Mohon tunggu...
Resta
Resta Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Perempuan yang suka membaca dan menulis. Mewujudkan mimpi lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Secret Diary

28 Juni 2024   10:43 Diperbarui: 28 Juni 2024   14:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 4.

Dua bulan sudah setelah kami honey moon. Ah, bagiku itu bukan sebuah honey moon, tetapi menoreh rasa sakit pertama kali karena perlakuan Mas Agha.

Ponselku tiba-tiba bergetar, membuatku terkejut padahal saat ini sedang me-make up seorang pengantin. Aku ijin sebentar untuk mengangkat telfon kepada pelangganku.

"Ternyata Mamah," gumanku setelah melihat nama orang yang tertera di layar ponsel. 

"Halo, assalamu'alaikum Mah," ucapku di ujung telepon.

"Apa, kecelakaan?" Tubuhku langsung lemas, seolah tulang kerangkanya lepas satu persatu. Air mataku luruh, bagaimana pun Mas Agha suamiku.

"Ia Mah, Hana selesaikan ini dulu."

"Iya, wa'alaikumus salam," ucapku mengakhiri telepon.

"Mba, kenapa?" tanya Alia, seorang gadis berusia 18 tahun yang membantuku selama beberapa minggu ini. 

"Nggak papa Li, ayo kita selesaikan ini, setelah itu langsung pulang!" Kuhapus air mataku, menutupi apa yang terjadi. Tak mau mengganggu konsentrasi Alia dan juga tak mau mengecewakan pelangganku. Lagi pula sebentar lagi selesai, tinggal sedikit lagi.

Kami melakukan pekerjaan sebaik mungkin, walau hati ini gundah gulana. Sikap profesional harus aku jalankan. Setelah selesai, aku bergegas ke rumah sakit. Tak mau mengulur waktu karena perasaanku yang tak tenang sejak Mamah menelepon.

"Mamah, gimana Mas Agha?" tanyaku dengan nafas yang masih tak beraturan, akibat berlari. 

"Yang sabar ya Sayang, suamimu sedang di tangani dokter," jawab Mamah Qila sembari memeluk tubuh ini. Air mataku kembali luruh membasahi pipi.

Aku tak bisa membohongi hati ini, jika aku memang sangat mengkhawatirkan kondisi orang yang belum bisa menerima dan memperlakukanku dengan baik. Mungkin aku memang wanita terbo*oh sedunia, menjatuhkan hati padanya yang hatinya telah dimiliki orang lain. 

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mah?"

"Tadi pagi, Agha dipecat dari perusahaan, atas tuduhan korupsi, dan menghamili seorang OB. Agha pergi cl***ing bersama teman-temannya untuk menghilangkan stress. Tapi, nahas saat perjalanan pulang, mereka kecelakaan. Itu yang Mamah tahu dari teman Agha yang selamat," jelas Mamah Qila menceritakan kronologi kecelakaan. 

"Ya Allah." Sejak pagi aku memang tidak di rumah, sibuk mengurus klien. Alhamdulilah, ada 3 klien hari ini dan saat Mamah menelfonku, aku sedang berada di rumah klien terakhir. 

Pintu ruang IGD terbuka. Seorang dokter pria berjalan keluar. Aku dan Mamah langsung menghampirinya. 

"Gimana keadaan suami saya, Dok?"

"Suami Ibu kritis, ada gumpalan darah di otak kecilnya," jawab Dokter.

Aku tak bisa berkata-kata. Mulutku terkunci. Hanya air mataku yang mewakilinya.

"Besok pagi jika kondisinya memungkinkan, kami akan melakukan operasi," jelas Dokter yang menangi Mas Agha. Selesai menjelaskan, Dokter pun berpamitan pergi, meninggalkan ku dan Mamah Qila yang masih berdiri di depan pintu IGD. 

*****

Air mataku seolah tak pernah mengering, dia terus turun tanpa permisi membasahi pasmina yang sedang aku pakai. 

"Hana, ayo makan dulu, Mamah yakin kamu belum makan malam." Mamah mertua menyentuh kedua bahuku dari belakang. 

"Hana nggak nafsu makan, Mah." Bagaimana mungkin aku bernafsu makan saat kekasih hatiku sedang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pesakitan. Berjuang antara hidup dan ma*i.

"Makanlah walaupun sedikit. Jangan biarkan perutmu kosong." Mamah mertua terus membujukku untuk makan. Akhirnya aku pun mengalah dan memakan satu potong roti bakar yang dibelikan oleh Mamah mertua. 

"Hana, Mamah tidur di hotel sebelah ya. Besok pagi Mamah kesini lagi." Mamah mertua berpamitan.

"Ia, Mah."

Sepeninggalan Mamah mertua, ruangan ini begitu hening. Sampai-sampai aku bisa mendengar suara nafas dan detak jantungku sendiri. 

"Cepat sadar ya, Mas." Tanganku menggenggam tangan kirinya dan mata ini menatap wajah pucatnya. Mas Agha sudah dipindahkan ke ruang rawat inap tadi jam delapan. 

"Walaupun kamu selalu bilang masakanku tidak enak, tapi aku taku kok, kalo kamu itu cuma bohong. Nyatanya kamu selalu menghabiskan apapun yang aku masak untuk sarapanmu," ucapku monolog sambil mengelus pipinya. Rasa sakit yang kurasakan saat ia menyentuhku. Hilang sirna dalam sekejap.

Agha selalu protes jika kusuruh sarapan, dia akan memaki masakanku. Katanya makanan apa itu, aku nggak doyan makanan kampung kaya gini. Dan aku akan diam saja, memilih bersembunyi di kamar, membiarkannya sarapan sendiri. 

Setelah Agha selesai sarapan, barulah aku keluar kamar lagi. Memeriksa apakah dia jadi sarapan atau tidak. Dan nyata, dia selalu menghabiskan sarapan. Egonya terlalu tinggi untuk memuji hasil masakanku yang memang enak. Ya walaupun, aku hanya bisa memasak makanan kampung. 

****

Kubuka gorden yang menutup jendela. Mataku menatap indahnya matahari pagi yang belum menyilaukan mata. 

Puas memandangi matahari, aku beralih menatap pada hamparan sawah yang mulai menghijau oleh tanaman padi. Rumah sakit memang berada di kota, tetapi alam masih asri. Di lantai dua atau tiga dari rumah sakit ini bisa melihat hamparan sawah yang mulai menguning, sepertinya akan dipanen karena terlihat para petani bersiap akan memanen sawahnya.

Suara pintu kamar diketuk. Aku segera berjalan menuju pintu. 

"Pagi, Mba," sapa seorang petugas kebersihan rumah sakit, begitu pintu terbuka. 

"Pagi."

"Ijin membersihkan ruangan ya, Mba."

"Iya silahkan, Mas."

Sembari menunggu ruangan di bersihkan, aku duduk di kursi yang ada di depan kamar. Kemudia memeriksa ponselku, siapa tau ada yang penting. 

Benar saja, sesaat setelah aku mengaktifkan data seluler, ada beberapa pesan masuk yang salah satunya dari Mamak. 

"Halo, assalamu'alaikum, Mak." Aku menelfon Mamak. 

"Wa'alaikumus salam, Han, gimana kabar suamimu, Nduk? Apa sudah sadar?"

"Dereng, Mak. Do'akan Mas Agha cepat sadar nggih, Mak." 

"Nggih, Nduk. Kamu sing sabar, aja ngasi lali marang Gusti." 

"Nggih Mak. Mamak seg teng pundi? Ko kaya teng griyo sakit?" Aku bertanya dimanakah mamakku kini berada karena aku mendengar suara mesin printer yang sangat khas dengan ruang pendaftaran rumah sakit. 

"Iya, ini Mamak sudah sampai di ruang pendaftaran. Dimana ruangannya?"

"Mamak sama siapa kesini?" 

"Sama Mas Adi."

"Ohh, di ruang Mawar nomor 5."

"Ya sudah, Mamak matikan telfonnya ya. Wasalamu'alaikum"

"Ia Mak. Wa'alaikumus salam"

"Sudah bersih Mba, mari," ucap petugas kebersihan yang baru saja keluar ruangan dan aku hanya mengangguk. 

"Assalamu'alaikum, Hana." Suara seorang perempuan yang sangat-sangat aku kenali. 

"Wa'alaikumus salam, Mak." Aku langsung memeluk mamakku, menangis di bahu beliau. Menumpahkan segala rasa yang selama ini ku pendam sendiri. Ini pertama kalinya aku bertemu Mamak setelah menikah. 

"Sudah Nduk. Kamu kuat," bisik Mamak di telingaku. Setelah itu, Mamak mengurai pelukannya, menghapus air mata di pipi ini. 

"Ayo masuk Mak, Mas." Kuajak keduanya untuk masuk. 

Setelah masuk dan melihat Mas Agha. Kami duduk di sofa, memang ruangan Mas Agha dirawat adalah VVIP.

"Sarapan dulu, Han," titah Mamak seraya membuka kotak bekal yang beliau bawa. Harum khas masakan Mamak, langsung membuat cacing di perutku meronta-ronta meminta jatahnya. 

"Gimana sih, kronologinya, Han?" tanya Mas Adi, kakak pertamaku.

Aku pun menceritakan kronologi kejadianya, seperti yang di ceritakan oleh Mamah Qila. 

"Adi, tanya-tanyanya nanti lagi, biarin adikmu sarapan dulu!" Mamak menegur Mas Adi, yang nampaknya masih belum puas mendengar ceritaku. 

"Iya, Mak," jawab Mas Adi. 

***

Jam delapan tepat, nama Mas Agha di panggil oleh suster untuk di bawa ke ruang operasi. Dengan di temani Mamah mertua, Mamak, dan Mas Adi, aku mengantarkan Mas Agha ke ruang operasi. Namun, di tengah proses operasi Mas Agha. Kepalaku terasa begitu pening dan pandanganku mulai kabur. 

"Hana, kamu kenapa?" Samar, aku mendengar suara Mas Adi. 

Semakin lama, aku merasa kepalaku semakin pusing dan mata terasa gelap. Tubuhku limbung. 

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Nduk." Samar aku mendengar suara Mamak. 

Sadar? Memangnya aku kenapa? Apa yang terjadi padaku?

***

Cerita ini tersedia juga di aplikasi KBM. Cari dengan judul yang sama!! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun