Mohon tunggu...
Resti Sulastri
Resti Sulastri Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 5 SMAN 1 PADALARANG

Salam pelajar!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jenderal Sang Penumpas Kejahatan

18 November 2021   23:08 Diperbarui: 18 November 2021   23:23 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu pagi yang amat sejuk. Belum dikatakan pagi yang cerah, karena kala itu sang surya belum menampakkan diri,jam masih menunjukkan pukul 6.20 WIB.

"Dug dug dug dug.."

(suara langkah kaki kecil menuruni tangga kayu dengan tergesa-gesa)

"Aduh! piye iki, alon-alon, nanti kamu jatuh loh", ucap sang ibu sembari menaruh semangkok sayur sop yang masih berasap karena panas keatas meja.

"Tole..tole..kenapa kamu harus tergesa-gesa? ini kan masih pagi", kata sang bapak yang sedang membetulkan rantai sepeda ikut nimbrung.

"Ya ampun Pak,Bu..ndak bisa. Hari ini kan Senin", ucap anak berseragam sekolah dengan topi dikepalanya.

"Loh emang ada apa hari Senin? kan ga pernah telat toh kalau upacara juga".

"Mau latihan dulu pak, masalah nya hari ini aku jadi petugas upacaranya", sambil nyengir menampakkan giginya yang rapih.

Ibu langsung mendekati mengusap kepala anaknya,"oalah..hebat! anak bapak sama ibu jadi petugas upacara toh. Yasudah, ayo cepat kita sarapan terus langsung berangkat yo".

Berangkatlah anak itu diantar oleh bapaknya menaiki sepeda. Tentunya setelah salam dan meminta doa kepada ibunya.

"Suaranya harus lantang yo kalau jadi petugas upacara, jangan gugup, jangan takut dilihat orang-orang", ibu menasihati.

"o iya pastilah Bu".

"Ehh, tole.. jangan lupa pulang sekolah bantu kakek yo", ucap ibu berteriak didepan pintu.

"Siap ibu ku yang cantik, laksanakan!", memberi hormat layaknya upacara, lalu melenggang menaiki sepeda dengan bapak sambil dadah dadah kepada ibunya.

Sang ibu hanya bisa tersenyum geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang anak.

Kenalilah, Gatot Soebroto. Dia adalah putra pertama dari keluarga Sajid Joedojoewono yang lahir pada tanggal 10 Oktober 1907 di Banyumas, Jawa Tengah.

"Bugg..!!"

"Bug..!"

(Suara pukulan) 

Laki-laki berambut pirang tersungkur ke lantai sambil memegang pipi kirinya yang memar. Sebut saja dia Berend. Kemudian dia bangun sambil tersenyum meremehkan.

"Apa?!! dasar orang pribumi! begitu saja marah."

Emosi ku semakin memuncak, " Jelas aku marah, kamu memang temanku,tapi apa kamu tahu? siapa yang telah kamu rendahkan? mereka adalah orang-orang pribumi yang sedarah dan setanah air dengan ku!!"

Setelah perkelahian tadi, pihak sekolah memanggil ku dan mengeluarkan ku dari ELS. Ya. Europeesche Lagere School (ELS) adalah sekolah ku. Sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan beberapa anak-anak Indonesia. Berend yang tadi ku pukul adalah salah satu anak dari residen Belanda. Astaga Gatot! kamu ini sungguh..

Pemberani sekali! tapi perkelahian itu tidak dibenarkan sama sekali!.

Aku pulang berjalan kaki menyusuri desa, dengan keadaan lusu dan lunglai. Ekor mataku mengikuti kakek yang sedang menimba air disumur. 

"Huft..", mengambil dan menghembuskan nafas sembari tersenyum menghampiri kakek.

"Ya ampun kakek, kok  sendirian? kan Gatot sudah bilang toh, kalau menimba air tunggu Gatot pulang sekolah kek".

"Kakek tidak papa le, loh nak Gato kok jam segini wes mole?" , tanya kakek sambil mengelap keringat yang membasahi pelipis nya.

"Hehehe.. iya kek", itu saja yang bisa ku ucapkan.

Ya begitulah, Gatot sejak kecil sudah terbiasa membantu para warga yang kesusahan, sehingga semua mengenalnya dengan baik. Apalagi sang kakek yang setiap hari Gatot bantu sedari kecil. Kakek bahkan menganggap nya seperti cucu sendiri.

Setelah ibu dan bapak mendengar kabar ku dikeluarkan dari sekolah, mereka sedikit kecewa. Tapi bangga terhadap keberanian ku membela orang pribumi. Namun tetap disalahkan ketika menyangkut tentang perkelahian. Karna tidak semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan.

Beruntung ada salah satu keluargaku yang bersedia membantu, keluargaku itu adalah seorang pengajar di sebuah sekolah yang bernama Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap. Akhirnya aku melanjutkan dan mengakhiri pendidikan di sekolah tersebut. 

Tamat sekolah di HIS, kini aku telah beranjak dewasa menjadi seorang pemuda. Tetapi aku memilih melanjutkan dengan bekerja menjadi seorang pegawai. Setelah beberapa lama, aku mulai merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, hingga memutuskan untuk keluar menjadi seorang pegawai. Dan tertarik masuk dunia kemiliteran. 

"Apapun keputusan mu, Ibu dan Bapak akan selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik buat kamu. Nikmati setiap proses nya dengan hati yang ikhlas. Insyaallah akan sukses", diusapnya rambutku sambil memeluk Ibu dan Bapak. Hendak pergi berpamitan untuk menempuh pendidikan militer itu.

Rasa berat dalam dada meninggalkan mereka, tetapi aku harus kuat dan bisa menjadi anak yang sukses, membanggakan orang tua.

Tiba di Magelang pada tahun 1923.

"Selamat! anda telah resmi bergabung dengan Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger", ucap salah satu atasanku.

Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) adalah tentara kependudukan Belanda dan Jepang. 

"Saya akan menugaskan kamu Gatot! kamu akan saya kirim ke Padang panjang", perintahnya.

"Baik pak!",tegasku dengan hormat.

Sempat mendapat gelar sersan ll, kemudian aku dikirim ke Sukabumi, Jawa Barat untuk pendidikan masose (kesatuan militer dengan tugas khusus dan menuntut keberanian lebih dari kesatuan lain).

"Lapor sersan!", sembari hormat kepadaku.

"Ada apa?", tanyaku.

"Perang dunia ll berhasil membuat Jepang menduduki Belanda." 

"Baik! siapkan pertemuan kita dengan pihak Jepang, kita akan bergabung dengan organisasi nya!",ucapku tanpa aba-aba.

Pada akhirnya, aku bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi milik Jepang yang berisi tentara pribumi untuk berperang di Bogor. Aku merasa bahwa karirku berkembang pesat saat ini. Lulus dari pendidikan PETA, aku diangkat menjadi anggota kompi di Banyumas sebelum ditunjuk menjadi komandan Batalyon.

Hingga pada suatu hari, atasanku memanggil ke ruangannya.

"Hormat! Ada apa gerangan memanggil saya pak?", ucapku.

"Kamu tahu apa kesalahan mu?!, ucapnya sedikit membentak.

"Maaf, maksud anda apa?", aku bertanya.

"Jangan bodoh!, kamu tahu kan setiap orang yang dipanggil ke ruangan ini artinya dia sudah melakukan kesalahan! kamu ingat sudah berapa kali saya menegurmu?!!"

Aku mengernyitkan dahi. Perlahan mengontrol emosi sambil mengepalkan tangan agar tidak meluap. Mengingat-ingat kembali beberapa hari yang lalu aku mendapat banyak teguran dari sang atasan.

"Saya sudah memperingatkan kamu berapa kali? berpihak kepada siapa kamu ini Gatot?!! Hah?!! Jawab saya!!! kamu adalah tentara kami, mereka? pribumi miskin! tak berdaya! untuk apa kamu korbankan banyak cara untuk mereka? bahkan kamu menyisihkan gajimu untuk mereka juga kan?!!", suaranya kian meninggi dengan nada merendahkan. Dalam hatiku berkata bahwa aku harus melakukan ini.

"Srekk", aku membuka pangkat perang yang menempel diseragamku dengan kasar lalu melemparnya ke hadapan atasanku. Berniat untuk keluar dan mengundurkan diri dari ruangan. 

Ternyata emosi ku tidak bisa dikontrol semudah itu. Atasan menahan kepergian ku dan tindakanku tadi diluluskan oleh pihak Jepang karena keberanian yang ku punya. Aku menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap rakyat pribumi dan anak buahku.

"MERDEKA..!!"

"MERDEKA..!!"

"MERDEKA..!!"

Sorak sorai seluruh rakyat Indonesia menyerukan kata tersebut. Tanda kemenangan dan keberhasilan perjuangan bangsa menumpas penjajah.

Setelah kemerdekaan, aku membentuk organisasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dipercaya menjadi Panglima Divisi ll, Panglima Corps Militer, dan Gubernur militer daerah Surakarta. Namun yang saat ini aku menjadi kepala siasat, berganti menjabat sebagai kepala divisi pangkat kolonel.

"Selamat!", atasan menjabat tanganku dengan bangga.Aku tersenyum.

"TKR ini akan menjadi cikal-bakal nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini!, ucap sang pemimpin dengan suara lantang. Dia. Kolonel Soedirman.

"PROK.. PROK.. PROK.. PROK.."

Suara riuhan tepuk tangan bergemuruh dilapangan dengan terharu mengingat perjuanganku dan para anak buah saat pertempuran Ambarawa.

Waktu cepat berlalu, tiba di tahun 1948. Mungkin Indonesia sudah merdeka dari para penjajah Belanda dan Jepang. Tapi belum merdeka dari rakyatnya sendiri.Saat itu tanah air sedang genting-gentingnya, karena terjadi pemberontakan besar-besaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didalangi oleh Muso (DI/TII).

"Kita harus hati hati! Sungguh! aku sangat bingung. Bagaikan telur diujung tanduk. Kita tidak boleh salah kaprah maupun strategi! salah sedikit, bisa berbahaya bagi kita semua, apalagi PKI ini sedang mengintai para pasukan TNI.", ucap gubernur Jawa Timur.

Saat ini kami sedang menggelar pertemuan guna membuat strategi menumpas PKI. Tentunya pertemuan ini diadakan diam-diam agar tidak sampai terdengar ke telinga para pemberontak itu.

Ada pasukan dari Divisi Siliwangi, Kolonel Soengkono gubernur Jawa Timur, pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) dibawah pimpinan M.Yasin, dan tentunya aku, Gatot Soebroto sebagai gubernur wilayah ll Semarang-Surakarta.

Hingga akhirnya terciptalah keputusan setelah berbagai perdebatan yang begitu melelahkan.

"Pemberontakan ini terjadi di Madiun, maka kita semua akan melancarkan strategi yang telah diputuskan. Pasukan dari Divisi I diikuti MBB akan menyerang dari sebelah Timur yang dipimpin oleh Kolonel Soengkono dan M.Yasin. Dari sebelah Barat, pasukan dari Divisi Siliwangi akan menyerang dibawah pimpinan ku sendiri. Semuanya siap?!!", komando dariku.

"SIAPPP!!", dengan serentak semua menjawab.

Panglima Soedirman berangkat ke pemerintahan untuk memberitahu bahwa kekuatan inti pasukan-pasukan PKI berhasil ditumpas dalam waktu 2 Minggu.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai. Hari ini pasukan dari arah Timur dan pasukan dari arah Barat akan melaksanakan strategi yang telah dibuat di Gedung Merdeka di Madiun.

"Ingat! berhati-hatilah! jangan salah strategi!",ucapku menginginkan.

Namun, pimpinan kelompok kiri dan beberapa pasukannya berhasil kabur, sehingga tidak dapat segera ditangkap. 

"Arghhh!! kenapa mereka bisa kabur?!!"

Kemudian akhir bulan November 1948. Seorang prajurit anak buah mendatangi ku.

"Lapor kol! seluruh pimpinan dan pendukung Muso berhasil ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia. Laporan selesai!".

"Laporan diterima! tanggal 20 Desember beritahu para prajurit untuk menyiapkan segala keperluan. Para pemberontak itu pantas di eksekusi akibat perbuatannya!", balasku sambil menggertakan gigi penuh emosi dalam dada.

"Dimana saya harus mempersiapkan segalanya kol?", tanya anak buah.

Aku berpikir sejenak hingga akhirnya menemukan tempat yang tepat.

"Dimakan Ngalihan, saya akan kesana untuk menyaksikannya sendiri secara langsung." 

"Baik kol!", balas prajurit lalu meninggalkan ruangan.

Akhirnya penumpasan para pemberontak PKI itu telah selesai. Kini para rakyat dapat beraktivitas kembali tanpa rasa khawatir. Meski demikian, kami semua para TNI merasa berdukacita atas gugurnya 7 Jenderal. 

Tak lama dari peristiwa itu, beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1952, terjadi pemberontakan yang tak jauh berbeda dengan Jawa.

"Kol!!", panggil prajuritku yang lari tergesa-gesa dengan nafas yang memburu.

"Aduh kowe iki! ada apa toh? Mengagetkan ku saja. Tidak lihat saya sedang apa?", jawabku kaget sambil mengipas jagung yang sedang dibakar.

Ya. Hari ini aku dan prajurit sedang tidak bertugas. Sehingga memutuskan untuk bersantai dan makan bersama. Kebetulan ada sungai yang cukup besar di dekat tempat kami bertugas.Dan kami biasanya berbicara dengan bahasa yang santai seperti layaknya teman, tidak formal seperti ketika bertugas. Itu adalah aturan yang ku buat untuk para prajurit ku supaya kami semua bisa akrab satu sama lain.

"Gawat kol! hah.. hah.. "

"Loh, ono opo toh? atur nafas dulu kamu iki! tarik nafas.."

"Hahh..."

"Buang nafas"

"Huhhh.."

Prajurit mengikuti instruksi yang ku berikan setelah tiga kali lamanya menarik dan membuang nafas.

"Wes lego kan? ayo, sekarang cerita ono opo kowe sampe lari-lari kehabisan nafas begitu? lihat buaya atau apa kamu ini?", tanyaku membuat beberapa orang tertawa kecil.

"Lebih gawat dari buaya kol. Baru saja prajurit dari wilayah perbatasan memberitahu ku. Di Sulawesi terjadi pemberontakan oleh KGSS (Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan)."

Penuturan prajurit itu membuat semua berdiri seketika karena terkejut.

"APAA?!! siapa pemimpin dari para pemberontak itu?", tanyaku sambil buru-buru bergegas membereskan keperluan dan akan segera melapor ke atasan.

"Dibawah pimpinan Kahar Muzakar". 

"Kau ikut denganku! (menunjuk prajurit yang memberitahu pemberontakan itu) 

yang lain! cepat bergegas menuju markas!", perintahku sambil menaiki mobil.

"SIAP!!"

Lihat bukan? ketika bertugas bahasa kita langsung berbeda. Begitulah menjadi seorang Prajurit. Bersantai sebentar saja langsung terombang-ambing oleh sebuah kasus peristiwa yang ada saja terjadi. Harus segera ditumpas.

Diperjalanan menuju kantor, semuanya masih aman. Warga beraktivitas seperti biasa, tak ada gosip ria atau bahkan ramai membicarakan sesuatu. Mungkin berita pemberontakan di Sulawesi belum sampai ke telinga mereka.

Sampai dikantor dan setelah melapor. Atasanku Jenderal Adhitomo, sama kagetnya dengan berita itu. Kemudian kami mendiskusikan dan membuat keputusan. Aku dipercayakan untuk menumpas pemberontakan di Sulawesi. Diikuti prajurit dan anak buah ku yang ikut serta.

"Saya memerintah kamu Gatot! Buatlah strategi yang matang dan berangkatlah ke Sulawesi bersama para prajurit mu untuk menumpas semua para pemberontak itu!", kata perintah dari Jenderal Adhitomo, atasanku.

"Siap Jenderal! perintah dilaksanakan!", hormatku padanya.

Lagi dan lagi setelah memasang strategi yang matang. Kami berangkat dan pulang dengan membawa kemenangan. Disambut baik oleh banyak orang. Mata orang orang tidak bisa berbohong, mereka semua bangga dan tersenyum kagum melihatku.

"Alhamdulillah", itu kata yang ku ucap terlebih dahulu.

Tidak hanya sekedar kemenangan, para pemberontak pun berhasil aku bujuk untuk masuk kembali ke dalam barisan TKR (Tentara Kemananan Rakyat).

Berkat kegigihan dan keberanian dalam memasang strategi, aku mendapat gelar dan jabatan baru. Yaitu panglima serta Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro.

Bangga dan terharu, tiba-tiba mengingat Ibu dan Bapak yang selalu mendoakan ku. Rindu sekali rasanya setelah beberapa tahun lalu mereka pergi meninggalkan ku. Sangat jauh. Ke tempat yang orang hidup tak kan bisa jumpai.

Setahun setelah pemberontakan di Sulawesi, tahun 1953. Terjadi kerusuhan para rakyat di Istana negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak.

Ada yang memanjat dan mendorong beberapa kali pagar besi penutup Istana negara. Sangat brutal. 

Aku yang mendengar kabar itu langsung keluar istana, menghadap langsung ke rakyat. Seketika mereka menyuraki dengan amarah.

"GATOT SOEBROTO!!!"

"DIA ORANGNYA!!"

"DIA DALANG DARI SEMUA INI"

"YA!! DIA..!!"

Aku terheran-heran mendengar semua penuturan rakyat yang meneriaki ku seperti itu. Jadi mereka semua datang kesini karena aku?

Apa yang telah ku perbuat sehingga mereka begitu marah?

"Mohon perhatiannya, maksud kalian apa?", tanyaku.

Tidak ada yang mendengar pertanyaan ku akibat suara gemuruh rakyat yang terlalu keras melenggang memenuhi halaman istana. Hingga pada akhirnya aku berteriak.

"TUNGGU! STOP! saya tidak mengerti maksud kalian semua apa meneriaki ku dengan sebutan 'dalang dari semuanya?' apa yang telah ku perbuat sampai membuat kalian begitu marah?",tanyaku lagi.

"Biar saya yang menjawab!!", salah satu rakyat menjawab dan maju dengan berani.

"Gatot Soebroto! kami pikir kowe berpihak pada rakyat. Tetapi ternyata tidak! kowe kan dalang dari penolakan pembubaran parlemen yang diusulkan rakyat?!!", lanjutnya.

Aku terhenyak, "kalian semua salah paham. Ini fitnah!".

Namun sia-sia saja, yang namanya rakyat tetap rakyat yang akan selalu mendengar apa kata orang tanpa tahu kebenaran faktanya. Sudah berapa puluh kali pun aku menjelaskannya mereka tetap tidak percaya padaku. Bagaikan abu diatas tanggul, seperti itulah keadaanku sekarang.

Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk keluar lalu mengundurkan diri dari jabatan dinas militer. Tetapi tiga tahun kemudian aku diaktifkan kembali setelah tuduhan itu terungkap. Dan aku diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (WaKaSaD) pada tahun 1956.

Penumpasan terakhir yang ku jalani adalah memasang strategi dan berhasil melumpuhkan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang ada di Sumatera dan Sulawesi.

Mengingat usia kini sudah berkepala lima, tidak membuatku lemah untuk membuat strategi dan menumpas ancaman, baik dari luar maupun dalam Negeri. 

"Tetaplah selalu membela dan menjaga tanah air tercinta ini", ucap sang Jenderal yang sudah tua ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun