat Batasan dan jadwal bersama. Diskusi membuat jadwal dengan duduk bersama, membuat jadwal orang tua, jadwal anak bersama-sama. Kalau anak sudah tahu konsep jam maka bisa ditambahkan jam berapa dan aktivitasnya apa. Coba cari tahu, apa yang sedang disukai anak. Kita dapat memakai tombol joy curiosity untuk memancing tombol perintah internalnya. Lalu selipkan atau kemas masalah manajemen waktu ini dari sana. Misalnya buat batasan waktu, bahwa tidak bisa seharian anak bisa sepuasnya bermain. Mereka perlu makan, perlu mandi, perlu mengobrol juga dengan orang tua, teman dan saudara.
Membuat batasan atau aturan bersama ini bisa kita lakukan dengan berdasarkan kesepakatan bersama/musyawarah, saling mendukung dan kerja sama. Namun dengan catatan jika itu terkait hal-hal yang mendesak terkait keselamatan, maka intervensi orang tua masih diperlukan. Contoh dalam membuat aturan bersama misalnya kita buat kesepakatan pembagian peran dalam kerja di rumah. Tiap hari minggu adik bertugas mengambil sprei dari semua kamar untuk dicuci, kakak bertugas membersihkan rumput di halaman, ayah bertanggung jawab dengan kebersihan kamar mandi dan ibu bertanggung jawab untuk area dapur. Ketika disepakati bersama, lengkap dengan konsekuensi logis dan juga dorongan maka kesadaran menjaga kebersihan rumah ini tidak perlu membuat ibu justru kelelahan tiap akhir pekan.
Kesimpulannya, masalah disiplin positif ini lebih ke masalah pembiasaan. Sebagai contoh penerapan prinsip kedua, ketika anak terbiasa dengan segala konsekuensi logis, sebelum anak melakukan sesuatu, anak akan terbiasa berpikir dulu sebelum bertindak. “Kalau bukunya dirobek, nanti aku juga yang sulit untuk memperbaiki. Kalau nanti aku tidak membereskan mainan, nanti aku juga yang sulit untuk mencari mainannya. Kalau aku bolos sekolah nanti aku juga yang sedih karena pasti dimarahi.”
Terkadang memang sulit untuk menerapkan prinsip-prinsip disiplin positif di atas, butuh konsistensi dan kerja sama yang baik kedua orang tua dan supporting system di sekitar kita. Ibarat impian setiap ibu menginginkan sosok ummi dalam kartun Nusa Rara yang terlihat sangat sempurna, namun apa daya realitanya kemampuan baru sebatas Kak Ros dalam Upin Ipin. Tetapi harapannya semoga Kak Rosnya masih mempunyai energi untuk belajar lebih baik lagi, agar anak tetap asyik dan seru main bersama.
Akhir kata, membiasakan disiplin positif ini kadang terasa seperti kita sedang mendorong mobil yang sedang mogok. Jika kita mendorongnya manual saja, pasti fisik atau kelelahan yang akan kita dapatkan. padahal mobil yang mogok itu adalah mobil yang super canggih, yang bahkan bisa melaju dengan sendirinya dengan kecepatan super. Mari kita berupaya menjadi orang tua yang tahu mana “tombol” yang dapat kita pencet supaya mobilnya bisa melaju kencang.
Salam positive parenting!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI